LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

23 Januari 2009

Tingginambut: Pos Keamanan di Antara Penerimaan Masyarakat

Oleh: Andawat

Harian Bintang Papua tanggal 19 Juni 2008, Wartawan SH, Soehendarto menuliskan perjalanan Kapolda Papua mengunjungi Distrik Tingginambut di Kabupaten Puncak Jaya. Berikut beberapa kutipan dari tulisannya: Perjalanan dari Mulia, ibukota Puncak Jaya, distrik Tingginambut berjarak sekitar 75 km yang ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam perjalanan darat. Kapolda Papua meresmikan pos polisi, SD dan Kantor Distrik Tingginambut yang sebelumnya bangunan tersebut telah dihancurkan oleh Goliat Tabuni dkk.

Menyertai acara tersebut, hadir lengkap para petinggi Polda Papua, Kapolres Puncak Jaya dan petinggi Puncak Jaya. Saat itu kedatangan Goliat Tabuni sangat diharapkan sebagai bentuk ikatan persaudaraan, membuka lembaran baru untuk memperbaiki hubungan dan ‘kembali ke pangkuan ibu pertiwi’. Sayangnya, Goliat Tabuni hanya diwakili oleh orang-orang kepercayaannya seperti Kotoran Tabuni, Deki Tabuni (anak Goliat Tabuni), Tendiles Murib, Sari Tabuni dan Mus Wanimbo. Meski tidak hadir, Goliat Tabuni sempat mengirimkan 5 kalung adat yang kemudian dikalungkan kepada Kapolda Papua, Bupati, Wakil Bupati, Kapolres dan Wakapolres, ini pertanda rombongan diterima sebagai keluarga.

Kala itu, Kapolda Papua sempat mengambil kaca mata pribadinya dan menitipkannya pada anak Goliat Tabuni yang bernama Deki Tabuni, dan mengatakan, “ini kaca mata pribadi saya, tolong sampaikan kepada ayahmu Goliat Tabuni sebagai kenang-kenangan. Sampaikan salam persaudaraan saya. Bila ingin bertemu, beritahukan kapan dan di mana saja. Kalau mau bertemu di Tingginambut dalam suasana kekeluargaan, saya juga bersedia datang lagi”.

Kesokan harinya, sebelum balik ke Jayapura, Kapolda Papua sempat mengirimkan surat kepada Goliat Tabuni yang dititipkan kepada Kotoran Tabuni, isinya “kepada saudaraku Goliat Tabuni terkasih di Tingginambut. Sudah saatnya sekarang ini saudaraku Goliat Tabuni bersama-sama masyarakat, Bupati, Wakil Bupati, Ketua DPRP, Kepala Suku dan Kepala Kampung di tanah yang diberkati di Tingginambut ini untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat dengan damai, tulus ikhlas dari hati yang penuh kasih sayang. Semoga Tuhan selalu memberkati kita sekalian. Amin. Salam kasih sayang. Puncak Jaya, 25 Juni 2008. Kapolda Papua. Tertanda, Drs. FX. Bagus Ekodanto, Irjen Pol”.

Telah juga menjadi pengetahuan banyak orang, bahwa kendati markas Goliat Tabuni dkk tidak mudah diketahui dan sering berpindah-pindah, namun beberapa anak buah Goliat Tabuni sering berkunjung ke pos polisi Tingginambut, dan mengobrol bersama pihak keamanan Indonesia. Namun sekitar tujuh bulan setelah catatan perjalanan persaudaraan yang begitu indah, pada hari Kamis tanggal 8 Januari 2009 sekitar pukul 21.00 WIT, pos polisi itu diserang. Pihak penyerang yang (katanya) berjumlah 10 orang, yang diduga kuat sebagai pasukan dari Goliat Tabuni, tokoh OPM yang menyebut dirinya Komandan KODAP III, berhasil membawa kabur 4 pucuk senjata, sejumlah peluru dan melukai Ivana Helan (21 tahun), istri dari Bripda Yan Pieter Ayer, salah seorang anggota di pos Polisi Tingginambut.

Merespon peristiwa tersebut, Kapolda Papua kembali membuat pertemuan dengan warga masyarakat, tokoh adat dan pemerintah setempat serta menyerukan kepada masyarakat dan tokoh adat agar membantu polisi untuk mengembalikan senjata yang telah dirampas dalam waktu sekitar 3 minggu, atau sekitar awal Februari 2009 mendatang. Selain itu, pihak Polda sendiri tetap melakukan pencarian. Pada tanggal 16 Januari 2009, di Tinggineri telah terjadi kontak senjata antara pasukan Brimob yang dibantu Densus 88, dengan pasukan Goliat Tabuni yang mengakibatkan tertembaknya salah satu anak buah Goliat Tabuni, yakni Yendenak Wenda. Setelah tertembak, Yendenak Wenda masih sempat melemparkan senjatanya ke jurang untuk kemudian dibawa lari oleh seorang temannya. Kini Yendenak Wenda ditetapkan sebagai Tersangka, dan sedang dalam perawatan di RS Bayangkara, Abepura milik Polda Papua.

