LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

04 Desember 2008

Buctar Tabuni Ditangkap

Oleh: Andawat

Harian Cenderawasih Pos, edisi 3 Desember 2008, memuat headline yang sangat provokatif “Buctar Akan Ditangkap”. Dikatakan bahwa, penangkapan dilakukan karena pihak Reskrim Polda Papua telah cukup memiliki alat bukti antara lain, keterangan saksi ahli, surat atau dokumen dalam bentuk selebaran yang beredar sebelum demo tanggal 16 Oktober 2008 dan juga keterangan Tersangka (Buctar Tabuni). Demikian dijelaskan oleh Direskrim Polda Papua, Kombes Drs. Paulus Waterpauw. Disebutkan juga, bahwa pasal yang dikenakan adalah pasal makar: 106, 110, 160, 212, 216 KUHP.

Berita di media tersebut juga menjelaskan, bahwa sudah ada komunikasi dengan pihak Pengacara, Mama Yosepha Alomang dan Thaha Muhammad Alhamid, padahal pihak Pengacara tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya. Sedangkan Thaha Alhamid justru menanyakan kebenaran berita rencana penangkapan melalui telepon kepada Kombes Drs. Paulus Waterpauw setelah mendapatkan informasi dari Abina Wasanggai.

Diketahui, bahwa pada saat perayaan 1 Desember 2008, Buctar Tabuni sudah diincar untuk ditangkap oleh pihak Reskrim Polda Papua, namun setelah mempertimbangkan situasi keamanan, maka rencana penangkapan ditunda. Saat itu sempat terjadi komunikasi dengan Mama Yosepha dan Markus Haluk yang bersedia mengantarkan Buctar Tabuni pada Rabu, 3 Desember 2008. Dijelaskan bahwa, upaya penangkapan tersebut terkait dengan aksi 16 Oktober 2008 di depan kantor DAP di Expo, Waena. Direskrim Polda Papua menjelaskan bahwa rencana penangkapan tersebut sudah sejak tanggal 1 Desember 2008, Surat Perintah Penangkapan sudah dikeluarkan sejak Minggu, 30 November 2008.

Sekitar pukul 07.00 waktu Papua, hari Rabu, 3 Desember 2008, Buctar sempat menghubungi Paulus Waterpauw dan mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia datang kalau tidak menerima surat pemberitahuan terlebih dahulu. Direskrim Polda Papua menilai, bahwa komunikasi tersebut mengindikasikan Buctar Tabuni akan mangkir, sehingga Tim Serse melakukan pencarian dan penangkapan terhadap Buctar Tabuni.

Di tempat terpisah, Yosepha Alomang, Markus Haluk, Lemok Mabel, Dominikus Serabut, dll. mengambil inisiatif menghubungi Buctar untuk merencanakan mengantarkan Buctar ke Polda Papua. Sekitar jam 11.00 waktu Papua, mereka mulai berdatangan di ALDP. Pada saat itu, Buctar sempat menginformasikan kepada mereka, bahwa setelah mandi dia akan segera bergabung di ALDP.

Ternyata, sekitar pukul 11.45 waktu Papua, tim Reserse Polda Papua yang berjumlah sekitar 10 orang telah melakukan penangkapan terhadap Buctar Tabuni di BTN Purwodadi, Sentani. Tidak ada perlawana, Buctar dibawa dengan kijang Inova hitam dengan nomor polisi DS 1839 AI. Buctar duduk di kursi tengah. Sepanjang perjalanan, kerah bajunya ditarik dari belakang dan lehernya diapit dari sebelah kiri.

