LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

25 November 2008

Parpol: Perang Warna dan Gambar


Oleh: Andawat

Menjelang Idul Fitri 1429 H yang baru lalu, di jalan utama depan SMP Negeri di Polimak, ada spanduk besar bertuliskan “Jemaat Maranatha I – III, Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1429 H. Mohon Maaf Lahir dan Bathin”. Sepintas lalu, spanduk itu nampak tak beda dengan spanduk lainnya, hanya berisi ucapan selamat biasa.


Padahal, spanduk itu memuat 2 makna yang luar biasa. Pertama, sebagai pesan yang tulus dari ratusan bahkan ribuan jemaat sebuah gereja kepada umat Islam di Papua, cerminan komunitas mayoritas yang menyapa sesama saudaranya dengan cara yang sederhana namun sangat berkesan. Kedua, spanduk itu hanya sedikit dari spanduk yang menuliskan ucapan selamat tanpa pesan sponsor alias menampilkan wajah atau partai tertentu.

Memang Pemilu masih tahun depan, akan tetapi suasana dan semangatnya seperti sudah akan terjadi besok pagi. Tidak hanya para Caleg, tapi juga hampir semua lapisan masyarakat sudah mulai ramai bicara soal caleg, partai dan Pemilu. Tiba-tiba rakyat dikotak-kotakan dengan label partai masing-masing, mereka dipaksa bicara membawa kebenaran hanya untuk kepentingan partainya saja. Di kampung-kampung, orang-orang juga mulai jarang ke laut dan ke kebun, rakyat ‘serius’ membicarakan siapa pemimpin mereka dan orang-orang yang pantas dipilih di masa depan.

Cobalah datang ke café-café pada malam hari di daerah Jayapura, Abepura dan sekitarnya. Atau di lobby-lobby hotel, hampir semuanya dipenuhi oleh para caleg. Kita nyaris sulit menemukan daerah yang ‘steril dari caleg’. Karena itu lebih sulit lagi mengembangkan obrolan di luar cerita tentang Pemilu.

Dari pengamatan yang dilakukan, ternyata Pemilu mampu membangkitkan sisi lain dari kehidupan kita yang kadang sudah hampir padam yakni harapan sebab hampir semua caleg bersikap sangat optimis menghadapi Pemilu yang akan datang.

Pemandangan yang meluas di mana-mana gambar parpol dan para caleg memenuhi hampir seluruh sudut di jalan utama kota hingga kabupaten Jayapura. Beberapa orang bahkan memasang foto mereka di antara gambar Parpol. Sebagian, seolah-olah merasa takut akan dilupakan dengan banyaknya wajah baru dan sebagian yang lain lagi seolah-olah berebut memperkenalkan wajahnya agar terekam hingga di bilik suara.

Masih menjelang Idul Fitri kemarin juga, ketika para pejabat dilarang untuk saling mengirim parcel atau bingkisan lebaran, justru moment ini dimanfaatkan oleh para caleg untuk berkampanye. Cerita seorang teman dari wilayah Arso, moment lebaran di daerah transmigrasi tersebut digunakan oleh beberapa orang caleg untuk membagi-bagikan bingkisan lebaran berupa gula, minuman dan beras. Bahkan ada juga yang bagi-bagi uang. Beberapa di antara mereka didata lebih dulu dan sempat diinterogasi, apakah nama mereka tercantum dalam daftar pemilih atau tidak, sebelum diberikan bingkisan. Mungkin itu salah satu cara untuk mendapatkan massa riil, entah dengan strategi seperti apa.

“Memang beda antara politisi dan profesional”, kata seorang teman yang lain. Teman ini kebanjiran banyak parcel, kalau kelompok profesional yang memberikan, hanya mencantumkan nama pada selembar kartu kecil. Tapi kalau yang datang politisi, maka segala kemasan berhias wajah dan partainya, bahkan lengkap dengan tas kertas bahan kampanye. Menjelang natal dan tahun baru nanti, tentu sajian seperti itu tak kalah serunya.

Pada berita dan halaman media massa juga gambar parpol dan berita-berita hangat mereka selalu menghiasi halaman utama. Informasi aktual terus digalang dan diperebutkan untuk dibahas. Ada juga yang secara khusus mengadakan seminar atau pertemuan, tak lain pesannya untuk mensosialisasikan partai atau figur tertentu. Berbagai kegiatan sosial digalang dan dipublikasikan besar-besaran.

