LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

13 Januari 2009

Kepergian Seorang Teman di Tengah Pertentangan RAPERDASI Penanganan HIV-AIDS di Papua

Oleh: andawat

Siang hari, Kamis, 25 Desember 2008, kami mendengar informasi mengenai kematian mbak Henny, Ketua IWAJA (Ikatan Waria Jayapura), yang sejak sekitar 8 tahun lalu telah terinveksi virus HIV-AIDS. Tidak banyak yang mengetahui hari-hari terakhir mbak Henny. Yang lebih banyak diketahui bahwa sejak pertengahan tahun 2008, mbak Henny memang sudah sakit-sakitan. Beberapa kali sempat dilarikan ke rumah sakit dan sempat opname, kemudian sehat dan balik lagi ke rumah sakit. Begitu pun menjelang kepergianya, dia sempat dirawat di RSUD Abepura selama 2 hari. Henny Wahyuni alias Muhammad Salim lahir Ambon, 28 Agustus 1969 dan meninggal pada 25 Desember 2008.

Mbak Henny termasuk sosok yang fenomenal di kalangan waria dan juga teman-teman penderita dan pemerhati penyakit HIV-AIDS. Tentu karena posisinya sebagai Ketua waria, memiliki keterampilan dalam hal merias wajah/pengantin. Semangatnya menghidupkan kegiatan olahraga juga cukup tinggi, dan karena keberaniannya membuka diri setelah menderita penyakit HIV-AIDS. Dia banyak menceritakan pengalamannya dan berbagi ‘kegelisahan’ di hadapan forum-forum yang berthema HIV-AIDS. Record-nya dalam berbagai aktifitas sosial memang tinggi. “Ini bukan hal yang mudah, saya dan teman-teman melewati masa suram yang panjang”, katanya pada sebuah pertemuan Kelompok Berbagi Cerita (KBC) ALDP.

Sayangnya mbak Henny menolak mengkonsumsi ARV (Antiretroviral), obat untuk penderita HIV-AIDS. Alasannya dia khawatir dengan efek samping yang akan muncul, bisa pada kulit atau mungkin pada pencernaan. Jika sakitnya kambuh dan teman-temannya mengingatkannya, dia ‘janji’ akan minum, tapi itu tak juga dia lakukan. Mbak Henny berusaha ‘membunuh’ penyakitnya dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang berthema HIV-AIDS, seperti pada program Stop AIDS Now! bersama ALDP dan teman-teman mahasiswa. Dia banyak berbagi, bahkan di tengah-tengah sakit yang diderita, dia sempat ikut kegiatan evaluasi yang dilakukan ALDP di pulau Debi, di teluk Yotefa, pada 12 Juni 2008 lalu. Kala itu wajahnya sudah terlihat sangat kurus.

Mengatasi dan mengisi hari-hari bagi orang penderita HIV-AIDS tentu bukanlah hal yang mudah. Mereka sudah terlanjur mengalami diskriminasi oleh masyarakat, bahkan juga di kalangan medis. Kendati banyak LSM yang mulai memberikan perhatian serius terhadap penderita HIV-AIDS, namun dalam satu dua peristiwa, masih saja muncul perasaan bahwa mereka dieksploitasi oleh kegiatan-kegiatan LSM tersebut. Apalagi dana untuk pencegahan dan penangganan penyakit HIV-AIDS deras mengalir dan terkadang dapat memicu konflik di kalangan pengelola dana tersebut. Menurut Dr. Gunawan, salah satu pemerhati HIV-AIDS di Papua, “mereka mau untuk bertahan karena anaknya, karena keluarganya, namun jika sudah ditinggal sendiri dan keluarganya juga mengabaikannya, maka hidupnya akan hampa”.

Selain itu, merubah pandangan dan perilaku di antara masyarakat dan penderita HIV-AIDS juga menjadi persoalan tersendiri. Memang persoalan untuk menyakinkan masyarakat bahwa kita masih dapat hidup wajar dengan penderita HIV-AIDS kadang sama sulitnya dengan membangun rasa kepercayaan dari penderita HIV-AIDS itu sendiri. Hal ini yang menyebabkan ‘penerimaan’ dan ‘membangun kepercayaan’ menjadi persoalan utama dalam penanganan masalah HIV-AIDS. Jika tidak ada ‘penerimaan’ dan ‘kepercayaan’, biasanya membuat penderita HIV-AIDS menjadi makin terpuruk, ditolak oleh dunia dan menolak dunia dalam sisa hidupnya. Padahal penyebaran virus HIV-AIDS terjadi secara meluas, siapa saja bisa tertular penyakit tersebut. Kita tidak bisa menghentikan segala perubahan dan perkembangan kehidupan yang ada di sekitar kita oleh karena itu kita yang mesti mengubah cara pandang dan perilaku kita. Sehingga perubahan perilaku itu bukan saja harus dilakukan oleh penderita HIV-AIDS tetapi juga kita semua.

