LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

17 Maret 2009

Putusan Sela dan Skenario Pemeriksaan Saksi Perkara Buchtar Tabuni


Oleh : Andawat

Pada tanggal 11 Maret 2009 Putusan Sela atas kasus Buchtar Tabuni di PN Kelas IA Jayapura dibacakan secara bergilir dimulai dari ketua majelis ,kemudian kedua hakim anggota dan diakhiri oleh ketua majelis hakim kembali. Sebelum sidang dimulai dilakukan pertemuan internal Tim PH di ruang sidang utama untuk menyikapi hasil Putusan Sela tersebut.Muncul ide untukmelakukan walk out (WO) sempat terjadi perdebatan urgensi dari rencana WO. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya tetap di dalam ruangan dan mengikuti proses hukum yang berjalan. Namun ada juga pendapat bahwa selama ini Putusan Sela kasus politik selalu merugikan terdakwa, tanpa sikap protes dan persidangan berjalan seperti tidak ada yang salah. WO yang akan dilakukan untuk menunjukkan kepada majelis hakim dan juga JPU bahwa ada yang salah dipertimbangkan pada putusan tersebut.

Sebelumnya JPU dalam tanggapannya mengakui eksepsi PH yakni mengenai penyusunan dakwaan yang kurang cermat tetapi JPU berdalih akan diperbaiki pada saat penyusunan tuntutan. Pengakuan JPU dalam tanggapannya seharusnya menjadi bahan pertimbangan hakim. Bukankah Putusan Sela intinya ditujukan untuk melihat isi dakwaan yang disusun oleh JPU?.Sehingga majelis hakim seharusnya tidak memberikan kesempatan kepada JPU untuk memperbaiki dakwaannya pada saat penyusunan tuntutan.

”…kita bukan hendak menghentikan proses persidangan Buchtar tapi kita ingin JPU lebih professional dalam menyusun dakwaan, seharusnya JPU dipersilahkan dulu perbaiki dakwaannya, baru sidang dilanjutkan…’ujar Anum Siregar,SH.”…Putusan Sela kasus politik selalu begitu, diteruskan saja meski dakwaan yang disusun cenderung hanya untuk memenuhi kehendak dan pesan-pesan politik, bukankah pokok eksepsi adalah menanggapi isi dakwaan JPU? Dan JPU mengakui kelemahan itu?” tambahnya.

Rencana WO itu juga didiskusikan dengan Buchtar Tabuni sambil menyampaikan pertimbangannya, termasuk sikap Buchtar apabila setelah pembacaan putusan hakim akan melanjutkan persidangan pada pemeriksaan saksi karena nampak sudah ada beberapa orang saksi dari pihak kepolisian. Disarankan agar Buchtar meminta penundaan, Buchtar sangat.”sidang tidak boleh dibiarkan berjalan dengan pertimbangan yang keliru,kita harus beri tahu itu…” komentarnya.

Diakhir pembacaan Putusan Sela,saat hakim mengatakan “menolak” eksepsi tim PH, maka satu persatu tim PH meninggalkan ruang sidang tanpa memperdulikan ketua majelis hakim yang masih lanjut membaca putusan. Sebelum sidang ditutup Buchtar minta waktu untuk bicara. Buchtar Tabuni, suku Dani, laki-laki berperawakan kecil, kelahiran Papane, Wamena 10 Oktober 1976, tinggi sekitar 155 cm dan berat tak lebih dari 46 kg, membuka pembicaraan dengan suara khasnya yang pelan, mengeluhkan soal pelayanan di LP, soal air bersih yang sulit didapat dan selnya yang sering dikunci.

Sel yang terkunci menyebabkan mereka kadang tak bisa mandi dan bersih-bersih, tak bisa ambil jatah makan kecuali ada orang yang lewat di luar sel dan mereka minta tolong untuk mengambil jatah makan di dapur LP. Kadangpun Buchtar dkk tidak mendapatkan jatah makan karena makanan di LP diutamakan untuk narapidana sedangkan para tahanan merupakan tanggungjawab JPU atau hakim. Tidak jelas apakah selama ini pihak Kejaksaan dan pengadilan memberikan biaya makan buat tahanan mereka ke pihak LP atau tidak. Orang-orang yang mengunjunginya selalu dibatasi, tergantung ‘selera’ dari petugas LP dll. (seperti yang dikeluhkan Buchtar pada saat dikunjungi di LP Abepura).

