LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

10 Desember 2008

Kesehatan Bayi dan Ibu Hamil Mengancam Papua

Oleh: Andawat

Di bandara udara international Svarabhumi Thailand, tanggal 10 November 2008, kami bertemu dengan 50 bidan asal Papua. Mereka melakukan kunjungan wisata ke Thailand dan Malaysia setelah mengikuti Kongres Bidan Indonesia di Padang, Sumatera Barat. Seorang teman berkomentar, ”sekali-sekali bidan memang perlu jalan-jalan”. Seorang yang lain bertanya polos, “bukankah angka kematian ibu dan bayi sangat tinggi di Papua, kenapa malah buang-buang uang hanya untuk jalan-jalan?”.

Berita salah satu harian di Papua, edisi 8 November 2008 memuat hasil riset dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih (FKM Uncen), mengenai kesehatan ibu hamil dan bayi. Hasilnya sangat mengejutkan, karena dari 1000 kelahiran ada 123 kematian bayi. Dan dari 100 ribu persalinan, terdapat 1161 kematian. Angka ini jauh dari angka nasional yang 40 kematian untuk 1000 bayi yang lahir, dan 150 kematian untuk setiap ibu yang melahirkan. Laporan ini bisa menjadi bacaan kita bahwa salah satu penyebab utama dari rendahnya populasi penduduk terutama orang asli Papua adalah lemahnya dukungan kesehatan terhadap ibu hamil dan bayi.

Sebelum HIV-AIDS menjadi momok bersama yang mengancam populasi penduduk Papua. Memang kesehatan ibu hamil dan bayi menjadi prioritas di Papua. Akan tetapi setelah itu hampir tidak ada strategi baru yang digunakan, atau paling tidak upaya yang lebih sungguh-sungguh dalam memaksimalkan strategi yang sudah ada. Bahkan HIV-AIDS kemudian dipermasalahkan sebagai sebab utama berkurangnya populasi penduduk orang asli Papua.

Cerita dari airport Svarabhumi dan berita di salah satu harian tersebut terlihat seperti 2 paradoks tetapi bukanlah hal yang berbeda. Apa yang dikatakan kedua teman sama betulnya. Tenaga medis juga manusia, mereka perlu mendapatkan penghargaan dan menikmati hidupnya.

Kematian bayi di Papua memang sangat tinggi, konon di beberapa kabupaten seperti di daerah Penggunungan Tengah, juga Yapen dan Waropen, angkanya lebih tinggi dari pada sebelum ada pemberlakuan Otsus. Logikanya, sebelum terjadi pemekaran kabupaten-kabupaten, jumlah tenaga medis sudah sangat terbatas, apalagi setelah pemekaran dan kebutuhan bertambah. Kenyataannya, begitu banya petugas kesehatan, namun tidak banyak yang bersedia bertugas di daerah terpencil.

Berkaitan dengan pertolongan persalinan, khususnya di kampung-kampung, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan yang isinya menegaskan bahwa yang melakukan persalinan adalah tenaga medis (bidan), sedangkan dukun kampung hanya bertugas membantu tenaga medis. Kebijakan ini didasari pendapat bahwa persalinan yang dilakukan oleh dukun kampung sering kurang bersih dan menyebabkan infeksi yang berakibat pada kematian.

Kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kenyataan seringnya tenaga medis tidak berada di kampung serta masih adanya pandangan tertentu dari masyarakat kampung yang enggan mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga medis yang mereka anggap sebagai orang asing, sehingga hal ini menjadi ‘tabu’.

Ada dukun kampung, tapi dianggap tidak steril dalam bekerja. Ada bidan, tapi jarang menetap di kampung. Ini masalah yang hampir tidak pernah dicarikan jalan keluar yang serius. Misalnya dengan meningkatkan fasilitas dan kesejahteran bidan atau penguatan terhadap dukun kampung dengan membekali mereka keterampilan persalinan yang lebih menjamin kebersihan bayi, ibu dan lingkungan dan juga peralatan medis.

Pada tahun 2004 – 2005, Angganetha Foundation, LSM perempuan di bawah organisasi Solidaritas Perempuan Papua (SPP) pernah melakukan kegiatan Pelatihan Dukun Beranak untuk membantu persalinan. Ironisnya kegiatan tersebut sempat diprotes keras oleh pihak Dinas Kesehatan.

