LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

20 Desember 2008

Penangkapan Aktifis: Strategi Baru Menghabisi Kekuatan Sipil

Oleh: Andawat

Setelah Buchtar Tabuni ditangkap tanggal 3 Desember 2008, pada tanggal 17 Desember 2008, sekitar pukul 11.45 waktu Papua, Sebi Sabom juga ditangkap di areal Makam Theys yang menjadi tempat konsentrasi mahasiswa sejak pertengahan November 2008. Sebi Sambom ditangkap berdasarkan Surat penangkapan No. Pol: SP-KAP/33/XII/2008/DITRESKRIM tanggal 17 Desember 2008, di bawah pimpinan IPTU Yan P. Senandi dan 18 orang anggota Serse POLDA Papua lainnya. Setelah mendengar informasi penangkapan Sebi, Tim PH langsung menuju Mapolda Papua, tak lama kemudian 2 mobil kijang menghampiri pintu utama gedung Serse Polda, Papua, membawa Sebi tiba.

Pertemuan singkat dilakukan antara Sebi dengan pihak serse, kemudian dihadiri oleh Tim PH. Tim PH meminta pertemuan tertutup dengan Sebi sebelum dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan baru dimulai sekitar pukul 14.00 waktu Papua, lalu di-break sebentar untuk makan kemudian dilanjutkan kembali hingga pukul 20.00 waktu Papua. Sebi ditanya sekitar 17 pertanyaan inti, semua berkisar pada acara tanggal 16 Oktober 2008, perannya pada acara tersebut hingga selebaran dan naskah Pidato berbahasa Inggris mengenai Review the Act of Free Choice. Setelah pemeriksaan Sebi tidak diijinkan pulang. Keesokan harinya, Sebi diberikan Surat Perintah Penahanan untuk 20 hari berdasarkan Surat No. Pol: SP.HAN/39/XII/2008 tanggal 18 Desember 2008.

Sebi Sambom lahir 33 tahun yang lalu, di Wamena, menyelesaikan SD YPPK tahun 1988 di Wamena, SMP PGRI tahun 1991 lantas ke Sorong masuk pada Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) setelah tamat tahun 1994. Sebi kembali ke Wamena dan bekerja selama kurang lebih 3 tahun sebagai penyuluh perikanan. Tahun 1997 Sebi menuju Jakarta, di Jakarta dia hanya menetap sekitar 2 bulan karena setelah bertemu seorang anak Jawa kelahiran Merauke, Sebi mengikuti teman tersebut menetap di Kebumen selama kurang lebih 4 tahun. Di sana Sebi belajar membantu membuat meubel selain membantu di restoran sate milik temannya tersebut.

Dari perjalanan yang panjang itu, Sebi cuma punya satu keinginan yakni sekolah lagi, dia ingin kuliah tetapi tidak punya duit. Sebi mengumpulkan duit hasil jerih payahnya bekerja selama 4 tahun untuk biaya kuliah. Dia hijrah ke Jogja mendaftar dan kuliah pada Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA. Sayangnya hanya 4 semester karena duitnya sudah habis. “Saat itu susah minta dana sama bupati Wamena, karena beasiswa dari Wamena hanya untuk yang studi akhir”, kata Sebi pada satu kesempatan.

Sebi balik ke Jayapura sekitar tahun 2004, dia mulai ikut pada beberapa acara mahasiswa, termasuk pada saat Demo 1 desember 2005 di depan kampus STT IS Kijne, Padang Bulan, Sebi menancapkan dirinya sebagai salah seorang aktifis dengan ciri khas rambut gimbal, sepatu sport dan celana pendek. Sulit dipungkiri kalau saat itu, dua petinggi, masing-masing Kapolresta Jayapura (Paulus Waterpauw) dan Dandim Jayapura (Viktor Tobing) tidak langsung mengenalnya. Sebi memiliki ketrampilan komunikasi bahasa Inggris yang cukup fasih. Hampir dalam setiap pidatonya, dia menggunakan bahasa Inggris. Temperamennya agak berbeda dengan beberapa temannya yang lain, dia cenderung lebih tenang, mungkin juga karena usianya yang lebih tua. Sebi Sambom sempat balik ke Wamena untuk beberapa bulan, lantas turun ke Jayapura lagi, di Wamena , Sebi membantu keluarganya berkebun.

Sekarang Sebi Sambom ada di tahanan Polda Papua akan menghabiskan 20 hari masa tahanan pertamanya. Beberapa jam setelah Sebi ditangkap, istrinya yang sedang hamil 8 bulan langsung turun dari Wamena. “Sebaiknya dia tidak bertemu saya dulu, saya khawatir dia shock”, kata Sebi, kami diminta untuk bicara dengan istrinya sebelum membawanya ke Polda. Sekarang Sebi bersama Buctar, tentu saja dalam situasi dan suasana yang berbeda. Siapa yang akan menyusul ditangkap oleh Polda Papua?

Berita Cepos 19 Desember 2008, Direskrim POLDA Papua, Kombes Pol. Drs. Paulus Waterpauw kembali mengatakan, “yang jelas akan ada lagi yang ditangkap”. Pernyataan ini kembali menimbulkan pertanyaan: siapa? Jika acuan yang digunakan masih sama yakni laporan polisi: LP/88/X/2008/DITERSKRIM tanggal 16 Oktober 2008, terhadap peristiwa tanggal 16 Oktober 2008 di depan Kampus Uncen dan Expo Waena, dengan pasal-pasal tuduhan, yakni pasal 106 KUHP, 110 KUHP, dan 160 KUHP yang intinya makar, penghasutan dan melawan perintah aparat maka kita bisa menduga siapa yang berikutnya akan ditangkap dan ditahan, kemungkinan besar adalah Victor Yeimo, sebab Viktor salah seorang yang menandatangani surat selebaran dan ikut berorasi.

