LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

07 Februari 2009

Diskusi Publik: “Wajib Militer, Perlukah?”

Oleh: Andawat

Pro dan kontra terhadap rencana pemerintah yang telah mengajukan draft Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) – dan kini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Porlegnas) tahun 2008, terus berlanjut. Wacana yang sempat timbul tenggelam dari isu nasional ini kian menuai protes setelah pada tanggal 4 Februari 2009 lalu, Imparsial, Jakarta dan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Jayapura, mengadakan ‘Diskusi Publik: Membedah Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara’. Sebagai narasumber pada diskusi yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna Gereja Elim, Abepura tersebut, panitia menghadirkan Harry Maturbongs, Koordinator KontraS Papua; Bambang Sugiono, Akademisi Universitas Cenderawasih; dan Junaidi Simun, Peneliti Imparsial, Jakarta.

Moderator, Amir Hamzah Siregar, membuka Diskusi Publik dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, antara lain, apakah kita sudah memerlukan wamil? Bagaimana dengan penempatan mereka? Apakah sudah ada ancaman terhadap militer Indonesia? Bagaimana dengan reformasi TNI sebagai komponen pertahanan negara utama yang belum selesai-selesai? Ini adalah sejumlah pertanyaan yang akan terjawab oleh peserta Diskusi Publik yang terdiri atas aparat TNI, aktivis LSM, mahasiswa, kelompok agama dan adat serta kelompok perempuan.
Diskusi Publik yang digagas oleh Imparsial dan ALDP ini sendiri bertujuan untuk mengkaji dan mengkritisi rumusan dan substansi draft RUU KCPN, serta implikasinya terhadap perkembangan demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Harry Maturbongs, sebagai narasumber pertama mengungkapkan antara lain, bahwa potensi ancaman pertahanan negara ‘hanya’ berupa terorisme, gerakan separatis, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, gangguan keamanan laut dan udara, perusakan lingkungan dan bencanan alam. “Ini adalah sejumlah potensi ancaman pertahanan negara yang dirilis Departemen Pertahanan RI, yang terdapat dalam Buku Putih Dephan, tahun 2003”, demikian Harry menyitir sumber tulisannya.
Berangkat dari hal ini, menurutnya, ini berarti daftar ancaman lebih banyak berbentuk nonkonvensional dari dalam, ketimbang ancaman militer dari luar. “Benarkah sistem pertahanan negara menghadapi ancaman militer sehingga dibutuhkan komponen cadangan dan pendukung sesuai pasal 6 UU Pertahanan Negara?”, tanya Harry.

Sedangkan narasumber kedua, Junaidi Simun, mengibaratkan pembuatan RUU KCPN dengan membuat sebuah rumah. Kita terlebih dahulu harus memproritaskan untuk membuat atap, supaya tidak basah dan kedinginan ketika hujan, dan tidak kepanasan ketika panas. Artinya, bahwa seharusnya reformasi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara sudah harus selesai sebelum membuat komponen cadangan ini.

Selain itu, beliau juga banyak menyoroti tentang isi dari draft RUU KCPN tersebut. Disebutkan, bahwa pencantuman kata ‘wajib’ tanpa ada mekanisme komplain dari warga negara, di dalam RUU KCPN tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 Hak Sipol. “Jika seseorang yang sudah berumur 18 – 45 tahun menolak untuk ikut dalam wamil ini, maka dia akan dikenakan pidana. Jadi selain kata ‘wajib’, tidak ada kata lain lagi di dalam RUU KCPN ini”, kata Simun.

Peneliti Imparsial Jakarta ini juga menyoroti Alutsista yang dimiliki oleh TNI, yang pada umumnya sudah sangat tua dan tidak dapat lagi digunakan, bahkan tentara laut kita tidak memiliki kapal selam. “Padahal, pada 50 tahun lalu, Indonesia adalah salah satu negara terkuat di kawasan Asia”.

Sedangkan Bambang Sugiono, lebih banyak menyoroti RUU KCPN ini dari sisi logika hukum. Menurutnya, ketika kita berbicara tentang ‘hak’ dan ‘kewajiban’, soal mau menjadi tentara, itu adalah hak setiap warga negara, yaitu hak untuk memperoleh pekerjaan, misalnya. Tapi dalam konteks ini, hal itu menjadi bermasalah ketika ada kata ‘wajib’ di dalamnya. “Jadi bagaimana dengan hak individual dan hak asasinya sebagai warga negara?”, tanyanya.