Gambaran lain yang tak terlupakan adalah konflik yang mencuat di internal partai, mulai dari perebutan nomor urut dalam daftar caleg, konon ini yang menyebabkan tertundanya deadline pengumunan Daftar Caleg Sementara (DCS) juga Daftar Caleg Tetap (DCT). Kasus ini tidak saja terjadi pada partai-partai lama, tetapi juga pada partai baru. Bahkan disinyalir ada yang rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk mendapatkan nomor kecil.

Selain itu, berkembang pula konflik antara pengurus partai politik akibat proses penggantian kepengurusan – bahkan ada yang sampai berakhir di pengadilan – hingga perpindahan kader dari satu partai ke partai yang lain. Terakhir, setelah keluarnya DCT, terdengar kabar ada sekitar 8 orang anggota DPRP, belum termasuk anggota DPRD Kota dan Kabupaten-kabupaten yang terancam di-PAW-kan (Pergantian Antar Waktu) akibat telah berpindah partai. Semuanya sedang pasang kuda-kuda untuk menyingkirkan. Karena jika tidak, maka dia yang akan disingkirkan. Pendek kata, hampir semua sudut aktifitas kita dipenuhi oleh ‘gema Pemilu’.

Berbagai perdebatan internal partai, gambar wajah dari caleg dan atribut Partai yang bertebaran itu memberikan budaya yang cukup bagus kalau difungsikan sebagai toollkits alias alat bantu untuk menawarkan lebih banyak pilihan. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa masih banyak orang yang berjanji akan menyerahkan dirinya untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Apabila rakyat menilai orang tersebut tidak pantas menjadi pemimpin, maka sejak awal pun rakyat sudah bisa menghentikan langkah caleg tersebut menuju parlemen. Gambar-gambar itu membantu menyelamatkan suara yang akan kita berikan pada Pemilu nanti.

Sayangnya, hampir semua tampilan itu menggambarkan wajah mereka di ruang yang benar-benar sangat politis dan bukan menjadi ruang keberpihakan mereka yang nyata. Wajah-wajah itu hampir tidak dikenal rakyat. Kalau pun dikenal, itu lebih banyak memori pahit dan kurang memihak pada caleg tersebut.

Realitas saat ini, penderitaan yang sedang dialami rakyat hampir tak tersentuh, seperti hutan yang dibabat habis, kontrak karya investor yang merugikan rakyat, kasus-kasus hukum yang nyaris tak terungkapkan, korupsi yang merajalela, terbatasnya akses dan kontrol rakyat terhadap penggunaan uang negara, marginalisasi perekonomian rakyat. Selain itu, akses dan layanan publik untuk pendidikan dan kesehatan makin mahal, listrik yang sering padam, minyak tanah dan air bersih yang sulit didapat, transportasi dari kampung ke kota yang sering bermasalah, apalagi yang menyangkut hak hidup seperti kelaparan di Dogiyai atau kasus lapangan Sinapuk, Wamena, 9 Agustus 2008 yang baru lalu.

Sehingga tidak heran jika rakyat masih saja ‘sangsi’ dengan keseriusan para Caleg dan parpol yang bakal memperjuangkan kepentingan orang banyak pada Pemilu 2009. “Siapa yang sanggup mengontrol perilaku mereka kalau sudah jadi anggota dewan?”, tanya teman dari Arso. Di Indonesia, Pemilu nyaris hanya menjadi satu-satunya wadah partisipatif demokrasi yang paling nyata oleh rakyat dan sebagai tempat yang paling gampang untuk menunjukkan relasi antara rakyat dan Parpol. Karena setelah itu, sistem, mekanisme dan perilaku yang dijalankan sungguh menjauhkan rakyat dari wakilnya yang telah memenangkan Pemilu.

Padahal, rakyat merindukan para wakil mereka yang memiliki komitmen dan konsistensi yang cukup panjang dalam menjaga kemampuan dan kredibilitas. Dan kerinduan itu sejak kemarin, bukan nanti.

Seandainya semua spanduk yang banyak berseliweran di sepanjang jalan dan di setiap sudut kota berisi pesan teduh nan menyejukan seperti spanduk jemaat Gereja Maranatha di atas, mungkin dunia ini akan sangat indah juga damai.


Keterangan Foto:
Spanduk Jemaat Gereja Maranatha.
(andawat)