Seperti dugaan Andawat sebelumnya, bahwa teman-teman aktifis mahasiswa dan pemuda akan bergiliran ditangkap. Alasannya bukan saja soal pengibaran bendera, akan tetapi segala aktifitas yang dilakukan pada saat berlangsung demontrasi atau pengerahan massa. Sehingga supaya tidak ditangkap, jangan buat demostrasi karena kalau sudah ada demontrasi segala hal hampir sulit dikontrol, reaksi apa saja akan muncul, sehingga setiap peristiwa demonstrasi berarti ada peristiwa pidana (makar). ‘Logika aneh’ ini bagaikan pesan intimidatif yang mengejar setiap pergerakan sipil, akhir-akhir ini di Papua, khususnya Jayapura.

Strategi ini nampaknya sedang dipilih oleh negara dalam rangka melemahkan gerakan sipil yang dimotori oleh orang muda. Teorinya sangat sederhana, jika orang muda dibekuk, kekuatan perlawanan yang mengandalkan pengarahan massa berangsur surut, negosiasi-negosiasi yang penuh bujukan (intimidatif) baik kelembagaan maupun individu akan lebih sukses dilakukan oleh pihak penguasa. Orang-orang muda itu akan diproses hukum dan dipidana dengan vonis yang tinggi, belasan bahkan puluhan tahun. Cara pandang, perasaan mungkin juga tubuh mereka ‘dibersihkan’ dari gagasan perlawanan terhadap kekuasaan. Sejalan dengan pandangan ini, memutuskan mata rantai gerakan massa menjadi sama artinya dengan membunuh perlawanan itu sendiri.

Namun semoga kita tidak lupa bahwa gerakan massa di Papua biasanya juga bagian dari ekspresi budaya pada kehidupan yang sangat kolektif, apalagi tradisi ini masih sangat kuat di lingkungan masyarakat dari pengunungan. Transformasi ide dan gagasan tidak saja muncul pada saat pertemuan-pertemuan formal, misalnya ketika akan melakukan demonstrasi atau diskusi di saat seminar atau rapat tetapi justru lebih kuat ditanamkan dalam realitas hidup bersama yang dijalani. Sehingga mematikan gerakan massa bisa jadi atau sama dengan ‘memaksa’ satu generasi tumbuh dan tumbuh lagi.

Tahun 2008 ini mungkin tepat jika dianggap sebagai tahun gerakan mahasiswa meski langkah aparat tak berhenti membubarkan mereka termasuk menangkap tokoh-tokoh penggeraknya. Ketika bertemu dengan Buchtar di ruang tahanan Polda Papua, Buctar sempat bertanya, “kalau semua ditangkap, siapa lagi yang akan memimpin gerakan?”. Lantas kami menghitung anak-anak muda, teman-teman Buchtar lainnya yang bak ‘gugur satu tumbuh seribu’. Selain itu ada gerakan penyadaran yang secara serius juga dibangun oleh teman-teman, seperti tanggal 12 – 14 Desember 2008, GMKI menyelenggarakan Konferensi XVII dan di tanggal yang sama mahasiswa HMI menyelenggarakan Kemah dan Diskusi yang bermuara pada gerakan penyadaran dan membangun kekuatan, tak kurang film-film berthema inspiratif juga disodorkan.

Gerakan mahasiswa yang mulai terangkai kembali memang harus didukung bersama gerakan sipil lainnya. Jangan sampai mereka merasa sendirian di jalan. Kita perlu mengajak dan mensinergiskan gerakan mahasiswa dengan gerakan berbagai elemen sipil lainnya, terutama teman-teman di lingkaran kelompok adat, LSM dan juga kelompok agama. Kita berharap respon yang diberikan oleh setiap komponen sipil tidak bersikap reaktif dan hanya kasuistis sebab nanti hasilnya tak cukup mengakar apalagi membawa perubahan, hanya akan berpindah dari satu kasus ke kasus yang lain. Agenda utama yang harus dibangun adalah konsolidasi gerakan sipil, merumuskan kebutuhan dan kekuatan bersama.

Tujuan utamanya adalah untuk melawan tirani yang sedang dilakukan oleh pemilik kekuasaan. Penangkapan dan penahanan terhadap Buctar dkk, adalah potret dari upaya membelenggu demokrasi. Persoalannya bukan semata-mata soal bendera berkibar tetapi bisa apa saja: bicara tentang proses hukum yang salah, bicara tentang ketidakadilan, baik secara lisan dan tulisan.

Kita tidak bisa hanya menunggu dan menonton proses hukum yang sedang berjalan. Proses penangkapan dan penahanan ini baru pada mereka yang diduga terlibat pada peristiwa 16 Oktober 2008. Bagaimana dengan peristiwa 20 Oktober 2008 dan juga 1 desember 2008? Belum lagi Ditreskrim Polda Papua masih menyimpan ‘PR’, peristwa 9 Agustus 2008 di Sinapuk Wamena.
Nampaknya proses pemanggilan (penangkapan?) akan terjadi terhadap tokoh-tokoh Papua yang memiliki hubungan pada peristiwa-peristiwa tersebut, atau bisa siapa saja.


Keterangan Foto:
Situasi Demonstrasi IPWP Dalam Negeri, 16 Oktober 2008 di Depan Expo Waena.