Persoalan ‘penerimaan’ dan ‘kepercayaan’ itu yang kemudian menjadi pertentangan yang sangat sengit ketika pembahasan RAPERDASI tentang Penanganan HIV-AIDS di Papua, bulan Desember 2008 lalu. Apalagi ketika wujud dari sikap tersebut ditunjukkan dalam penyediaan fasilitas, yakni microchips dan ID Card bagi pengidap HIV-AIDS. Komisi E DPRP selaku penggagas RAPERDASI tersebut, mengatakan bahwa, “microchip dan ID Card adalah upaya ekstrim yang memang diperlukan, karena HIV-AIDS sudah sangat serius di Papua”, demikian Dr. Manangsang yang dikenal sebagai inisiator utama RAPERDASI tersebut mengungkapkan alasannya.

Kala itu pertentangan yang luar biasa terjadi di antara pihak DPRP dan masyarakat. Berbagai organisasi masyarakat, pihak LSM termasuk KPA melakukan hearing, bahkan mama-mama Papua dari Solidaritas Perempuan Papua (SPP), yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Ibu Ferdinanda Ibo Yatipay, menyerang sangat keras dan mendesak pertemuan bersama dengan banyak pihak sebelum pengesahan RAPERDASI tersebut. Sebab dicurigai, bahwa telah terjadi pertemuan hanya di kalangan tertentu sebagai upaya mendukung pengesahan RAPERDASI, bahkan naskah RAPERDASI tidak disebarkan untuk kalangan luas.

Sempat terjadi ketegangan di antara para pihak, pertarungan di antara ‘pendapat komisi’ dan ‘kata akhir fraksi’ juga berlangsung pelik. Komisi E DPRP sebagai penggagas RAPERDASI tersebut sangat marah dan masih tidak bisa menerima keputusan DPRP dan Eksekutif yang mencoba membatalkan RAPERDASI tersebut. Berbagai argumentasi disampaikan, tapi argumentasi tersebut justru membuat kita makin yakin bahwa pertama, gagasan microchip adalah upaya penanganan yang sifatnya sangat kasuistis tanpa ada referensi kajian dan fakta akademis sebelumnya. Sehingga Komisi F DPRP sempat mengeluarkan bantahan, “bahwa untuk pencegahan dan penanggulangan memang dibutuhkan aspek dan pendekatan yang sesuai dengan situasi dan keadaan masyarakat penerima manfaat. Akan tetapi yang tidak boleh dilupakan juga adalah, apakah upaya yang akan dilakukan telah secara efektif terbukti dapat mencegah penularan satu orang ke orang lain?”

Kedua, microchip itu akrab dengan tehnologi, seperti kita perlu alat untuk mendekteksi penggunaan microchip dalam bentuk layar monitor, men-design keberfungsian signal, kaitannya dengan kontak darah (perantara penularan virus HIV-AIDS dalam kontak seksual) hingga pemakai pemancar dan lain sebagainya. Apakah ini tidak berbuntut pada kesiapan kita dengan pengadaan berbagai fasilitas yang belum tentu bisa dimanfaatkan setelah diadakan.

Setelah melalui pressure dan lobby yang panjang, akhirnya pasal 11 yang berisi gagasan ‘penggunaan microchip pada orang penderita HIV-AIDS yang berperilaku agresif dan membahayakan orang lain dan penggunaan ID Card’, dihapuskan. Meski demikian, “kita harus tetap waspada”, kata seorang teman aktifis HIV-AIDS, “jangan sampai microchip diubah dengan tattoo, dan itu sama saja diskriminatifnya”, tandasnya.
Oleh karena itu, teman-teman pemerhati HIV-AIDS mengajak kita semua, khususnya kelompok perempuan dan LSM HAM untuk ikut memberikan dukungan dan pandangan hukum. Kita butuh aturan untuk mencegah dan menanggulangi HIV-AIDS tetapi penanganan yang tidak melanggar hak asasi manusia serta memihak pada penderita, karena itu penyempurnaan terhadap RAPERDASI yang telah disahkan menjadi PERDASI Penanganan HIV-AIDS perlu dilakukan. Siapa yang mau menjadi bagian dari koalisi ini?

Kematian seseorang adalah juga kepergian segala hal baik dan buruk tentang dirinya. Tidak ada yang sempurna, dan biarlah kalau ada persoalan yang belum selesai dengannya, mari kita ikhlaskan agar kepergiaannya bisa lebih tenang. Jenazah mbak Henny akhirnya disemayamkan di kamar jenazah RSUD Abepura. Keesokan harinya, sebelum dibawa ke pemakaman umum Abe Pantai, jenazah almarhum sempat disholatkan di Masjid Asshallihin, Abepura. 26 Desember 2008, mbak Heny, yang tidak saja

hari itu jumat, 26 desember 2008. Hujan turun sangat deras,nampak teman – teman aktifis LSM Kesehatan HIV-AIDS dan kelompok waria cukup banyak. Kepergiaan mbak Henny tentu menyimpan pelajaran yang sangat dalam untuk kita semua, betapa tuhan selalu menitipkan pesan dari setiap kematian, tinggal bagaimana kita ‘mengetahui dan membacanya’.



Keterangan Foto:
Mba’ Heny, pada satu aksi demonstrasi tentang kegagalan penanganan HIV/AIDS di Papua, di lingakaran Abepura.
(andawat)