LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

30 Mei 2009

Kemenangan Persipura : Pertarungan Harga Diri


Oleh : Andawat

Terompet kemenangan Persipura berkumandang saat Persipura mengalahkan Persija Jakarta 3-1 di stadium Bumi Kartini Jepara. Sebenarnya laga tandang Persipura tanggal 16 Mei 2009 tersebut bukanlah penutup dari Djarum ISL 2009, karena setelah itu Persipura masih menyisakan 3 pertandingan dan baru menutup puncaknya saat melawan Sriwijaya FC tanggal 10 Juni 2009, di Stadiun Mandala Jayapura. Akan tetapi laga tersebut penentu setelah sehari sebelumnya pengincar posisi juara lainnya yakni PERSIB Bandung berhasil dikalahkan oleh Persik Kediri, Persija sendiri tak punya kans lagi. Malam itu setelah kemenangan Persipura, perayaan dimulai di kota Jayapura. Meski waktu menunjukkan pukul 23.00 akan tetapi orang – orang berhamburan keluar rumah, berteriak dan menari sepuasnya, juga berpawai motor dan mobil keliling kota.

Saat kedatangan Persipura pada tanggal 27 Mei 2009, pesta pawai tersebut dilanjutkan menjadi lautan suka cita sehari suntuk. Persiapan kedatangan Persipura pun tak main- main, pemerintah kota, panitia penyelenggara dan Persipura mania mengatur jadwal penjemputan. “tolong jangan halangi jalan kalau Persipura lewat..”pinta manager persipura, MR Kambu di sela-sela mempersiapkan acara penjemputan. Akan tetapi tak dapat dihindari di beberapa tempat masyarakat tetap menahan iring-iringan mobil dengan jalan menggulingkan drum dan balok kayu. Ada yang hendak memberikan topi bertahta burung cenderawasih, kalung manik-manik, selendang timor ataupun dengan menari dan kue-kue..”kita pegang tangan dulu , baru mereka jalan…”kata massa di waena.

Persipura tiba di Jayapura pagi hari pukul 07.00 pagi akan tetapi sejak tengah malam sebagian Persipura mania telah menuju ke Sentani Airport, menunggu Sang Juara dengan teman dan kerabat menjadi kebahagian tersendiri yang selalu ingin dibagi. Arak – arakan Persipura berjalan lambat, bersama ribuan sepeda motor dan mobil berdesakan. Pawai motor dan mobil sendiri terdiri dari 5 gelombang, mereka memenuhi jalan dan terus disambut pendukung Persipura yang memadati setiap centi jalan. Kalau kampanye, motor – motor ojek dibayar tapi untuk Persipura mereka merelakan waktu berjam – jam untuk menyambut kemenangan. Setidaknya ada 2 sepeda motor yang terbakar saat beriringan akibat panas dan pemiliknya langsung melemparkan ke parit besar di samping jalan, motorpun menyala dan habis dalam sekejab.

Pencinta Persipura tua muda, besar kecil, Papua dan non Papua menunggu dengan setiap di pinggir jalan sejak pagi sekitar pukul 09.00. Ada yang datang dengan membawa bunga, kursi dan menyediakan air minum dalam termos, ada juga yang menyediakan kemasan air mineral. Tim andawat bergabung di depan kantor Majelis Muslim Papua (MMP) di Padang bulan (bersebelahan dengan kantor ALDP). Halaman MMP dibuka lebar, kursi dan air mineral juga tersedia. Beberapa mobil diparkir pada halaman luar MMP. Hampir semuanya menggunakan kostum Persipura, ada juga yang menggunakan baju dengan warna dasar Persipura yakni merah hitam. Ada yang membawa spanduk bergambar pemain, menghiasi wajah mereka dengan garis – garis merah hitam serta menyiapkan rumbai – rumbai berwarna merah hitam juga guntingan kertas kecil – kecil siap untuk dihamburkan. Pendek kata, semua orang ingin menyatakan “Persipura menang, kamipun menang”. Sekelompok orang memasang tenda di pinggir jalan, mereka membawa peralatan sound system dan menyambung aliran listrik dari kantor MMP, music dan tarianpun mulai digelar. Matahari sangat terik, satu mobil tanki air disiapkan dan sesekali menyemprot massa.

Setidaknya sekitar 5 kali kami berlari mencari tempat terdepan dari barisan atau mengambil kursi dan berdiri saat terdengar iring-iringan motor dan mobil, akan tetapi rombongan Persipura sendiri belum muncul namun massa setia menunggu. Baru sekitar pukul 14.00 truk tronton yang membawa Persipura merangkak perlahan di tengah arus motor, mobil dan ribuan massa memasuki kota Abepura, terlihat di ujung tikungan ale-ale sebelum kantor MMP. Semua orang bergegas mencari tempat terdepan, berteriak histeris menyebut – nyebut nama pemain. Semua pemain mendapat perhatian istimewa apalagi Boaz Salossa karena gol – gol indahnya, menempatkannya sebagai top scorer yang sebelumnya didominasi oleh pemain asing. Bendera Brazil pun berkibar untuk Jacksen F Tiago, juga Beto dan David.

