LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

13 Desember 2008

Otsus: Siapa yang Akan ‘Mengakhiri Kacau Balau’ ini?

Oleh: Andawat

Menjelang akhir tahun, mulai banyak acara yang digelar berthemakan (lagi-lagi) Otsus: implementasi, evaluasi dan sejenisnya. Mulai dari kalangan LSM, pemerintah termasuk pihak Universitas Cenderawasih yang sudah sejak awal bertindak sebagai Tim Asistensi Otsus. Pembahasan kadang dilakukan di Papua tetapi ada yang dilakukan di luar Papua. Pembahasan yang dilakukan di luar Papua tentu menunjukkan fenomena tersendiri, apakah pertanda bahwa OTSUS mulai banyak diminati dan mendapat tempat di luar Papua? Apakah karena sudah ada rasa jenuh di tingkat masyarakat dan pemerintah bicara Otsus di dalam negeri (Papua)? Ataukah tidak juga ada yang istimewa karena hanya merupakan proyek semata.

Pembahasan tak jarang menghadirkan para pakar Otonomi daerah baik dari dalam maupun luar negeri. Konsep-konsep ilmiah yang dibandingkan dan ditawarkan selalu terkesan brilian. Kendati begitu, jika sampai pada persoalan implementasi, topik dan bahasannya pun selalu sama saja. Demikian juga pembicara dan pesertanya, membicarakan hal yang sama dari waktu ke waktu, soal kewenangan dan uang.

Di Jayapura sendiri, muncul beberapa reaksi tentang Otsus, yang intinya menyatakan bahwa Otsus perlu direvisi kembali. Aneh juga memang, karena sebagian dari mereka justru orang yang pada prakteknya adalah bagian dari Tim Asisitensi Otsus, tapi di sisi lain membantu praktek-praktek yang inkonsisten terhadap Otsus, seperti men-support semangat pemekaran provinsi di luar Otsus.

Pada pertemuan yang digelar oleh Universitas Cenderawasih, 18 dan 19 November 2008, saat itu muncul statement yang disampaikan oleh Gubernur Papua, bahwa Otsus ‘Kacau Balau’. Menurutnya karena, “belum ada pemahaman dan persepsi yang baik tentang Otsus di semua tingkatan, mulai dari pusat hingga ke kampung-kampung”. (Lagi-lagi) aneh memang, mengingat bahwa uang yang dihabiskan oleh pemerintah dan nonpemerintah, terutama pihak LSM sangat banyak untuk mendiskusikan dan merumuskan pemahaman dan persepsi tentang Otsus.

Langkah yang coba diambil Bas Suebu adalah, “ke depan akan segera restrukturisasi birokrasi dan efisiensi anggaran belanja serta lebih memperkaya pelayanan kepada masyarakat. Tanpa pemerintahan yang baik, jangan harap rakyat bisa hidup baik pula”.

Pernyataan ini patut dicurigai. Pertama, berbagai macam argumentasi yang selalu disampaikan oleh Bas Suebu, mulai dari kebocoran Otsus di tingkat birokasi, dana Otsus yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pemerintahan JP. Salossa hingga Otsus Kacau balau, seolah-olah menempatkan beliau pada posisi sebagai pengamat atau akademisi, dan bukan sebagai salah satu tokoh kunci yang dapat memaksimalkan pelaksanaan Otsus. Padahal satu Perdasus saja, yakni Perdasus No. 1 tahun 2007 tentang Pembagian Keuangan Otsus, yang sudah disahkan dan atas kewenangannya seharusnya dilaksanakan, namun pada nyatanya, aturan tersebut cuma aturan di atas kertas.

Kedua, apakah benar seorang gubernur tak mampu melawan pusat dalam memperjuangkan implementasi Otsus yang sesuai dengan kehendak rakyatnya? Misalnya berkaitan dengan kewenangan di bidang kehutanan atau ketika terjadi pengalihan dana Otsus yang dilakukan secara sepihak oleh Jakarta (Depdagri). Konon, kejadian ini praktek lama semasa JP. Salossa.

Konsistensi Bas Suebu soal uang patut juga diuji, terutama sejak Pemda Papua melakukan praktek yang sama. Tanpa dasar hukum, melalui Karo Keuangan mengalihkan dana Otsus 2008 sebanyak Rp. 2 triliun, dari Bank Papua ke Bank Mandiri (Cepos, 25 November 2008).