Tingginya angka kematian bayi dan ibu hamil tak terlepas juga dari kuatnya budaya partriarki di kalangan masyarakat Papua. Aktifitas dan beban kerja yang dialami perempuan pada saat hamil dan setelah melahirkan sangat tinggi, padahal dukungan gizi mereka sangat rendah. Pemenuhan gizi kadang tidak ada kaitannya dengan ketersediaan sumber daya alam, seperti yang nampak pada distrik-distrik di Jayawijaya. Di sana angka kematian bayi dan ibu sangat tinggi. Perempuan hamil terus bekerja, dan hanya berhenti seminggu atau 2 minggu setelah melahirkan, setelah itu bekerja lagi.

Mereka tidak didukung nutrisi yang cukup, kendati tanah mereka cukup subur dan menghasilkan banyak biji-bijian, termasuk kacang-kacangan. Mereka menjual semua yang terbaik dari yang mereka miliki, mereka menjual kedelai dan membeli tahu dari warung-warung Jawa di kota Wamena. Secara ekomonis pun mereka menjadi penjual termurah dan membeli untuk harga yang cukup mahal.

Bagi tenaga medis, ada pembelaan yang bisa mereka lakukan, khususnya terhadap kebijakan pemerintah yang menurut mereka tidak adil. Mereka diminta menetap di kampung untuk waktu yang cukup lama dengan fasilitas dan tunjangan kesejahteraan yang terbatas, honor mereka lebih sering tidak dibayarkan tepat waktu, nasib mereka tak beda jauh dengan nasib para tenaga pendidik. Akibatnya banyak yang kemudian melakukan demo untuk menuntut hak mereka. belakangan ini demo bukan saja dilakukan oleh tenaga medis yang ditugaskan jauh di kampung-kampung, tetapi juga di Puskesmas atau rumah sakit di daerah perkotaan.

Persediaan obat-obatan pun bermasalah. Di Puskesmas Pembantu (PUSTU) dan Puskesmas di kampung-kampung obat paling banyak adalah obat malaria, paracetamol dan CTM. Semantara di kota, orang harus membeli untuk mendapatkannya. Ada yang menyebutkan bahwa obat yang tersedia di rumah sakit terbatas dan justru lebih banyak di apotik-apotik yang berjejer di sekeliling rumah sakit. Telah ada mekanisme yang mengatur antara jalur rumah sakit dan apotik-apotik tersebut, entah seperti apa, yang jelas jika pasien bisa menunjukkan Kartu Keluarga Miskin, berarti gratis, atau ada pembayaran tetapi dalam jumlah yang kecil. Tapi jika tidak memiliki kartu tersebut, berarti wajib membayar. Alasan lain obat-obatan tidak ‘disimpan’ di rumah sakit karena khawatir akan dijual oleh tenaga medis.

Di sisi lain, pekerjaan seperti tenaga medis dan tenaga pendidik membutuhkan ketekunan, dan biasanya bisa lebih mudah dijalani karena merupakan ‘panggilan jiwa’ dan sebuah ‘pilihan’. Menurut cerita seorang mantri malaria yang terkenal di Papua, bapak Mandosir (alm), dulu yang terpilih sebagai tenaga medis dan guru adalah orang-orang terbaik dan datang karena panggilan hati. Tapi sekarang tenaga medis dan guru menjadi alternatif ke sekian setelah pilihan utamanya tidak terpenuhi, bahkan ada kesan menjadi tenaga medis dan guru lebih diminati oleh sekelompok orang tertentu yang secara sosial dan ekonomi tidak cukup beruntung.

Biaya pendidikan untuk jadi tenaga medis dan guru dipandang lebih murah. Pikirannya sederhana, menjadi tenaga medis atau guru itu gampang cari kerja, karena pasti dibutuhkan. Padahal yang tidak disadari, menjadi tenaga medis dan atau guru membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sekolah memang mahal, dan setelah selesai, toh tidak ada jaminan yang pasti untuk menjadi pegawai negeri. Kenyataannya banyak tenaga medis dan guru bekerja sepanjang hidupnya dengan status honorer.

Perbaikan pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak tidak boleh terlupakan di tengah bahaya HIV-AIDS, Narkoba, Miras dan penyakit masyarakat lainnya. Peningkatan kesehatan ibu dan anak tidak saja menjadi ruang kerja Bagian KIA di Pustu dan Puskesmas, juga rumah sakit, atau model Posyandu yang hanya sebulan sekali. Dukungan dari lingkungan sosial, ekonomi dan budaya menjadi bagian yang terpenting dari upaya menjaga status kesehatan ibu hamil dan bayi agar tetap sehat selama kehamilan dan persalinan.


Keterangan Foto:
Kondisi sebuah sarana kesehatan di kampung yang terbengkalai.