LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

09 Desember 2008

Pengibaran Bintang Kejora: Apa Masalahnya

Oleh: Neles Tebay*

Tahun 2008 ini patut dijuluki sebagai tahun Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Tanah Papua. Bagaimana tidak? Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media massa lokal, nasional dan internasional, bendera Bintang Kejora kembali dilambaikan di Sentani, dan dikibarkan di Timika, dan Manokwari pada tanggal 1 Desember 2008.

Sebelumnya, pada hari Selasa, 23 September 2008, pengibaran bendera Bintang Kejora dilakukan di Timika, ibukota Kabupaten Mimika. Polisi sudah menangkap 18 orang Papua untuk dimintai keterangannya tentang pengibaran tersebut.

Enam minggu sebelumnya, tepatnya tanggal 9 Agustus 2008, bendera yang sama dikibarkan di Wamena, dalam perayaan Hari Internasional Bangsa Pribumi. Hingga kini polisi masih melakukan penyelidikan atas peristiwa pengibaran bendera tersebut. Sebelum itu, dalam tahun 2008 ini saja, oengibaran bendera Bintang Kejora dilaksanakan di Fakfak dan Manokwari, bahkan di tengah kota Jayapura pada tanggal 1 Juli.

Kita menyaksikan bahwa setiap kali Bintang Kejora dikibarkan, aparat kepolisian senantiasa direpotkan. Begitu mendengar kabar tentang pengibaran bendera ini, polisi mengerahkan pasukannya, mengejar pelaku pengibaran bendera, mengumpulkan barang bukti seperti tiang dan bendera yang dipakai, mengadakan penyelidikan, memanggil dan mendengarkan saksi-saksi, mencari pasal-pasal yang telah dilanggar dengan pengibaran bendera tersebut, menetapkan tersangka, menyerahkan kasusnya ke pengadilan, dan akhirnya para pelaku dipenjarakan.

Polisi sebagai penegak hukum menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dalam menyikapi peristiwa pengibaran Bintang Kejora. Berpedomankan pada PP ini, maka setiap aksi pengibaran bendera ditafsirkan sebagai suatu tindakan melawan hukum. Oleh karena itu, para pelaku akan ditindak sesuai hukum dan peraturan Indonesia.

Sikap dan reaksi pemerintah melalui kepolisian memperlihatkan bahwa pengibaran Bintang Kejora masih dipandang sebagai masalah kriminal. Maka setiap orang yang memiliki dan atau mengibarkan bendera ini dipandang sebagai penjahat kriminal. Karena itu, para pemilik dan pengibar bendera ini ditindak sesuai hukum dan peraturan republik Indonesia, misalnya dipenjarakan selama belasan hingga duapuluhan tahun.

Apabila kita mengikuti logika di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa ketika semua orang Papua memiliki dan mengibarkan bendera ini, maka polisi – dengan atau tanpa bantuan militer – mesti menangkap mereka semua, menahannya di tahanan polisi, dan memasukan mereka dalam penjara.

Jadi, konsekuensinya adalah pemerintah mesti membangun rumah tahanan polisi dan penjara yang berukuran besar dan dalam jumlah yang banyak di semua kabupaten guna menampung semua orang Papua yang dipenjarakan. Pertanyaannya adalah, apakah cara seperti yang ini mampu menyelesaikan konflik Papua?

Masalah Politik Saya percaya bahwa pendekatan di atas justru tidak akan menyelesaikan masalah. Pengibaran bendera Bintang Kejora, tidak bisa dikategorikan sebagai stuatu tindakan kriminal. Dan para pengibar bendera ini tidak boleh dipandang dan diperlakukan seperti penjahat-penjahat kriminal.

Dilihat dari perspektif sejarah, bendera Bintang Kejora dibuat demi kepentingan politik. Dia adalah simbol dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi ini memperjuangkan pendirian suatu negara yang bernama Papua Barat. Sebab itu, OPM merupakan suatu organisasi politik, dan bukan organisasi kriminal. Bendera Bintang Kejora pun merupakan simbol politik, bukan lambang dari suatu gang kriminal.

Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya telah mengakui akan bendera ini sebagai simbol politik. Pengakuan pemerintah Indonesia ini nampak ketika Majelis Rakyat Papua (MRP) mengusulkan agar status dari bendera Bintang Kejora diturunkan dari simbol politik menjadi simbol budaya, tapi pemerintah justru melarang upaya ini dengan menerbitkan PP No. 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Dengan larangan ini, pemerintah sebenarnya mempertahankan bendera Bintang Kejora sebagai simbol politik OPM.

Namun larangan pemerintah ini tidak akan menyelesaikan persoalan sebenarnya. Mengapa? Karena, apabila pemerintah berkehendak agar bendera ini tidak berkibar lagi di Tanah Papua, maka perlu dicarikan solusi politiknya. Sebab selama solusi politik belum ditemukan, selama itu pula Bintang Kejora akan dikibarkan untuk mengingatkan bahwa masih ada masalah politik yang mesti dituntaskan penyelesaiannya.

Sebenarnya solusi politik yang dicari sudah diberikan melalui Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Status Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua. UU ini diterbitkan karena adanya pengibaran bendera Bintang Kejora. Dengan mengimplementasikan UU Otsus ini secara penuh, efektif dan konsisten, diharapkan bahwa sejumlah masalah di Papua dapat diatasi. Akibat selanjutnya adalah bendera Bintang Kejora tidak akan berkibar lagi di tanah Papua.

Ternyata harapan di atas tidak menjadi kenyataan. Sebab tujuh tahun setelah UU Otsus diterbitkan, bendera Bintang Kejora masih dikibarkan. Hal ini mengindikasikan masih banyak masalah Papua yang belum dijawab melalui implementasi UU Otsus. Itu berarti pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) gagal melaksanakan UU Otsus Papua secara utuh, efisien dan konsisten.

Dialog
Kegagalan pemerintah dalam melaksanakan UU Otsus merupakan faktor penyebab utama dari pengibaran bendera Bintang Kejora akhir-akhir ini. kalau itu penyebabnya, maka solusi yang tepat dan bermartabat bukanlah penangkapan dan pemenjaraan para pengibar bendera. Jadi penangkapan Buchtar Tabuni tidak akan menyelesaikan persoalan.

Sudah jeas bahwa pengibaran Bintang Kejora bukanlah masalah yang sebenarnya, melainkan akibat. Maka larangan pengibaran bendera ini tidak akan menjawab permasalahan. Pengibaran bendera ini bagaikan kepulan asap api. Menurunkan dan melarang pengibaran bendera ini sama dengan menghalu asap api tanpa menghiraukan sumber dari asap. Maka larangan seperti ini hanyalah menghabiskan energi, tenaga, dan dana, bahkan hasilnya sia-sia belaka. Sebab, selama api yang menghasilkan asap belum ditemukan dan dipadamkan, maka asap tetap akan mengepul.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyelidiki akar penyebab dari pengibaran bendera Bintang Kejora. Penyebab ini akan ditemukan dalam suatu dialog damai. Sebab itu, saya sangat menyetujui dan mendukung pendapat Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, bahwa aksi pengibaran bendera Bintang Kejora mesti ditanggapi dan diselesaikan melalui dialog (The Jakarta Post, 19/9).

Dialog yang diharapkan mesti melibatkan dua peserta, masing-masing pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua, dan pihak ketiga sebagai mediatornya. Semoga pendapat Menteri Pertahanan ini didukung oleh semua pihak yang menghendaki terciptanya perdamaian di Tanah Papua. Sebab ketika Papua menjadi tanah yang damai, bendera Bintang Kejora tidak akan berkibar lagi.

*Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologia, Fajar Timur, Jayapura, Papua.

Artikel ini dimuat di harian Bintang Papua, edisi 5 Desember 2008.


Keterangan Foto:
Bintang Kejora yang berkibar pada Hari Pribumi Internasional, di Wamena, 9 Agustus 2008.
(Theo Hesegem).