LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

02 Desember 2008

1 Desember 2008: Deklarasi dan Kibarkan Bendera dari Kata Hatiku

Oleh: Andawat


“Kami adalah satu bangsa, yakni bangsa Papua, rumpun Melanesia ras negroid, dan bukan bangsa Indonesia rumpun melayu. Kami menyatakan dan menyerukan kepada pemerintah Indonesia, pemerintah Amerika Serikat, Belanda, Australia, Inggris dan Perserikatan Bangsa-bangsa, lembaga-lembaga dan masyarakat internasional, untuk mendengar, mengakui kekuasaan dan kedaulatan di atas tanah dan rakyat Papua Barat sebagai sebuah negara merdeka sejak 1 Desember 1961, dan kami menyatakan, bahwa pelaksanaan PEPERA 1969 tidak sah”.

“Hari ini juga, kami nyatakan bahwa Papua Barat menjadi tanah darurat yang penuh ancaman, karena rakyat bangsa Papua Barat dalam ancaman pemusnahan yang serius. Dengan tegas kami nyatakan, setiap investasi yang sedang melakukan eksploitasi sumberdaya alam di tanah Papua, dan tidak menjamin hak hidup manusia dan segala ekosistim, eksplorasi British Petrolium, terutama PT Freeport, yang adalah pelaku pelanggaran hak asasi manusia dan genosida di tanah Papua, ditutup”.

Ini adalah dua point penting Deklarasi Rakyat Papua yang disampaikan pada peringatan Kemerdekaan Bangsa Papua oleh Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua (Sekjen PDP), Thaha Muhammad Alhamid, atas nama rakyat Papua. Deklarasi ini sendiri ditandatangani oleh Pemimpin Besar Bangsa Papua, Tom Beanal dan Pemimpin Besar Masyarakat Adat Papua, Forkorus Yaboisembut.

Seperti biasa, setiap tanggal 1 Desember, selalu diperingati oleh rakyat bangsa Papua sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua. Tak henti-hentinya, masyarakat Papua yang ada di lembah, di gunung, di pesisir, bahkan di tengah hutan dan juga di negeri pelarian di luar negeri menyuarakan hal tersebut. Oleh Thaha Alhamid, hal ini telah menjadikan bangsa Papua sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang senantiasa setia memperingati kemerdekaannya sejak tahun 1961, meski terus berada di bawah tekanan dan represif pemerintah Indonesia.

Mengikuti ibadah peringatan bangsa Papua ke 47 yang dipusatkan di lapangan Memorial Park Freedom and Human Rights Abuse, Sentani, Jayapura, yang menyatu dengan kuburan Thesy Hiyo Eluay ini, kita bisa melihat sesuatu yang berbeda. Pertama, sejak dua minggu sebelum 1 Desember, puluhan mahasiswa Papua yang sedang menempuh pendidikan di luar Papua terlihat membangun tenda di belakang makam Theys.

Kedua, peringatan tahun ini juga menjadi sangat istimewa karena sejak 1 Desember 2003, tidak pernah ada lagi pernyataan politik yang cenderung keras dari masyarakat dan pemimpin bangsa Papua terhadap pemerintah Indonesia. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan meski terdengar keras, namun hanya berbentuk pidato-pidato politik, tidak sebut sebagai Deklarasi.

Ketiga, peringatan di tahun ini juga menjadi sangat istimewa, terutama merespon berbagai kampanye international tentang Papua, seperti peristiwa 15 Oktober 2008 lalu, saat dibentuk International Parliamentarians for West Papua (IPWP), di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Inggris, di London. Disebutkan, bahwa alasan pembentukan wadah ini adalah protes terhadap pelaksanaan PEPERA 1969, dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terus dialami oleh masyarakat Papua.

IPWP ini memang hanya digagas oleh dua anggota parlemen Inggris, Andrew Smith dan Lord Harris, namun kehadiran mantan Menteri Luar Negeri Vanuatu menjadi penanda dukungan negara ini terhadap perjuangan IPWP. Kita juga tahu, bahwa sebelum Timor Leste merdeka, wadah serupa untuk Timor Leste juga telah menjadi bahan kampanye yang cukup ampuh ketika itu.

