LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

24 Januari 2009

Pemukulan Buchtar Tabuni, Bukti Buruknya Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Andawat

Minggu ini, kami dikagetkan dengan banyaknya pertanyaan yang mencari kebenaran terhadap informasi pemukulan saudara Buchtar Tabuni, oleh salah seorang oknum anggota kepolisian di Polda Papua. Para penelephon tidak hanya mewakili pribadi, melainkan juga dari beberapa lembaga internasional, seperti Amnesty Internasional. Informasi ini memang membuat Amnesty Internasional kaget, karena seminggu sebelumnya Amnesty Internasional telah membuat siaran pers yang berisi tuntutan untuk membebaskan para pengibar bendera Papua.

Pada hari Senin, 19 Januari 2009, Iwan K Niode, SH, salah seorang pengacara Buchtar Tabuni, sempat mengeluarkan statement di salah satu harian lokal di Jayapura, bahwa dirinya selaku penasihat hukum Buchtar Tabuni tidak diizinkan untuk menemui kliennya. “Kenapa Polda Papua tidak mengizinkan saya untuk menemui dia? Pasti pihak Polda menyembunyikan sesuatu terhadap kami”, demikian ujarnya dengan nada Tanya yang tinggi. Padahal hari itu, menurut pengakuannya, dia hendak mengunjungi Buchtar Tabuni untuk mengkonfirmasi mengenai pemukulan terhadap kliennya, sekalian membawakan makanan ringan buat Buchtar Tabuni dan Sebi Sambom. Meski sudah melakukan protes keras kepada petugas jaga di ruang tahanan, tapi tetap saja tidak diizinkan untuk menemui Buchtar Tabuni.

Mengetahui hal ini, Iwan K. Niode, SH kemudian mendatangi Kasat I Pidana Umum Ditreskrim Polda Papua, AKBP Silitonga. Pada dasarnya, pihak penyidik sendiri tidak keberatan atas keinginannya untuk menemui Buchtar Tabuni. Oleh Silitonga, pengacara dari ALDP tersebut kemudian diminta untuk kembali lagi ke tahanan dengan ditemani salah seorang anggota penyidik, Raymond. Sampai di pintu ruang tahanan, petugas jaga ketika itu, Briptu Hamzah, dengan mengatasnamakan Direktur Samapta Polda Papua, menyampaikan bahwa Buchtar Tabuni tidak boleh ditemui oleh siapa pun juga. “Maaf, saya hanya menjalankan perintah atasan saya”, demikian kilahnya ketika itu.

Apa sebenarnya yang terjadi? Direskrim Polda Papua,Drs. Kombes Paulus Waterpauw dalam satu kesempatan mengatakan bahwa “tidak ada pemukulan, hanya mendorong, main-main, seperti seorang teman”. Namun dari berbagai informasi yang dihimpun, rupanya hal ini bermula dari kondisi ruang tahanan Polda Papua yang sangat tidak memenuhi standar. Diketahui, bahwa selama ini rupanya tahanan di Polda Papua, termasuk Buchtar Tabuni dan Sebi Sambom, hanya diberikan jatah makanan 2 kali sehari, siang dan malam dalam bentuk nasi bungkus, tapi tidak disediakan air minum oleh Polda Papua. Sehingga untuk menyiasati hal tersebut, para tahanan mengumpulkan uang untuk membeli teko elektrik yang akan digunakan merebus air buat minum. Airnya dapat dari mana? Untuk para tahanan disiapkan satu buah kamar mandi, jadi dari bak air di kamar mandi tahanan Polda Papua itulah mereka bisa mendapatkan air untuk direbus buat minum.

Pelanggaran yang sebenarnya sangat serius ini masih dianggap sebagai hal yang wajar bagi para tahanan dan tidak ada yang pernah mempermasalahkan soal air minum yang tidak pernah diberikan.

Cerita pemukulan terhadap Buchtar Tabuni berawal ketika pada tanggal 15 Januari 2009, air di kamar mandi tidak lagi mengalir. Kondisi ini berarti celaka buat para pesakitan ini, mereka tidak saja mengalami kesulitan ketika hendak berurusan dengan hal-hal yang terkait dengan kamar mandi, tapi juga sudah tidak mempunyai pasokan untuk kebutuhan yang paling fital: minum.

Karena itu, para tahanan, termasuk Buchtar Tabuni, kemudian mengeluhkan hal tersebut kepada pihak kepolisian yang kemudian berjanji untuk memperbaikinya. Janji yang belum juga ditepati pihak kepolisian kemudian membuat Buchtar Tabuni berbicara agak kasar setelah sampai pada tanggal 17 Januari 2009, air belum juga mengalir. Tidak terima dengan tindakan Buchtar Tabuni, Briptu B. Siagian, petugas piket saat itu, marah dan sempat melakukan pemukulan terhadap Buchtar Tabuni di bagian dada.

Apa tanggapan pihak Polda Papua? Iwan Niode yang sempat mencari keterangan dari pihak Polda terkait hal tersebut, diberitahukan bahwa pada saat kejadian itu, pihak petugas kepolisian tengah melakukan razia handphone terhadap para tahanan. Buchtar Tabuni yang menolak untuk diperiksa ketika itu, dan bahkan sempat mengeluarkan kalimat (yang dianggap) kasar dengan mengatakan bahwa dirinya adalah tahanan politik, tidak bisa disamakan dengan tahanan kriminal lain. Tidak terima dengan hal ini, Briptu B. Siagian lalu mendorong Buchtar Tabuni.

