LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

04 Februari 2009

Ancaman di Balik Penerapan Wajib Militer

Oleh: Al Araf*)

Meski ditentang banyak pihak, Departemen Pertahanan (Dephan) tetap bersikukuh untuk mengajukan Rancanan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) ke DPR. Meski sebenarnya ini sudah melewati target awal, yakni tahun 2007 sudah dapat dibahas bersama DPR. Tidak hanya itu, Dephan juga sudah menyiapkan RUU susulannya yang terkait, seperti RUU Pelatihan Dasar MIliter Bagi Warga Negara.

Terlihat janggal memang jika ketika Dephan terlihat begitu ‘memaksakan’ RUU KCPN untuk bisa dibahas. Tidak heran jika kemudian banyak pihak menganggap langkah ini memiliki ancaman terselubung. Apalagi, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Slamet Soebijanto, menyebutkan bahwa program wajib militer (wamil) ini setidaknya melatih warga negara untuk bisa berkelahi (Kompas, 9/11/2007).

Ucapan KSAL itu menjadi kekhawatiran karena pengalaman telah menunjukan bahwa pelibatan warga negara yang dimobilisasi di bawah jargon ‘menjaga keamanan dalam negeri’, justru mengakibatkan terjadinya gesekan horizontal. Pembentukan Keamanan Rakyat (Kamra) dan Rakyat Terlatih (Ratih) pada awal-awal reformasi, yang saat itu dimobilisasi guna menghadapi aski demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Bentorkan antara warga sipil tidak dapat dihindarkan dan korban berjatuhan. Contoh lain adalah pembentukan milisi-milisi di daerah konflik seperti di Aceh juga menimbulkan banyak korban jiwa.

Tidak adanya persiapan yang matang dalam mengeluarkankebijakan wamil ini menyiratkan adanya bahaya dalam pembangunan demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Patut untuk digarisbawahi, bahwa komponen cadangan (wamil) hanya dapat digunakan untuk menghadapi ancaman perang dari negara lain. Wamil tidak boleh digunakan untuk menghadapi gangguan keamanan dalam negeri dan operasi militer selain perang.

Bahaya penyalahgunaan wamil untuk kepentingan tertentu juga terbuka, seperti dimobilisasi untuk kepentingan politik dalam pemilu atau pun kepentingan terselubung lainnya. Penyalahgunaan ini dapat terjadi karena tata ulang komponen utama (TNI) maupun agenda Reformasi Sektor Keamanan yang sifatnya krusial belum diselesaikan secara tuntas.

Adalah suatu hal yang wajar apabila kemudian elemen masyarakat sipil mempertanyakan keinginan pemerintah yang terburu-buru ini. Setidaknya ada 6 alasan mengapa kebijakan ini patut dicurigai. Pertama, masih ada beberapa agenda Reformasi Sektor Keamanan yang belum dijalankan. Agenda itu adalah pembentukan UU Keamanan Nasional, Restrukturisasi Komando Territorial, pembentukan UU Intelijen, reformasi birokrasi departemen pertahanan, reformasi peradilan militer, pengambilalihan bisnis militer, dll. Pembentukan RUU KCPN pada saat ini hanya akan memperumit proses penataan ulang sektor pertahanan tersebut.

Kedua, esensi pembentkan komponen cadangan adalah untuk membantu komponen utama karena adanya keterbatasan dan situasi contingency. Karenanya, pembentukan RUU KCPN menjadi relevan untuk dibentuk bila kemampuan pertahanan (defense capability) dan requirement yang didasarkan atas analisis kebutuhan dan penilaian atas ancaman (threat assessment) yang digariskan dalam kebijakan pertahanan negara dan defense review sudah bisa ditentukan besaran maupun jenis kekuatan yang dibutuhkan.