Sepanjang perjalanan, Buctar mendapat intimidasi dengan perkataan-perkataan melecehkan, seperti “Kubur Theys akan digali dan tulang belulangnya akan digabung dengan tulang belulang Buctar”. Bahkan ketika melewati daerah skyline, tempat Theys diculik dan dibunuh oleh Kopasus, seorang anggota polisi di dalam mobil tersebut mengatakan, “Theys yang besar saja bisa dibunuh, apalagi badan kamu yang kecil ini”. Juga kalimat lainnya seperti, “Helikopter yang berputar-putar tanggal 1 Desember itu sebenarnya akan menebarkan racun untuk membunuh orang-orang yang berkumpul di makam Theys”. Tetapi kalimat yang paling menyakitkan bagi Butar adalah ketika mereka mengatakan, “Orang Papua bikin terasi saja tidak bisa, baru mau minta merdeka”. Butar kembali menangis ketika menceritakan itu kembali di hadapan Penasehat Hukum (PH). Dia kaget dengan penangkapan dirinya, tapi dia sangat kaget sekaligus bersedih atas perlakuan dan perkataan yang diterimanya sepanjang perjalanan dari Sentani ke Polda Papua.

Saat mendengar informasi bahwa Buctar ditangkap, tim PH langsung berinisiatif ke Polda meski belum dihubungi oleh pihak Polda. Di Polda, sekitar pukul 14.00 waktu Papua, tim PH ditemui Direskrim POLDA Papua. Ketika itu beliau membenarkan informasi penangkapan Bucar dan menjelaskan secara singkat proses penangkapan yang dilakukan. Namun pihak serse belum dapat mengambil keterangan dari Buctar karena masih dalam keadaan shock. Tim PH sempat bertanya kepada Direskrim tentang berkembangnya informasi di luar bahwa ada kemungkinan terjadi pemanggilan, penangkapan dan penahanan lagi, “sudah pasti (akan ada penangkapan lagi)”, tegas beliau.

Saat bertemu Buctar, tim PH berusaha menenangkan emosinya dan mendiskusikan proses hukum yang sedang dihadapi. Pemeriksaan direncanakan akan dimulai pada Kamis, 4 Desember 2008. Buctar dan tim PH sempat juga keluar di halaman Polda untuk makan siang. Setelah itu, tim PH bertemu kembali dengan Direskrim Polda Papua. Di sini, tim PH mendiskusikan kemungkinan kelanjutan pemeriksaan tanpa proses penahanan, tetapi Direskrim Polda Papua bersikeras bahwa Buctar tetap akan ditahan. Direskrim sempat meminta agar tim PH menjelaskan kepada para pendemo yang berjumlah sekitar 100 orang yang sudah berkumpul sejak mendengar penangkapan Buctar.

Nampak AKBP. Pieter Waine, menemui para pendemo, tetapi massa tetap bersikeras menginginkan kehadiran Paulus Waterpauw, Direskrim Polda Papua. Setelah dilakukan negosiasi, akhirnya ada perwakilan 10 orang dari para pendemo, didampingi tim PH, bertemu Direskrim dan jajarannya. Sebelum masuk ke ruang pertemuan, semua perwakilan pendemo dicatat nama dan digeledah. Setelah dirasa ‘steril’, pertemuan dimulai. Waktu ketika itu sudah menunjukan pukul 17.45 WP.

Pertemuan dibuka oleh wakil dari tim PH, Iwan Niode, SH, yang langsung memberikan kesempatan kepada Markus Haluk untuk menyampaikan pendapatnya. Memulai pembicaraannya, Markus Haluk meminta agar Buctar Tabuni dihadirkan. Direskrim sempat meminta pendapat tim PH, setelah itu bersedia menghadirkan Buctar Tabuni. Markus Haluk mengatakan, bahwa tanggal 16 Oktober 2008 tidak terjadi pengibaran bendera, tapi kenapa Buctar ditangkap? Pada saat itu juga, tidak ada upaya untuk menyerang aparat walaupun massa lebih banyak di antara aparat.

Jika hanya dengan berdemonstrasi orang sudah ditangkap, berarti orang Papua sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi. Mama Yosepha juga menjelaskan hal yang serupa. Ada juga yang menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari yang mereka pahami ketika membaca buku, belajar sejarah dan mendengar berbagai pendapat dari orang-orang Papua lainnya. Sehingga kalau pihak Polda mau bersikap tegas, maka lakukan pemeriksaan terhadap semua orang Papua dan siapa saja yang membicarakan kemerdekaan Papua, termasuk para penulis buku. Pihak Polda harus siapkan penjara yang besar untuk orang Papua.