Para pelaku terus diserukan untuk mengembalikan senjata serta kembali ke masyarakat dan turut membangun Papua bersama pemerintah. Hal ini juga dikatakan oleh Wakil Gubernur Papua, Alex Hasegem, SE dan Bupati Puncak Jaya, Lukas Enembe, SIP. Dari unsur pimpinan agama, Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Papua, Pdt. Lipiyus Biniluk, meminta seluruh masyarakat agar tetap tenang dan beraktifitas seperti biasa. Kepada pihak yang mengambil senjata milik polisi, diminta untuk mengembalikan kepada pemiliknya, dan mengingatkan pihak keamanan, agar jangan mengambil tindakan-tindakan sendiri, tetapi ikut komando Kapolda Papua dan bekerja sesuai peraturan yang ada. “Mohon jangan ada yang memprovokasi”, tambahnya.

Penyerangan terhadap pos keamanan miliki pemerintah Indonesia, dimulai dari penyerang yang sangat fenomenal pada markas Arfai di Manokwari pada tahun 1965, pos-pos di sekitar Betaf dan Bonggo pada tahun 1980-an hingga 1990-an, sampai pada penyerangan terhadap gudang senjata milik Kodim Wamena tahun 2003, dan pos Wembi pada Maret 2006, cukup menjelaskan bahwa ada persoalan yang serius antara pihak keamanan dan masyarakat. Padahal pada pembukaan atau peresmian pos-pos keamanan di wilayah rawan atau perbatasan, biasanya didahului dengan upacara adat yang meriah, misalnya peresmian pos polisi Tingginambut yang menghabiskan 300 ekor babi. Jika pos tersebut sudah ada di tengah-tengah masyarakat, maka seharusnya masyarakat menjaganya dan merasa memiliki pos tersebut.
Pertanyaannya, apakah masyarakat telah melanggar penerimaan mereka terhadap pos keamanan yang ada di kampungnya? Ataukah berbagai perayaan peresmian tersebut hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, misalnya pemerintah daerah dan pihak keamanan itu sendiri, sementara masyarakat tidak pernah sungguh-sungguh mau menerima pasukan keamanan di kampungnya?

Modus penyerangan yang dilakukan biasanya pada saat kondisi pos atau markas keamanan benar-benar sepi dan tertutup, seperti pada penyerangan Kodim Wamena tahun 2003 lalu. Selain itu, ada juga yang dilakukan pada saat situasi ramai dan beberapa anggota masyarakat justru sedang berada di pos keamanan tersebut, seperti penyerangan pos Wembi tahun 2006 dan pos Polisi Tingginambut. Penyerang biasanya menggunakan persenjataan tradisional, seperti tulang kasuari, jubi (panah), parang serta kampak sebagai andalan utama mereka. Kasus ini mengingatkan kita, bahwa soal keamanan tidaklah sesederhana yang dibayangkan, hanya terletak pada orang yang memiliki senjata atau tidak, tetapi pada bentuk-bentuk penerimaan dan persaudaraan yang dilakukan saling tulus antara kedua belah pihak.

Sudah sepantasnya masyarakat diperkenalkan dan diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan yang lebih adil dan bermartabat sehingga berangsur-angsur belajar melupakan (memperbaiki) sejarah kelam panjang yang kolektif dari keberadaan pasukan keamanan. Mulai dari intimidasi, membatasi kebebasan masyarakat dalam beraktifitas sehari-hari, hingga mengambil dan merusak harta benda milik masyarakat seperti kebun, rumah dan ternak. Ajakan turun gunung dan membangun yang selalu dilontarkan oleh pejabat sipil dan militer bagi masyarakat, sama sulitnya dengan mencari dan menemukan sikap serta perilaku non diskriminatif dari keberadaan pos keamanan.

Sementara itu, pembangunan yang diperkenalkan kepada mereka berbeda dengan pengetahuan mereka tentang bekerja dan mengisi kehidupan, sebab kehidupan yang sedang mereka lalui bukanlah hal yang mudah. Mereka juga tidak melihat ‘pembangunan’, kecuali kalau Bupati dan para pejabat datang, baru ada keramaian dan kesibukan aparatur pemerintah. Akibatnya, pembangunan dan (terutama) penerimaan hanya dianggap sebagai acara simbolis dan kesempatan untuk berpesta: bakar batu dan wam (babi).

Kita sama berharap agar pengejaran terhadap pelaku penyerangan dan penganiayaan di pos polisi Tingginambut dilakukan dengan professional dan tidak menimbulkan luka hati rakyat Tingginambut.


Keterangan Foto:
Kapolda Papua ketika menyerahkan kaca matanya kepada anak Goliat Tabuni.
Sumber: http://papua.polri.go.id/index.php?option=com_easygallery&act=photos&cid=37&Itemid=82