Berangkat dari penjelasan di atas, dan berpijak pada pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diadopsi oleh pemerintah Indonesia, pasal 69 dan pasal 70 KUHAP dan beberapa aturan lainnya, setidaknya ada 4 catatan penting yang mesti digarisbawahi di sini. Pertama, minimnya (tidak ada) fasilitas kebutuhan primer yang disediakan untuk para tahanan dan keengganan pihak Polda Papua menyediakan air minum bersih untuk para tahanan adalah jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak-hak para tahanan. Ingat, bahwa para tersangka ini belum dinyatakan bersalah sebelum vonis majelis hakim dijatuhkan kepada mereka, sekalipun narapidana kebutuhan primer mereka wajib disediakan oleh pemerintah. “Kalau tidak mampu menyediakan hal itu, titip saja mereka di rumah tahanan negara. Atau kalau tidak, kasih penangguhan penahanan”, kata Iwan Niode ketika itu.

Perlu ditambahkan juga, bahwa para tahanan tidur tanpa kasur, mereka hanya menggunakan kain seadanya untuk melapisi dinginnya lantai di dalam ruang tahanan pada malam hari. Sebenarnya hari pertama Buktar ditahan, para penasehat hukum menyediakan kasur untuknya, namun pihak penjaga tidak mengijinkan untuk digunakan. Sehingga tidak mengherankan jika di bulan pertama Buchtar Tabuni berada dalam ruangan tersebut, sempat dinyatakan sakit. Meski demikian, penangguhan penahanan yang telah diupayakan para pengacara terhadapnya tidak diberikan oleh pihak Polda Papua.

Catatan kedua, adanya (dugaan) pemukulan terhadap Buchtar Tabuni adalah jelas-jelas pelanggaran terhadap hak-hak tersangka. Apalagi jika hal tersebut terjadi ketika Buchtar Tabuni menuntut hak untuk memperoleh kebutuhan dasar hidupnya di dalam tahanan yang tidak dipenuhi oleh pihak Polda Papua. “Jika benar dia mendapatkan pemukulan dari polisi, maka saya akan melakukan penuntutan secara hukum terhadap oknum anggota polisi yang melakukan pemukulan terhadap klien saya. Karena dia ini ditahan bukan untuk dipukuli”, ancam Iwan Niode.

Catatan ketiga, pembatasan atas akses penasihat hukum terhadap kliennya juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka untuk bertemu dengan penasihat hukumnya tanpa dibatasi oleh waktu berkunjung, dan itu dijamin secara tegas di dalam KUHAP. Selain itu, “ini adalah kewajiban saya sebagai penasihat hukumnya untuk menemui dan melakukan konsultasi hukum dengan klien saya”, tegas Iwan Niode.

Catatan keempat, tidak adanya pemisahan terhadap semua tahanan berdasarkan kategori dan jenis pelanggaran hukum yang telah disangkakan kepada mereka adalah pelanggaran terhadap Standar Minimum Aturan untuk Perlakuan Terhadap Narapidana dan Tahanan yang telah disetujui oleh Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, melalui Resolusi 633C (XXIV) pada tanggal 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) pada tanggal 13 Mei 1977. Perlu diketahui juga, bahwa Kovenan Hak EKOSOB tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.

Catatan-catatan lain mungkin saja masih bisa berkembang dan lebih banyak jika kita meneliti lebih dalam. Karena ada cerita yang berkembang bahwa Buchtar Tabuni adalah seorang tahanan yang begitu banyak mendapatkan kecaman dan mengundang kemarahan terutama dari pihak penyidik. Buktar patut dijuluki, “tersangka dengan BAP di halaman pertama”. Sebab dia tidak pernah bersedia memberikan keterangan ketika proses pemeriksaan dilakukan sehingga pemeriksaannya selalu ditutup pada halaman pertama catatan penyidik. Sebenarnya, dari sisi hak-hak tersangka, pilihan ini dibolehkan oleh KUHAP, Direskrim Polda Papua juga pernah mengatakan “keterangan tersangka tidak wajib”. Selain itu Buchtar selalu menolak menandatangani surat apa pun yang diberikan penyidik tanpa diinformasikan atau didampingi Penasehat Hukum, sikap Buchar tersebut bisa dinilai tidak kooperatif.

Tanggal 20 Januari 2009, pihak Penasehat Hukum Buktar Tabuni telah melayangkan surat protes dan keberatan atas perlakukan terhadap Buktar Tabuni dan pembatasan akses yang dilakukan terhadap penasehat hukum kepada Kapolda Papua. Namun sampai hari ini, Sabtu, 24 Januari 2009, belum mendapatkan jawaban resmi dari pihak Polda Papua. Artinya, hingga hari ke 7 pascainsiden pemukulan tersebut, kondisi yang menimpa Buchtar Tabuni belum diketahui secara pasti, karena akses untuk itu sama sekali masih tertutup.

Di sisi yang lain, membaca tingginya perhatian lembaga-lembaga internasional terhadap kasus ini, dikhawatirkan akan berdampak pada semakin memburuknya wajah penegakan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Meski demikian, lepas dari itu semua, pemerintah kita bisa belajar dari kasus-kasus seperti ini untuk segera membenahi diri dalam hal penegakan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya memperhatikan kondisi dan fasilitas tempat-tempat penahanan.
Hal ini hendaknya menjadi perhatian serius bagi upaya pencegahan praktek-praktek penyiksaan bagi para tahanan akibat keterbatasan fasilitas serta masih kuatnya dominasi kekuasaan atas hukum yang seharusnya berkeadilan dan bermartabat bagi setiap orang.


Keterangan Foto
Buchtar Tabuni bersama kuasa hukumnya: Iwan Niode, Anum Siregar dan Hary Maturbongs, di sela-sela proses penyidikan di Polda Papua
(andawat)