LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

02 Februari 2009

Tenda Mahasiswa dan Makam Theys: untuk Keindahan atau untuk Menutupi Kesalahan?

Oleh: Andawat

Sabtu, 30 Januari 2009, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kabupaten Jayapura membongkar tenda-tenda mahasiswa Papua di sekitar lapangan makam Theys Hiyo Eluay. Negosiasi yang dibangun kelompok mahasiswa dengan pihak Satpol PP (yang di-back up petugas keamanan dari Polres Jayapura dan TNI) tidak berhasil menunda eksekusi surat Bupati Jayapura bernomor 469.2/022/SET. Para mahasiswa sempat bertahan di bawah tenda-tenda milik mereka ketika para petugas melakukan pembongkaran, namun tidak lama kemudian mereka memilih untuk membubarkan diri. Provokasi yang dilakukan aparat keamanan terhadap para mahasiswa dengan memasuki areal makam Theys sempat membuat situasi menjadi tegang, namun tidak sampai terjadi bentrok.

Bahwa sejak akhir November 2008, areal lapangan makam Theys H. Eluay telah dipenuhi oleh kalangan mahasiswa Papua yang datang dari berbagai perguruan tinggi di luar Papua. Mobilisasi terjadi menyusul aksi mahasiswa Papua Jawa dan Bali, terutama ketika merespon peluncuran IPWP di London, pertengahan Oktober 2008 lalu. Tenda-tenda pun dipasang di sekitar makam. Malam harinya mereka menggunakan mesin genset untuk penerangan. Sesekali mereka memutar film dengan thema-thema tertentu dengan menggunakan LCD.

Untuk keperluan bahan makanan, mereka peroleh dari beberapa tokoh masyarakat dan anggota masyarakat secara sukarela. Beberapa spanduk berjejal di bagian depan makam, salah satunya bertuliskan, “Demi Hukum dan HAM, Bebaskan Buktar Tanpa Syarat”. Di bagian depan, kiri dan kanan terdapat 2 pondok yang disebut pos penjagaan, tertulis “Tamu Wajib Lapor 1 x 24 jam.

Ada sekitar 70 mahasiswa, sebagian besar berasal dari anak-anak ‘pegunungan’, ditambah beberapa penjaga dusun adat Papua serta Boy Eluay, selaku penerus Ondoafi Sereh. Aktifitas di sekitar makam cukup ramai terutama pada sore dan malam hari. Mereka bahkan sempat melakukan ibadah perayaan 1 Desember 2008 bersama Dewan Adat Papua (DAP). 3 Orang tokoh utama di tempat itu adalah Buctar Tabuni, Sebi Sambom dan Viktor Jaime, ada juga Alfred Wanimbo dan beberapa mahasiswa lainnya. Setelah Buktar dan Sebi ditangkap, Viktor dan Alfred yang lebih sering mengkoordinir kegiatan mereka.

Pada tanggal 10 Desember 2008 lalu, mereka menyelenggarakan pameran dalam rangka memperingati hari HAM International, meski sebelumnya sudah dilakukan pemberitahuan kepada lembaga dan kelompok civil society, namun tidak banyak yang terlibat dalam pameran tersebut. Lokasi di sekitar makam sempat sepi menjelang natal dan tahun baru, sebab banyak yang pulang kampung, akan tetapi di awal Januari 2009, sudah mulai ramai kembali terutama setelah mereka mendengar dan menerima surat rencana pembubaran dan pembersihan tenda-tenda di sekitar makam.

Surat dari bupati Jayapura mengenai pembersihan lokasi makam Theys bernomor 469.2/022/SET, tentang Pembersihan dan Pembongkaran di lokasi sekitar makam Theys Hiyo Eluay, tertanggal 08 Januari 2009, menyebabkan mobilisasi mahasiswa dan penjaga dusun adat meningkat. Tembusan surat tersebut diberikan kepada Gubernur Provinsi Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, Kapolda Papua, Kesbang Provinsi Papua, Ketua DPRD Kab Jayapura, Dandim 1701 Jayapura dan Kapolres Jayapura.

Pokok surat menjelaskan bahwa maksud pembongkoran untuk pembenahan Tata Kota Kabupaten Jayapura, agar tercipta Kota Sentani yang bersih, indah, aman dan tertib. Pendirian tenda-tenda di sekitar makam dianggap telah merusak pemandangan dan keindahan kota Sentani. Selain itu lokasi makam tersebut merupakan pintu masuk ke Provinsi Papua lewat jalur udara, sehingga dengan adanya pemasangan tenda-tenda darurat di sekitar lokasi tersebut, akan merusak pemandangan dan keindahan Kota Sentani.

Untuk itu, diminta dukungan dan partisipasi masyarakat melalui koordinator kegiatan di lapangan makam Theys H. Eluay untuk membongkar semua tenda-tenda tersebut selambat-lambatnya hari Selasa, 13 Januari 2008. Surat yang kurang lebih sama juga disampaikan kepada Boy Eluay, anak dari Theys Eluay, yang intinya meminta kesediaan dan bantuan Ondofolo Sereh untuk mengkoordinir melakukan pembongkaran dan pembersihan di sekitar makam Theys Hiyo Eluay tersebut dengan tenggang waktu 1 minggu.