Kesemuanya ini, tentu akan terus bersinergi dengan kegagalan otonomi khusus di Papua termasuk kegagalan pemerintah Indonesia terhadap pengungkapan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di Papua. Alih-alih ada pengungkapan kekerasan-kekerasan kemanusiaan di masa lalu, korban di pihak masyarakat sipil malah terus berjatuhan, justru ketika di Papua tengah dilaksanakan sebuah kebijakan yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ (baca: Otnomi Khusus). Kebijakan inilah yang ‘memaksa’ banyak negara Eropa dan beberapa negara di dunia mengakui keutuhan NKRI.

Kita semua tahu, pelaku pelanggaran HAM Abepura dinyatakan bebas demi hukum. Kita juga tahu, bahwa nasib KPP HAM Wamena dan Wasior masih terus mengambang tak berujung. Ini jelas membuat kita semua pesimis terhadap banyaknya kasus kekerasan kemanusiaan di Papua yang tidak ‘ber-KPP HAM’, akan diselesaikan.

Dari sisi pemenuhan hak Ekonomi Sosial dan Budaya, lebih empat ribu orang Papua terinveksi virus HIV. Ratusan lainnya meninggal karena wabah kolera di Dogiay, sedangkan ribuan orang Papua terancam tidak bisa bersekolah akibat mahalnya biaya pendidikan. Ini belum terhitung dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Multi Nasional Corporate (MNC) seperti PT Freeport dan Migas BP. Sehingga tidak salah jika saat ini Papua ditetapkan oleh masyarakat Papua sebagai ‘Tanah Darurat Yang Penuh Ancaman’.

Kembali ke peringatan 1 Desember. Di Jayapura, ibadah yang dipusatkan di lapangan makam Theys ini diikuti tidak kurang dari seribuan orang. Massa yang memenuhi Memorial Park terlihat sangat antusias mengikuti ibadah pengucapan syukur. Seorang laki-laki Papua bertelanjang dada melumuri tubuhnya dengan cat warna biru, merah dan putih membentuk garis tegas dengan gambar bintang putih pas di bagian dadanya. Dua orang perempuan lainnya terlihat dengan ‘ornament’ tubuh serupa.

Ibadah dipimpin oleh seorang pendeta yang memegang alkitab dengan bertelanjang dada, bercelana pendek, mengenakan noken dan ornament adat di sekitar dada, di kepalanya bersandar topi adat. Di akhir sabda dan doanya, pak pendeta mengajak semua peserta menyanyikan salah satu lagu rohani “Kibarkan bendera dari kata hatiku, dari kata hatiku...”, sontak lagu itu seperti memberi inspirasi terhadap sukacita dalam hati para peserta ibadah. Mereka menari sambil menyanyi bahkan ada yang meloncat-loncat. Dua kata ‘bendera’ dan ‘berkibar’, apapun maknanya sungguh akrab untuk diartikulasikan dengan semangat dan kerinduan orang Papua. Apalagi ketika beliau menambahkan kalimat, “saya yakin di hati setiap orang Papua ada bendera dan pasti bintangnya akan berkibar”.

Yang mengagetkan, di akhir acara, (benar-benar) muncul beberapa bendera bintang kejora berukuran kecil dilambai-lambaikan oleh beberapa orang. Padahal sebelumnya Kapolda Papua, Irjen Pol. FX. Bagus Ekodanto sudah bersikeras untuk tidak boleh ada pengibaran bendera, pesan yang sama juga sudah disampaikan oleh Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut.

Pengibaran bendera ini cukup membuat tegang ketika beberapa aparat kepolisian yang disiagakan di sekitar lapangan berusaha merebut bendera-bendera tersebut, namun mendapatkan perlawanan dari massa. Meski demikian, insiden antara massa Papua dengan aparat kepolisian ini tidak berakibat pada hal yang lebih fatal. Semantara itu, enam buah truck ditambah satu unit water canon milik aparat kepolisian terlihat disiagakan di sekitar Memorial Park.

Secara umum, pelaksanaan peringatan 1 Desember di seluruh Papua berlangsung aman, meski sempat terjadi pengibaran bendera di empat titik, yakni, di Kabupaten Manokwari (ada yang sempat ditahan tapi kemudian dilepas kembali), di kabupaten Paniai, kabupaten Nabire dan Kabupaten Mimika.

Apa pun model peringatan 1 Desember dan bentuk pengamanannya, mestinya semua pihak harus tetap menghormati integritas kemanusiaan setiap kita. Semoga ‘aksi protes’ yang belangsung kemarin dalam suasana damai dapat terus dipertahankan di kemudian hari.


Keterangan Foto:
Sekjen Presidium Dewan Papua, Thaha Muhammad Alhamid, ketika menyampaikan pidato politiknya.
(Andawat)