Ketiga, berkaitan dengan soal kurangnya pemahaman dan persepsi dari aparat pemerintah lokal di bawah gubernur. Toh kita tidak pernah juga melihat langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah lokal untuk membantu menata sistem birokrasi dan pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang maksimal buat rakyat Papua. Berbagai kebutuhan menjadi mahal dan sulit dijangkau, mau bertemu pejabat menjadi susah dan berbelit-belit, sebab kroni-kroni di lingkaran kekuasaan makin kuat. Belum lagi konflik internal di antara pemerintah lokal.

Lantas bagaimana dengan Jakarta yang seharusnya turut bertanggungjawab dalam mengimplementasikan Otsus? Seorang teman mengatakan, “Jakarta tidak serius tangani Papua melalui Otsus, Jakarta juga tidak akan mau dengar pendapat Papua soal Otsus. Jadi kalau orang Papua mau didengar, stop bicara Otsus, kembali bicara merdeka, hanya bicara merdeka, itu baru Jakarta mau dengar”, lanjutnya.

Mungkin saja dia betul, karena kenyataannya semua perbincangan soal Otsus hanya mengalir seperti catatan intelectual exercise, memenuhi file rak, lemari dan laptop dengan berbagai diktat dan pendapat, menjadi pembicaraan di forum-forum ilmiah, tetapi tidak pernah sampai pada keputusan dan sikap politik. Penuturannya mungkin tak beda jauh dengan apa yang pernah disampaikan oleh Sekjend PDP, Thaha Moh Alhamid, “ibarat kita minta kopi, Jakarta kasih the. Kita jangan mau berdebat soal teh, mari kita terus bicara soal kopi, nanti diskusinya soal kopi, bukan teh".

Keyakinan rakyat Papua menipis terhadap nasib berbagai dokumen-dokumen luar biasa yang dihasilkan dari berbagai forum itu akan mampu mendorong munculnya keputusan penting yang sesuai dengan harapan mereka. Mungkin beberapa di antaranya sampai juga ke ‘telinga’ Mendagri, Menko Polhukam, BIN, Wapres dan Presiden, namun toh tidak mampu merumuskan kebijakan baru serta sekaligus mengubah sikap dan pandangan politik Jakarta tentang Otsus dan yang jauh lebih penting adalah tentang kemauan rakyat Papua.

Di sisi lain, muncul juga kecurigaan, terhadap para pihak dan pakar yang sangat sering membahas Otsus, “kita tidak perlu pakar untuk menjelaskan bagaimana caranya membuat Otsus efektif dan berdaya guna buat rakyat. Cukup pergi di jalan, di kampung-kampung, lihat dan tanya pada masyarakat, apakah pemerintah memberikan apa yang mereka mau? Lantas kita butuh komitmen dan konsistensi dari pemerintah lokal dan juga (terutama) Jakarta. Itu saja”.

Yang kita khawatirkan adalah ketika perhatian terhadap praktek kegagalan Otsus telah berpindah dari ruang penderitaan rakyat, yang sesungguhnya menjadi ruang diskusi akademisi serta ruang kampanye para politisi. Otsus seperti hilang dari tataran nyata, dan berubah menjadi mimpi kembali. Rakyat bisa dibuat lupa kalau sedang menjalani apa yang namanya Otsus, karena jadinya rakyat seperti baru diajak kembali mendiskusikan dan merumuskan Otsus yang ideal.

Fenomena ini tentu saja berbahaya, karena dapat melemahkan motivasi untuk memaksa sikap politik yang jelas dari pemerintah lokal: eksekutif, legislatif dan MRP. Apalagi sudah lama ‘gertakan’ mereka selalu dianggap sepi oleh Jakarta. Serta di sisi lain akan menjustifikasi gerakan-gerakan massa yang bersuara beragam soal implementasi, evaluasi, revisi bahkan mengembalikan Otsus melalui berbagai arena demonstrasi, pendapat di hadapan publik dan media sebagai sesuatu yang ‘liar dan separatis’.

Sesungguhnya, kajian dan refleksi tentang perjalanan Otsus memang pantas untuk dilakukan dan semoga meluasnya ide dan gagasan tentang Otsus yang dilakukan di dalam dan luar Papua bisa terus mendekatkan diri dengan kebutuhan rakyat Papua dan juga mendukung praktek-praktek desentralisasi yang bertanggungjawab dan manusiawi.


Keterangan Foto:
Aksi masyarakat adat yang mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua
(Andawat dan Muridan S. Widjojo)