Surat Bupati mendapat reaksi keras dari mahasiswa penghuni tenda-tenda sekitar di makam. Mereka ke DPRD Jayapura untuk menjelaskan kepemilikan makam sekaligus meminta pihak DPRD Jayapura untuk membicarakan hal tersebut dengan pihak Pemda Kabupaten Jayapura. Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut, menyebutkan bahwa tempat tersebut milik ke-Ondoafi-an Sereh, atas nama almarhum Theys H Eluay. Lahan atau pun tanahnya telah diserahkan sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua (PDP) yang kemudian memandatkan kepada DAP untuk dijaga dan dikelola. Untuk itu tidak satu pihak pun, termasuk pemerintah, yang dapat mengganggu masyarakat yang bermukim di sana, karena keberadaan mereka atas perintah Ketua DAP.

Ancaman Pemerintah Daerah Jayapura untuk melakukan pembongkaran paksa, menurut Ketua DAP menggambarkan sikap pemerintah yang tidak pernah menghargai masyarakat adat. Forkorus mengatakan bahwa, pemerintah Indonesia selalu menggangu orang Papua, padahal orang Papua tidak pernah melakukan hal itu, sehingga jangan menyalahkan kalau orang Papua ingin memisahkan diri. Diakuinya, bahwa kurang terawatnya makam tersebut dikarenakan DAP tidak memiliki dana. Namun jika memiliki dana, maka makam tersebut akan dirawat, tetapi persoalan tenda-tenda tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

Banyak orang menduga bahwa pembubaran tenda-tenda di sekitar makam erat kaitannya dengan persoalan politik, tetapi Bupati mengaku tidak ada maksud politik atau maksud lain dari pembongkaran tersebut. Dia juga menyayangkan adanya tanggapan lain oleh sejumlah pihak. ”Yang jelas, Pemkab Jayapura bisa mengambil langkah tegas jika mereka tetap bertahan”, tandasnya pada acara serah terima jabatan Komandan KODIM 1701, tanggal 14 Januari 2009 lalu.

Tanggapan yang disampaikan oleh bupati dan sikap DAP nampaknya sulit untuk dipertemukan, walaupun mereka sama-sama orang Papua dan pemimpin masyarakat sipil. Apakah ini sudah menjadi pola baru perpecahan di antara orang Papua. Selalu saja pemimpin sipil Papua saling bertentangan satu sama lain. Siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau mungkin yang sedang memainkan skenario ini? Mungkin tenda-tenda tersebut kelihatan tidak terlalu rapi, tetapi lokasi makam masih cukup bersih dan terawat dibanding tempat-tempat kumuh lainnya, termasuk reruntuhan bangunan, bekas kantor penerangan yang berada tepat di depan makam yang kini dipermasalahkan oleh Pemkab Jayapura sendiri. Tapi apakah benar persoalannya hanya masalah ‘tata kota’, bukan persoalan lain di balik itu? Kegelisahan macam apa yang akan dipelihara oleh pemerintah jika melihat ada aktifitas di sekitar makam Theys? Mungkin akan banyak pesan buram tentang Indonesia jika orang berkesempatan menengok makam Theys atau apa saja yang ada di sekitar makam tersebut. Pada satu kesempatan, Bupati Jayapura pernah berkomentar soal tenda-tenda tersebut, “jangan bikin negara di dalam negara, kalau mau bikin jangan di kabupaten Jayapura”. Mungkin ini kekhawatiran yang sesungguhnya.

Perdebatan atas makam Theys hingga kini memang tak pernah selesai. Sebenarnya pertengahan tahun lalu ada rencana pembongkaran makam Theys. Acara ‘bayar kepala’ yang telah dilakukan oleh Ketua DPRD Jayapura ditenggarai sebagai bagian dari rencana pembongkaran dan pemindahan makam Theys. Sebelumnya sudah muncul isu pembelian dan kepemilikan tanah di sekitar makam Theys. Beberapa dokumen pembelian, transaksi serta pemberian mobil dan lain sebagainya, termasuk yang diduga melibatkan Boy Eluay, sempat dipublikasikan. Halaman sekeliling makam sempat dipagari dengan seng, masyarakat menduga skenario pembongkaran makam sedang dijalankan. Maka pagi keesokan harinya, tepatnya dini hari, masyarakat yang dikoordinir oleh DAP melakukan pembongkaran seng-seng tersebut, makam Theys dirapikan, dan lampu-lampu dinyalakan.

Benar kata Bupati, bahwa makam Theys pas berada di gerbang utama masuk Papua, maka keberadaan makam Theys akan memberikan gambaran yang buruk terhadap citra Indonesia di Papua, sebab makam Theys menjadi monument yang mengingatkan luka hati orang Papua dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. OIeh karena itu, pemerintah dengan cara apa saja akan menutupi kesalahan yang pernah mereka buat. Sayangnya, bukan dengan cara memperbaiki kesalahan kemanusiaan yang dibuat, akan tetapi justru terus membuat permusuhan dengan orang Papua.



Keterangan Foto:
Proses pembongkaran tenda-tenda milik mahasiswa Papua oleh Satpol PP.
(Mathias Murib).