LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

05 Januari 2009

Air Mata untuk Ambon di Teluk Arguni

Oleh: Andawat

Minggu lalu kami berkesempatan mengunjungi kabupaten Kaimana dan menelusuri berbagai kampung di Teluk Arguni, pesisir pantai barat Kaimana, pulau Adi, sampai di kampung Nusaulan, daerah ujung Kabupaten Kaimana yang terletak pas di ‘dagu’ kepala burung, berbatasan dengan Kabupaten Fakfak. Tapi bukan fenomena alam Kaimana dengan ‘Senja Indah’-nya yang hendak kami sampaikan di sini.

Di sebuah kampung di Teluk Arguni, Warwarsi namanya, yang menjadi ibukota distrik Teluk Arguni, kami bertemu dengan seorang laki-laki tua, setengah membungkuk ketika menyalami kami. Pandangan matanya masih bersinar kuat, pendengarannya masih tajam, juga ucapannya dengan dialek Kaimana yang kental, masih sangat jelas terdengar. Sepintas, lelaki tua yang benama Haji Sadik Furuada ini tidak beda dengan lelaki Papua yang sudah tua pada umumnya, tapi pandangan-pandangan bijak beliau terdengar menusuk di hati seorang anak muda seperti saya.

Ketika perbincangan kami memasuki topik agama, beliau sempat terdiam, kemudian berkata, “ketika konflik agama di Ambon meletus, kami semua di sini menangis. Kenapa mereka yang dulu datang mengajari kami agama Islam dan juga agama Kristen justru mereka juga yang mempertentangkan hal itu?”.
Yah, di tahun-tahun 1940-an, ketika daerah Papua masih diperdebatkan di meja perundingan internasional, orang-orang Maluku kemudian didatangkan ke banyak daerah di Papua, termasuk Kaimana ketika itu. Yang menarik, di Kaimana, selain guru penginjil, ikut datang pula beberapa orang guru agama Islam dari daerah-daerah di Maluku.

Kondisi inilah yang membuat banyak wilayah di daerah selatan Papua, khususnya Fakfak dan Kaimana, hidup dalam heterogenitas penganut agama. Jangankan satu kampung, satu marga banyak yang berbeda agama, bahkan dalam satu rumah, anggota keluarganya ada yang menganut sampai 3 agama yang berbeda: Islam, Protestan dan Katholik. Semua hidup dalam kerukunan dan kekeluargaan yang sangat tinggi. Pemandangan ketika ada orang Islam yang berada di dalam gereja pada saat suasana natal, atau orang Kristen yang berada di masjid ketika Idul Fitri, adalah hal yang lumrah terjadi di wilayah-wilayah ini.

Pikiran saya lalu berkelana ke beberapa daerah di Papua yang sempat menciptakan insiden yang sangat potensial memindahkan ladang tragedi kemanusiaan Ambon ke Papua. Sedikit keluar dari suasana kampung di Teluk Arguni, di kota Kaimana sendiri, belum lama ini muncul pertentangan yang menyulut ketegangan antara penganut Islam dan Kristen terhadap sebuah tugu yang terdapat di salah satu sudut taman kota, tepat di jantung kota Kaimana. Bangunan yang dianggap sebagai pohon natal ini kemudian menyulut kemarahan orang Islam Kaimana yang dimotori oleh sebuah ormas Islam, Al Fatih Kaafah Nusantara (AFKN). Mobilisasi massa sempat dilakukan oleh keduabelah pihak yang tengah bertikai ini. Ketegangan makin menguat ketika dari kalangan Kristen yang dimotori GPI sering kali tidak sejalan dengan GKI dalam hal memandang persoalan tugu natal (dan juga konser di bulan Ramadhan) ini.

Beberapa waktu sebelumnya, di Manokwari, ibukota provinsi Papua Barat, ketegangan umat Islam dan Kristen meruncing ketika raperda Injil diperkenalkan, setelah sebelumnya muncul penolakan kelompok Kristen di Manokwari terhadap rencana pembangunan Masjid Raya dan Islamic Center di daerah ini. Disebutkan pula, bahwa ketika ketegangan ini memanas, ada kelompok-kelompok Islam dan juga Kristen di luar Papua yang siap ‘membantu’ saudara seiman mereka jika terjadi konflik terbuka yang ditambah dengan ‘bumbu-bumbu’ yang kian memperpanas situasi.