Setidaknya ada 5 orang yang berbicara saat itu. Intinya mereka protes pada pihak Polda yang menangkap Buctar Tabuni selain itu meminta penjelasan mengenai alasan penangkapan yang dilakukan. Tanggapan Direskrim sempat agak meninggi dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pihak Polda sudah sah dan sesuai aturan serta bersikap profesional. Tidak ada upaya bargaining, tidak juga atas intervensi pihak mana pun.

Sebelumnya pun pihak Polda Papua sudah mengkomunikasikan proses ini kepada Buctar sendiri. Polisi memiliki kewenangan, dan kewenangan itu sifatnya memaksa. Oleh karena Buctar dianggap tidak menunjukkan sikap kooperatif, maka proses penangkapan dan penahanan dilakukan. Buctar Tabuni ditangkap dengan Sprint Penangkapan No. Pol: SP-Kap/30/XII/2008/Ditreskrim, tertanggal 3 Desember 2008. Dan Sprint Penahanan No. Pol: Sp.Han/37/XII/2008/Ditreskrim, tertanggal 3 Desember 2008.

Pertemuan diakhiri sekitar pukul 19.15 waktu Papua, kemudian perwakilan pendemo kembali memberikan penjelasan dengan peserta demo lainnya yang sudah menunggu di pagar luar pintu utama Polda. Setelah itu, pendemo mendatangi pihak DPRP yang sedang bersidang malam hari, mereka meminta sikap tegas dari pihak DPRP untuk menyoroti persoalan yang dihadapi oleh Buctar sebagai bagian dari persoalan orang Papua. Setelah Ketua Komisi F DPRP dan anggota DPRP lainnya, melakukan pembicaraan, akhirnya pihak DPRP mengeluarkan surat bernomor 160/1991 tertanggal 4 Desember 2008, yang ditandatangani oleh Paskalis Kosay S.Pd, MM yang isinya: “Menyikapi penahanan Sdr. Buctar Tabuni oleh Satuan Reskrim Polda Papua menimbulkan reaksi yang kontra produktif oleh sekelompok masyarakat Papua. Hal ini bisa berdampak buruk bagi stabilitas sosial politik di wilayah Papua, terutama menjelang Pemilu 2009”.

Rapat Dengar Pendapat tersebut diselenggarakan di ruang Pimpinan DPRP, pukul 14.00 waktu Papua, pada 4 Desember 2008. Pertemuan berlangsung antara para pimpinan DPRP, pimpinan Fraksi, Pimpinan Komisi dan Kapolda Papua yang diwakili oleh Direskrim Polda Papua berserta jajarannya.

Dari perkembangan yang ada, nampaknya proses hukum akan mulai dilakukan kembali terhadap tokoh-tokoh Papua. Gerakan sipil rakyat terutama yang diprakarsai oleh orang muda dan masyarakat adat akan menjadi target. Pengawasan dan pelarangan terhadap mobilisasi dan konsentrasi massa akan makin diperketat, isunya bukan saja soal pengibaran bendera, tetapi hampir semua aktifitas yang menimbulkan pengerahan massa.

Tokoh-tokoh muda tak kan lama dapat bertahan ‘memegang mikrofon di jalan’, pentas mereka tak lebih dari 4 tahun terakhir, semisal Buctar (2004 – 2008) ataupun periodenya Jefri Pagwak, Cosmos Yual, Selfius Boby (2003 – 2006) dll. Bukan tidak mungkin, Direskrim juga akan memanggil (atau menangkap) yang lain. Kasusnya bisa saja mengarah pada peristiwa 16 Oktober 2008, 20 Oktober 2008 ataupun 1 Desember 2008.

“Bukan hanya unsur makar, tetapi juga ada unsur permufakatan, dan kita akan kembangkan kasusnya, akan ada yang dipanggil lagi”, demikian perkataan Direskrim Polda Papua. Bisa saja yang menjadi target 2 tokoh muda lainnya dari kelompok Buctar Tabuni, atau beberapa tokoh DAP yang sudah dimintai keterangan terlebih dahulu, atau ada tokoh lain yang juga sudah lama diincar.




Keterangan Foto:
Suasana pertemuan perwakilan demonstran, tim PH Buctar Tabuni dan Direskrim Polda Papua.