LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

07 Januari 2009

Refleksi Tahun 2008: Upaya Pencegahan HIV-AIDS Papua

Oleh: Aston Situmorang, SH*)

Kedengarannya terlalu optimistis jika dikatakan HIV-AIDS bukanlah hal yang baru di telinga kita. Pengetahuan akan penyakit ini bisa didapatkan dalam kehidupan ketika terjadi interaksi sosial melalui berbagai cara berupa tema perbincangan maupun percakapan setiap harinya. Baik dalam suasana formal maupun informal, kita sudah sering mendengar apa itu HIV-AIDS, bagaimana penyebaran dan dampaknya serta berbagai seluk-beluk tentang penyakit ini, baik diterima secara utuh maupun hanya sepenggal informasi tentang keberadaannya.

Dimulai ketika di tahun 1992 di kabupaten Merauke, awal ditemukan kasus penyakit ini di Papua, kemudian terus menyebar hingga ditemukan juga di seantero daerah lain. Tentu dengan suasana arus perpindahan penduduk yang semakin tinggi dengan kompleksitas kegiatan dan pemenuhan keinginan dan kebutuhan manusia semakin membuka ruang percepatan penyebaran penyakit mematikan ini di daerah yang baru saja mengalami kebebasan atas tirani yang mengharamkan kebhinekaan dalam semua hal.

Pengenalan akan bahaya penyakit ini sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dengan menggunakan berbagai media cetak, elektronik maupun lisan, yaitu cerita dari mulut ke mulut sebagai bentuk keprihatinan akan kondisi ini. Juga dengan berbagai metode kegiatan sosialisasi dan berbagai jenis kegiatan kampanye belum berarti banyak dalam mengatasi penyebaran penyakit ini. Bahkan pengenalan akan ancaman serta berbagai hal tentang penyakit ini sudah mulai gencar diperkenalkan sejak usia dini. Segudang strategi, taktik jitu maupun langkah baik dalam skala temporer maupun grand design juga ikut dirancang dengan melibatkan berbagai pihak yang peduli atas keselamatan masa depan generasi di Papua. Semua ini dilakukan tidak lain untuk memberikan perhatian serius atas penyebaran penyakit HIV-AIDS yang sudah berada pada kondisi kritis.

Untuk tahun 2009, menurut Gubernur Papua pada pencanangan tanggal 1 Desember sebagai hari Gerakan Besar Seluruh Masyarakat Papua dalam penanggulangan HIV-AIDS, fokus penanganan penyakit ini di kampung-kampung akan menggunakan dana Respek sebesar 1 triliun Rupiah. Bahkan ada langkah lain yang cukup proaktif dan progresif, yaitu setelah ada Voluntary Counselling and Testing (VCT), kini muncul Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) yang merupakan konseling dan testing HIV yang diinisiasi petugas kesehatan. Pengembangan program PITC bukan menggantikan VCT, namun lebih melengkapi sistem yang selama ini gencar dilakukan.

Faktanya pada Maret 2007, HIV/AIDS di Papua tercatat 3.252 kasus diketahui positif HIV sebanyak 1.856 kasus, sedangkan positif AIDS sebanyak 1.396, di mana hubungan seks mencapai 3.064 kasus merupakan faktor penyebab dominan. Juni di tahun yang sama, berjumlah 3.377 penderita dan per 30 September 3.434 kasus, sedangkan di bulan Desember sudah mencapai 3.629 penderita. Triwulan I tahun 2008 jumlah kasus HIV-AIDS di Papua sebanyak 3.955 kasus. HIV sebanyak 2.182 kasus dan AIDS 1.773 kasus dan sebanyak 326 atau 8,24% sudah meninggal.

Bahkan UNAIDS menyatakan Indonesia termasuk salah satu negara dengan pertambahan orang yang mengidap HIV/AIDS paling tinggi di kawasan Asia atau the Fastest Growing Epidemic in Asia. Juga hasil Surveilans Terpadu HIV-AIDS Terpadu (STHT) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Kesehatan yang mulai dilakukan awal tahun 2008 menyebutkan rata-rata kasus HIV/AIDS Papua 60,93 kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional yaitu 3,96. Hasil survei ini mendukung laporan total kasus AIDS dari Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan hingga Maret 2007 ada 1.122 kasus AIDS per 100 ribu penduduk Papua yang mana sebanyak 227 pasien di antaranya meninggal.