Tidak lama kemudian, di Jayapura, muncul penolakan dari kelompok Kristen Jayapura terhadap rencana pembangunan gedung STAIN Al Fatah Jayapura. Penolakan kelompok Kristen yang dimotori oleh Asosiasi Pendeta Indonesia (API) ini bahkan sudah disampaikan ke Majelis Rakyat Papua (MRP). Yang terakhir, masih di Jayapura, pada Agustus dan November 2008 lalu, kelompok Kristen Papua melakukan unjuk rasa guna menolak segala sesuatu yang bernama dan atas dasar Syariah Islam: bank syariah, pengadilan agama, STAIN, hingga yang sangat politis adalah permintaan untuk mengganti DR. Ahmad Hatari, dari jabatannya sebagai Kepala Biro Keuangan Provinsi Papua, dan keinginan mereka untuk mengharuskan orang Papua yang akan menduduki Direktur Utama Bank Papua. Selain itu, ada juga tuntutan yang salah kaprah: penolakan SKB 5 Menteri tentang Pengoptimalan Beban Listrik Melalui Pengalihan Waktu Kerja pada Sektor Industri di Jawa dan Bali. Lagi-lagi, 2 kali aksi massa ini kembali dimotori oleh API, meski lebih mengedepankan label Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI) provinsi Papua.

Apa reaksi umat Islam, khususnya yang menetap di kota Jayapura? Pada demonstrasi pertama, Agustus 2008, kelompok Islam memilih berdiam diri. Tapi pada aksi kedua, November 2008, ummat Islam di Jayapura yang tergabung dalam ormas dan OKP melakukan penggalangan massa Islam. Ada pernyataan keras yang disampaikan oleh ummat Islam ketika itu, yakni mengutuk keras segala bentuk tindakan yang nyata-nyata menghujat dan mendiskreditkan ummat dan ajaran Islam. Kelompok Islam ini, dalam pernyataan sikapnya, bahkan sempat mengatakan, “tidak akan bertanggungjawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari”.

Menyitir laporan ICG tentang situasi sosial ini, bahwa pertentangan dua komunitas masyarakat Papua yang mengatasnamakan agama di Manokwari dan Kaimana (juga di Jayapura) tersebut dilakukan oleh komunitas ‘Islam baru dan Kristen baru’ di Papua. Yakni agama Islam dan Kristen yang baru ada di Papua setelah masuknya agama Kristen yang tergabung dalam Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI), Katholik dan Islam (melalui 2 ormas, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang cukup moderat).

Setelah itu, masuklah ormas-ormas Islam yang dengan tampilan yang agak keras, Hizbut Tahrir dan Muslim Salafi serta beberapa kelompok lainnya. Sedangkan di kalangan kelompok Kristen, kelompok Pantekosta baru dan Kharismatik menyerukan kebenaran mereka sebagai satu-satunya kebenaran dan melihat ekspansi dakwah Islam sebagai tantangan terbesar bagi mereka.

Membayangkan kengerian tragedi kemanusiaan Ambon (dan Poso), lalu melihat kondisi sosial kekinian yang kini ada di Papua, mengharap hal itu jangan sampai terjadi. Tapi mungkinkah? Adakah harapan untuk membuat keadaan di Papua menjadi lebih baik? Selama kita semua masih mengedepankan ego setiap kelompok, selama setiap kita semua masih terkungkung dalam kebenaran sepihak yang kita anut masing-masing, selama setiap kita masih menganggap kelompok di luar kita adalah musuh dan harus dimusnahkan, selama setiap kita mencampurkan urusan Tuhan dengan politik, selama setiap kita masih mengaitkan satu agama dengan satu wilayah, sedangkan agama lain tidak berhak ada di wilayah tersebut, maka tangisan laki-laki tua di Teluk Arguni tadi akan semakin keras terdengar.

Setiap kita bertanggungjawab sama besarnya agar air mata itu tidak lagi menetes, agar kesedihan tidak menjadi kisah lain dari negeri ini, dan agar anak cucu kita tidak diwarisi dendam.


Keterangan Foto:
Tugu Natal di Taman Kota Kaimana
(andawat)