Komponen cadangan baru bisa dibentuk jika rencana pertahanan (defense planning) yang memuat kebutuhan pertahanan sudah diketahuai dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Akan tetapi, pada tahapan ini pemerintah juga belum memiliki perencanaan yang jelas dalam membangun kekuatan pertahanan Indonesia 20 atau 30 tahun mendatang.

Ketiga, konsep wamil yang akan diterapkan di Indonesia ini juga masih belum memiliki persiapan yang matang dan pengkajian mendalam. Praktek pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan pelatihan program tersebut tidak dapat dihindarkan. Hal ini dapat dilihat dari laporan pemantauan pelaksanaan wajib militer di 27 negara di benua Amerika yang dilakukan oleh sebuah lembaga di Amerika Serikat, Center on Conscience and War. Dalam laporan yang dimuat dalam situsnya, praktek adanya tekanan fisik, psikologis bahkan pelecehan seksual terjadi dalam pelaksanaan pendidikan wamil di negara tersebut.

Keempat, RUU KCPN ini bukanlah suatu agenda krusial dalam konteks reformasi sektor keamanan yang sedang berlangsung di Indonesia. Memperkuat kekuatan pertahanan memang harus dilakukan, apalagi dengan kebutuhan komponen cadangan dalam sektor pertahanan. Tetapi, hal itu akan lebih baik apabila pemerintah menyiapkan ‘perangkat keras’ yang lebih mapan dahulu dalam sistem pertahanan Indonesia. Hingga saat ini, Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono masih belum menjalankan amanat UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Undang-undang tersebut mewajibkan Presiden untuk membentuk Dewan Pertahanan Negara (pasal 15 ayat 1) yang akan membantu dalam membuat sebuah Kebijakan Umum Pertahanan Negara (pasal 13 ayat 2) yang kemudian dijadikan sebagai dasar oleh Menteri Pertahaan dalam membangun sebuah kebijakan lanjutan yang bernama Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara (pasal 16 ayat 3). Hingga kini, tiga kewajiban pemerintah tersebut belum juga direalisasikan. Padahal dari 3 kewajiban itu pemerintah baru dapat mereformulasi doktrin dan postur pertahanan yang sesuai dengan UU Pertahanan Negara.

Kelima, ketiadaan mekanisme penolakan (dan pengabdian sosial alternatif – alternative social service) bagi warga negara yang menolak ataupun keberatan utnuk menjalankan wamil tersebut akan menyebabkan tingginya warga negara yang akan menjadi ‘pembangkang negara’. Di sejumlah negara yang menerapkan wamil, baik yang sifatnya wajib (obligatory) atau sukarela (voluntary), negara tersebut menyiapkan suatu pilihan bagi warga negaranya yang menolak mengikuti wamil dengan program pengabdian sosial seperti di Argentina, Amerika Serikat dan Kanada. Adanya pilihan pengabdian kepada negara dan menghormati keyakinan individu warga (recognizing coscinentious objection) adalah suatu bagian dari kerangka besar jaminan terhadap kebebasan warga negara.

Keenam, kemampuan keuangan negara untuk memberi kompensasi terhadap warga dan ketersediaan dana yang memadai dalam melaksanakan program wamil juga masih lemah. Pelaksanaan wamil membutuhkan dana yang sangat besar, dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Lantas dari mana negara dapat memenuhi kebutuhan itu?

Penundaan mengajukan RUU KCPN menjadi pilihan terbaik bila pemerintah memang ingin membangun suatu sistem pertahanan negara yang kuat. Di saat presiden belum menyiapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara, tidak adanya Dewan Pertahanan Negara dan masih banyak agenda yang masih harus dilaksanakan dalam rangka Reformasi Sektor Keamanan, mengapa Departemen Pertahanan harus memaksakan Rancangan Undang-undang ini untuk segera disahkan?


*)Penulis adalah koordinator Riset Security Sector Reform (SSR)/Reformasi Sektor Keamanan, di Imparsial, Jakarta.


Keterangan Foto:
Aksi mahasiswa Papua menolak militerisme di Papua
(andawat)