Kita kaget? Terkejut? Atau biasa saja menanggapi data dan fakta terbaru itu walau masih simpang siur, karena ada perbedaan angka dalam jumlah pengidap dan juga jumlah korbannya. Fakta ini bisa ditanggapi beragam oleh khalayak, khususnya di Papua. Apakah penyebarannya memang dikarenakan kita tidak bisa melakukan upaya preventif, sehingga jumlahnya meningkat ribuan persen sejak awal ditemukan 16 tahun silam, atau jika positive thinking, bahwa angka-angka tadi merupakan hasil dari kerja keras kita semua sehingga bisa teridentifikasi secara baik sebagaimana sifat dari penyakit ini ibarat piramida tegak (fenomena gunung es).

Pada awalnya kita bereaksi dengan menggunakan indikator yang sulit diukur, bahwa penyakit ini adalah kutukan Tuhan. Bahkan lebih ekstrim lagi, kita berpendapat bahwa peningkatan jumlah penderita penyakit yang belum ada obatnya ini karena pengaruh invisible hand. Atau mungkin dalam percakapan kita namun bernuansa gurauan ada ide untuk merelokasi para ODHA di suatu pulau terpencil. Sikap kita ini bisa diklaim sebagai bentuk ketidakpedulian akan jumlah penyebarannya yang sudah mengkhawatirkan dan bisa mengakibatkan terjadinya lost generation di Papua. Atau bisa juga karena ketidakingintahuan kita atas penyakit yang berbahaya ini karena menganggap bahwa ini hasil perbuatan si pengidap itu sendiri.

Ada wacana yang berkembang di masyarakat bahwa secara sosial kemasyarakatan penyakit ini terkait dengan perilaku. Secara etika dan nilai-nilai agama penyakit ini dikategorikan terkait moral. Perbedaan pandangan adalah hal yang wajar dalam menyikapi suatu masalah termasuk penanganan penyebaran penyakit ini. Bahkan ketika kampanye kondomisasi, menurut pihak yang gencar mengkampanyekan gerakan ini, bahwa merupakan cara yang ‘pantas’ dengan melihat jumlah penyebarannya yang amat memprihatinkan dan telah menembus semua level masyarakat yang kecenderungan baru saat ini adalah paling banyak diderita oleh generasi muda dan ibu rumah tangga. Namun bagi pihak agama dan komunitas yang sepaham, aksi ini sama saja melegalkan adanya perselingkuhan karena dianggap membagi-bagi kondom berarti menganjurkan untuk melakukan hubungan seks secara bebas.

Apa yang keliru dari ide dan usul semua pihak tersebut? Bahkan kampanye dengan bahasa dan gambar yang vulgar karena menampilkan kelamin manusia secara gamblang juga pernah diprotes oleh kelompok LSM terhadap pihak lain yang sedang berupaya – setidaknya menurut pemahamannya – untuk mencegah penyebaran penyakit ini agar tidak semakin menjadi.

Bahkan ada wacana yang baru berkembang yang termuat di dalam raperdasi Papua, soal menaruh microchip di tubuh pasien penderita HIV-AIDS. Bagi pihak yang menggodok ide ini, tentu merupakan usul yang revolusioner dalam penanganan penyebaran penyakit ini. Namun bagi kelompok yang berseberangan, menyodorkan argumennya bahwa tindakan itu melanggar HAM, mengenyampingkan kode etik kedokteran dan pastinya perlu dukungan dana yang tidak sedikit serta berbagai argument pendukung lainnya yang pada intinya bersikap berseberangan dengan pelontar ide microchip itu.

Keadaan ini tentu bermakna (atau setidaknya dimaknai) pertanda positif bagi kita di tanah Papua. Keberagaman pendapat menunjukan bahwa kita peduli, simpati, dan mungkin empati dengan penyebaran penyakit ini yang tanpa kita sadari telah mengoyak kebebalan hati nurani kita bersama akan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab moral terhadap keselamatan orang Papua yang katanya menjadi umat pilihan Tuhan. Harus menjadi kesadaran bersama bahwa memerangi penyebaran penyakit ini bukan saja tanggung jawab Dinas Kesehatan, KPAD atau hanya urusan pemerintah, namun mesti dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama.