Kemudian suaranya meninggi, hingga teriakkannya menggema di mikropon, menghampiri teman-temannya yang setia mengikuti sidang di halaman luar pengadilan…”saya punya people, saya tunggu you!” teriaknya ke majelis hakim. Karena suaranya yang tiba-tiba meninggi, wartawan dan para PH yang sedang terlibat wawancara bergegas menuju ruang sidang, dari rekaman gambar terlihat majelis hakim sempat terkejut, recorder seorang wartawan bahkan terjatuh.

Buchtar bergegas berdiri, majelis hakim langsung mengetuk palu menutup persidangan, petugas kejaksaan dan kepolisian langsung menghampiri dan mengamankan Buchtar keluar ruang sidang. Waktu berada di luar ruang sidang, Buchtar sempat mencari PHnya, tapi dia dipaksa jalan menuju halaman untuk segera naik mobil. Tim PH sempat marah, teman-temannya di luar semakin panas dengan teriakkan khas pegunungan. Seorang pengunjung berjaket hitam bereaksi berlebihan, Viktor Yaimo, teman Buchtar yang juga pimpinan aksi segera mengamankan orang tersebut. Viktor terlihat marah sebab pada saat yang lain sudah tenang, orang itu masih berteriak-teriak..”kamu siapa, dari mana? bukan kelompok kami…”sahut Viktor sambil membawa orang itu ke sudut kiri. Di sudut yang berbeda, Buchtar belum mau naik ke mobil, dia bersama Pieter Ell SH, ketua Tim dan Kasatreskrim Polresta Jayapura, Takamuli. Wajahnya masih tegang tanpa bicara.

Anum Siregar, SH dan Iwan K Niode SH segera menghampiri mereka, Kasatreskrim Polresta Jayapura meminta agar tim PH membantu menenangkan Buchtar, Harry Maturbongs dari Kontras Papua kemudian datang, di lingkaran luar mereka penjagaan polisi sangat ketat, ada beberapa intel dan teman Buchtar, di sisi lain nampak teman perempuan Buchtar yang selalu mengunjunginya mulai dari di tahanan Polda. Anum Siregar SH meminta Harry Maturbongs SH untuk memfasilitasi pertemuan mereka dengan Kakanwil Hukum dan HAM karena Harry Maturbongs SH yang selama ini cukup aktif membangun komunikasi dengan kakanwil Hukum dan HAM propinsi Papua. Buchtar baru mau bersuara kembali, Iwan K Niode SH kemudian memeluknya sambil membisikkan sesuatu baru kemudian dia mau naik ke atas mobil tahanan. Beberapa orang temannya mengambil kesempatan untuk turut memeluknya sebelum dia memasuki mobil tahanan.

Keesokkan harinya, Anum Siregar, SH dan Faisal Tura SH, dari ALDP yang juga tergabung dalam Tim PH Buchtar mengunjungi Buchtar Tabuni di LP Abepura. Saat itu sudah waktu penguncian hingga mereka agak enggan mengijinkan Buchtar untuk keluar, setelah Anum Siregar, SH menjelaskan kepentingan kunjungan maka petugas langsung mempersilahkan masuk bahkan kemudian diberikan satu sisi ruangan, di bagian kantor LP agar bisa bicara lebih rileks dengan Buchtar. Selama ini yang sering mengunjungi Buchtar di LP Abepura, adalah Faisal Tura SH, selain karena itu memang pembagian tugasnya di Tim PH, tetapi juga karena dia punya hubungan emosional yang cukup dekat dengan Buchtar Tabuni. Faisal kuliah di FH Unhas Makasar dan Buchtar Tabuni kuliah di Universitar Veteran Makasar jurusan pertambangan, mereka bertemu pertama kali waktu akan melakukan aksi demo terhadap PT Freeport di Makasar.