Selain itu, terkait dengan draft RUU KCPN ini, beliau juga menyoroti UU Pertahanan Negara. Disebutkannya, bahwa kalimat ‘segala usaha’ yang dimaksud pasal 1 ayat (1) UU Pertahanan Negara. Ini berarti, apa saja boleh dilakukan, tidak peduli ‘halal’ atau ‘haram’. Soal kalimat, ‘ancaman dan gangguan’ yang dimaksud pasal di atas juga tidak terjelaskan dengan baik.
Hal kontroversial lain menurutnya adalah, pasal 3 ayat (1) UU Pertahanan Negara. Bahwa pencantuman kalimat, ‘hak asasi manusia’ di dalam pasal ini yang menjadi pijakan UU Pertahanan Negara, pasti akan berbenturan dengan kata ‘wajib’ di dalam RUU KCPN. Selain itu, pasal 4 UU Pertahanan Negara, yang berisi tentang ‘cara’ mempertahankan negara yang tidak jelas. “Tujuan untuk mempertahankan negara bisa tidak tercapai jika caranya salah”, sambungnya.

Penolakan terhadap rencana pemerintah untuk mengesahkan RUU KCPN ini muncul juga dari peserta Diskusi Publik. Hal ini terlihat ketika moderator mempersilahkan peserta menanggapi paparan narasumber. Keseluruhan peserta menolak dengan tegas rencana pemberlakuan draft rancangan yang mengatur tentang komponen cadangan ini.

Kekhawatiran yang umumnya muncul dari peserta jika RUU KCPN ini disahkan, antara lain adalah, kekhawatiran terhadap deviasi di lapangan nantinya atas perilaku para anggota komponen cadangan ini. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pasukan komponen cadangan ini hanya akan saling membenturkan warga negara dalam pertikaian. Ada juga kecurigaan terhadap upaya TNI untuk kembali menguasai peta politik nasional, setelah dihapusnya Dwi Fungsi ABRI.

Ada juga kekhawatiran jika keberadaan komponen cadangan ini akan digunakan oleh satuan-satuan di TNI yang kita tahu juga sering berbenturan satu sama lain. Jika ini yang terjadi, maka pasti masyarakat dengan masyarakat akan saling berhadapan dan saling tembak. Atau juga bahkan ada ketakutan jika komponen cadangan ini justru digunakan untuk memperkuat mengurusi bisnis militer.

Thaha M. Alhamid, yang juga ikut dalam diskusi tersebut, ikut memperkuat statement Harry Maturbongs, soal daftar potensi ancaman pertahanan negara. Dikatakannya, ada 7 masalah mendasar yang kini dihadapi Indonesia. Jika Indonesia mampu menyelesaikannya, maka Indonesia akan menjadi salah satu negara besar di dunia. Tapi jika gagal, maka yang ada hanyalah balkanisasi. Dan dari 7 masalah mendasar tersebut antara lain adalah: turunkan angka kemiskinan, penegakan hukum dan HAM, pola hubungan pusat dan daerah, potensi ekstrimis lokal serta memodernisasi susunan negara. Tidak ada satu pun yang menyebutkan ancaman yang bersifat militer.

Dari diskusi ini, ada beberapa ‘rekomendasi’ yang harus dijalankan. Salah satunya adalah membuat draft RUU KCPN dengan memperjelas kriteria ancaman terhadap pertahanan negara, memperjelas jenis dan usaha dalam hal mempertahankan negara, serta memperketat pada pola rekrutmen. Draft ini juga sebagai konsep RUU KCPN yang lebih menghormati hak asasi manusia dan demokratisasi.
Draft yang akan diajukan ini harus memastikan adanya ruang untuk individu warga negara guna mengajukan keberatan atas keyakinan yang dianutnya, atau atas argumentasi lain. Termasuk adanya prosedur pembelaan di dalamnya. Selain itu, pada taraf implementasi kebijakan, harus ada hak untuk mengajukan keberatan dari warga negara terhadap pengerahan pasukan yang mungkin saja justru akan merugikan negara.

Selain itu, sebaiknya pemerintah memprioritaskan pembenahan pada institusi TNI sebagai komponen utama pertahanan negara. Karena kita butuh TNI yang professional, yang kuat, tapi paham dan komit terhadap penegakan hak asasi manusia dan hak-hak sipil serta demokratisasi.

Khusus untuk persoalan Papua, sebaiknya pemerintah Indonesia lebih mengutamakan untuk menjawab berbagai persoalan hak asasi manusia, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, illegal loging dan illegal fishing serta perampokan kekayaan alam lainnya, penyebaran HIV-AIDS dan minuman keras.

“Jika draft RUU KCPN yang diajukan pemerintah ini tetap akan disahkan oleh DPR, maka kita harus mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, karena aturan ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Pertahanan Negara. Selain itu, RUU KCPN dengan substansi yang diatur di dalamnya, tidak akan menjadi rahmat bagi negara dan masyarakatnya, melainkan akan menjadi bencana”, demikian kalimat penutup dari Bambang Sugiono, SH, MH, akademisi dari Universitas Cenderawasih, Jayapura.


Keterangan Foto:
Suasana Diskusi Publik Membedah RUU KCPN. Tampak narasumber (dari kanan): Junaidi Simun, Amir Hamzah Siregar, Harry Maturbongs dan Bambang Sugiono.
(andawat)