Ini tentu mengisyaratkan bahwa tidak mesti kita berada pada posisi yang harus sama, dalam arti sekelompok, tapi biarlah jaring-jaring ide, cara, pola ini dimainkan oleh banyak pihak dari berbagai penjuru, sehingga target saat ini untuk mendapatkan ‘ikan’ sebanyak-banyaknya akan bisa tercapai. Setelah itu baru kita pilah berbagai jenis ikan hasil tangkapan dan bagaimana cara penyajiannya di meja makan. Semuanya membutuhkan pemahaman, pengorbanan serta yang paling penting dikomunikasikan secara baik dalam pengorganisasiannya. Semua mesti diperdebatkan secara ilmiah dengan tetap mengedepankan kebenaran dan keadilan sejati. Karena bisa jadi, suatu ide dan rumusan mungkin tidak tepat untuk kondisi saat ini, namun akan sesuai pada 10 tahun akan datang. Semua tergantung momen.

Bandingkan sikap kita dengan pemberantasan korupsi yang marak terjadi setelah Otsus diberlakukan di Papua. Memakai istilah ‘saguer lama dalam kemasan baru’, mungkin tepat bagi perilaku korupsi yang nyata telah membunuh orang lain secara perlahan karena apa yang menjadi hak orang itu namun sudah dirampas oleh sikap penghambaan atas uang yang sebenarnya merupakan kreasi ciptaan manusia. Ini memang sudah menjadi takdir bahwa praktek kanibal modern tidak bisa diberantas namun hanya bisa diminimalisir, karena pada dasarnya manusia akan menjadi serigala bagi orang lain. Berapa banyak dari kita yang mau peduli untuk berjuang (secara revolusioner) bagi pemberantasan korupsi di Papua?

Atau mungkin sikap kita dalam penanggulangan korban, khususnya dari kecelakaan lalu lintas akibat pengaruh miras yang dari tahun ke tahun semakin meningkat? Atau memang latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat kita pada dasarnya tidak pernah memiliki kesungguhan mendasar untuk menyikapi berbagai gejala sosial tersebut?

Karena itu kepedulian kita akan HIV-AIDS patut diacungi jempol, karena tanpa sadar keterlibatan kita dalam perjuangan ini menyadarkan kita akan refleksi kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan yang lebih baik sebagaimana juga merupakan wacana yang menjadi tema sentral tahun baru Hijriah, tahun baru Masehi dan tahun baru Cina. Papua dengan multi etnis, suku bangsa, agama, aliran politik dan pemahaman tentu akan memunculkan keberagaman ide dan pola pikir. Konstruksi pemikiran kita menentang atas hal itu sama saja kita melakukan penyangkalan atas penciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sejak ‘kelahirannya’ di Papua 16 tahun lalu, sudah banyak yang kita lakukan untuk pencegahan, pemberantasan HIV-AIDS. Seminar, lokakarya, sarasehan, training, siaran pers, komentar dan sederetan aktivitas lainnya, sekalipun bagi sebagian orang dan komunitas tidak menghasilkan apa-apa, karena angka-angka jumlah penderita bukan menurun namun dari waktu ke waktu meningkat signifikan, setidaknya ada hasil. Yang perlu digarisbawahi bahwa lebih baik berusaha dari pada tidak sama sekali yang tentu tidak bisa dibayangkan dampaknya jika kita bersikap demikian.

Semoga menjelang ‘sweet seventeen’ HIV-AIDS dan masih dalam semangat refleksi tahun baru 2009 kita semakin giat melawan penyebaran penyakit ini. Ucapan selamat hari-hari besar keagamaan bisa dilakukan melalui SMS tentu juga sepadan jika diterapkan pada kepedulian akan penanggulangan penyakit yang mematikan ini. Tentu masih banyak cara yang bisa dilakukan tiap kita dalam penanggulangan penyakit mematikan ini. ‘Sweet seventeen’ akan menjadi titik tolak seorang individu menentukan sikap dalam menentukan langkah hidupnya dan menjadi ukuran kedewasaan kepribadian suatu individu. Semoga kita juga menjadi dewasa dan bijak menyikapi kondisi ini sambil terus berikhtiar, berusaha dan berjuang.

*) Direktur LSM Manna – Papua, Yapen.