Pada pertemuan kali itu, Anum Siregar, SH yang lebih aktif berdiskusi dengan Buchtar sambil memberikan salah satu salinan Berkas Perkara yang diterima tim PH dari JPU kepada Buchtar. Kemudian mereka bertiga mulai mendiskusikan proses persidangan dengan acara pemeriksaan saksi yang akan mereka ikuti mulai persidangan tanggal 18 Maret 2009. Buchtar diminta untuk membaca semuanya dengan cermat, menandai pernyataan-pernyataan yang dinilainya tidak tepat dan menyiapkan tanggapan atas pernyataan tersebut. Selain itu Anum Siregar juga minta agar Buchtar mulai berpikir dan mendiskusikan saksi-saksi yang akan dibawa sebagai saksi yang meringankan. Mereka lantas mendiskusikan keterlibatan beberapa orang berdasarkan peran masing-masing pada demo 16 Oktober 2008. Anum Siregar, SH membuat skema dan coretan – coretan dengan pena yang tidak pernah lepas dari tangannya, beberapa petugas sempat melirik diskusi mereka.

Di dalam Berkas Perkara Buchtar Tabuni setidaknya terdapat 11 orang Saksi, dari 11 orang tersebut setidaknya 8 (delapan) merupakan anggota Polri (wakapolsek, reskrim, intel dan polantas), 2 orang dari sipil yakni Forkorus Yaboisembut dan Ramses Ohee serta 1 orang Tersangka untuk perkara yang sama (16 Oktober 2008) yakni Sebi Sambom. Penyidik juga meminta 3 orang berdasarkan kapasitas keilmuannya sebagai Saksi Ahli dari Universitas Hasansuddin Makasar yakni untuk Ahli hukum pidana, ahli hukum tata negara dan ahli bahasa dan sastra.

Menarik memang kalau mempelajari Berkas perkara Buchtar Tabuni, sebab Buchtar sendiri hanya diperiksa sebanyak 2 kali yakni pada tanggal 3 desember 2008 dan 4 desember 2008 dan hanya 2 pertanyaan karena dia tidak bersedia. Sedangkan 8 (delapan) orang anggota polisi tersebut diperiksa berkali-kali, anehnya Kapolsek Abepura yang sejak awal berdiri dan juga melakukan komunikasi berkali-kali dengan para demonstran tidak dimintai keterangannya sebagai saksi. Ramses Ohee sendiri diperiksa sebanyak satu kali dengan materi pertanyaan mengenai pelaksanaan PEPERA tahun 1969 sebab dia merupakan salah satu anggota Dewan Musyawarah PEPERA, sudah dapat dipastikan isi dari keterangannya menegaskan keberadaan PEPERA dan menentang orang-orang yang mempersoalkan dan mengatakan Pepera cacat hukum. Untuk Forcorus Yaboisembut (Ketua DAP) tidak cukup jelas karena pemeriksaan yang dilakukan terhadap dirinya bercampur dengan pertanyaan mengenai peristiwa Sinapuk tanggal 9 Agustus 2008 di Wamena sedangkan untuk Buchtar Tabuni, hanya mengenai kapan dia mengenal Buchtar Tabuni dan apakah Buchtar Tabuni pengurus DAP atau bukan.

Untuk saksi ahli, nampaknya pihak penyidik menitikberatkan pada dokumen-dokumen yang didapat dari ‘berbagai” aksi hingga deklarasi 1 Desember 2008, yang muncul setelah peristiwa 16 Oktober 2008(?). Kesaksian mereka dilengkapi dengan Berita Acara Pengambilan Sumpah/janji, itu artinya penyidik sudah menyiapkan alternative jika mereka (saksi ahli) tidak dapat hadir, keterangannya akan tetap dibacakan di persidangan(dibawah sumpah).
Peristiwa politik yang dibawa kepada proses hukum selalu menjadi moment istimewa untuk mensosialisasikan dan memberikan pembelajaran hukum yang baik bagi warga masyarakat karena pasti menyorot perhatian yang luas. Lihat saja, di tengah hiruk pikuk menjelang Pemilu 2009, persidangan Buchtar Tabuni tetap menyita perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu proses hukum yang diperankan oleh majelis hakim seharusnya juga bermuatan mendidik, seperti halnya hakim harus tegas dan taat hukum dalam menilai Eksepsi dan tanggapan JPU. Tapi juga hak-hak kemanusiaan seorang terdakwa yang berstatus tahanan di LP harus diperhatikan, sehingga proses hukum tidak boleh menjadi bagian dari upaya pemidanaan terhadap seseorang.

keterangan foto : pesidangan Buchtar Tabuni di PN Jayapura 11 Maret 2009, (andawat)