Sekjend PDP Thaha Moh ALhamid memasang baliho berukuran 2x3 M di depan kantor MMP, isinya..” Syukur Bagi Mu Tuhan. Salam hangat dan terima kasih buat “Pasukan Malaikat” Persipura. Ketika OTSUS kacau balau cuma Mutiara Hitam yang bisa angkat kitong pu harga diri..” . Baliho itu menyita kuat perhatian orang bahkan Imanuel Wanggai terlihat berteriak histeris ketika membaca baliho tersebut dari atas truk, diikuti pemain yang lain termasuk pelatih Jacksen F Tiago. Sebelumnya massa di depan jalan MMP bersikeras melepas baliho tersebut untuk ditaruh di tengah jalan..”supaya semua orang tahu…”kata mereka. Tetapi dengan berbagai pertimbangan teman – teman, tidak mengijinkan, sebab sebelumnya pihak kepolisian dan tata kota sendiri sangat keberatan dengan kata – kata dalam baliho tersebut..”padahal yang bilang OTSUS itu kacau balau, kan Gubernur…”protes Sekjend PDP Thaha Alhamid hingga ijin baliho diberikan. Baliho yang sama dipasang juga di makam Theys, daerah polimak dan rencana akan dipajang di stadiun Mandala saat tanding final tanggal 10 Juni 2009.

Persipura tidak saja menjadi kebanggaan orang Papua tetapi juga orang non Papua karena keberhasilan Persipura menampilkan permainan yang menarik dan haus untuk ditonton. Setiap kali main di Mandala, ribuan penonton memadati stadiun, berbagai aktifitas pemerintahan dan sosial dihentikan. Orang akan merasa aneh kalau pada saat Persipura bertanding ada yang melakukan aktifitas lain. Mereka bersedia menahan terik matahari, beberapa diantaranya masih sempat membawa radio, menonton sambil mendengar berbagai komentar. Khusus di tribun “Liverpol” berjubel ribuan Persipura mania yang tak henti beratraksi dengan menari dan menyanyi, mereka datang dengan panji – panji Persipura dari distrik atau klub masing – masing. Menonton Persipura juga jadi obat stress yang mujarab. Jika di tempat dan kesempatan lain orang terkesan malu untuk berteriak dan menari tapi saat menonton Persipura, ekspresi bisa all out.

Jika Persipura laga di luar Jayapura maka orang ramai-ramai akan menyediakan acara ‘nonton bareng’ dengan televisi layar lebar ataupun menggunakan LCD/in focus. Tim Andawat bersama kru ALDP lainnya selalu nonton bareng di rumah pak Thaha Alhamid yang memang menyediakan nonton bareng buat tetangga di sekeliling rumahnya.Tak dapat dihindari teriakan tanpa henti, Iwan Niode adalah yang paling seru kalau nonton karena terus memberikan ‘arahan’seperti coach yang sedang berdiri di pinggir lapangan…”tidak usah bela kami, ko tipu – tipu saja..” teriaknya pada wasit. Tubuhnya yang subur bergerak ke sana kemari, sepintas mirip Raja Isa, pelatih Persipura sebelumnya, diapun meloncat naik ke atas para-para tempat layar berukuran 2x3 meter terpasang lantas memeluk layar seolah bergabung dengan pelukan Beto dan Jeremiah saat Boas Salossa mencetak gol.

Di manapun Persipura bertanding maka para pendukungnya, entah itu pejabat, aktifis LSM dan juga masyarakat lainnya berusaha untuk menyaksikan langsung. Apalagi jika Persipura main di Jakarta dan melawan Persija, warga Papua yang ada di sekitar jakartapun berbondong – bondong datang. Untuk menyaksikan Persipura bertanding di Jayapura, ada guru yang sengaja libur dari Bintuni, anak sekolah dan mahasiswa yang khusus datang dari Biak atau Wamena untuk menonton di Jayapura.
Bahkan saat berlatihpun, Persipura tetap menarik untuk ditonton, seperti saat berlatih di lapangan Brimob Kotaraja, orang akan menghentikan kendaraannya, memenuhi pinggir lapangan hingga jalan raya Abepura. Permainan Persipura tak hanya berhenti di lapangan hijau karena orang akan mendiskusikannya di setiap ada kesempatan termasuk jadi bahan analogi dan contoh pada berbagai acara diskusi dan rapat resmi juga dalam pemeriksaan saksi di persidangan.

Sebenarnya tak jarang juga pecinta Pesipura ‘gemas’ dengan sikap santai Persipura, menurut banyak orang Persipura selalu lama panas kalau mulai pertandingan apalagi jika berhadapan dengan lawan dari papan bawah, juga kadang underestimate…” atau mungkin Persipura simpan tenaga untuk menghadapi lawan dilaga berikutnya yang lebih kuat..’demikian komentar Fauzia, seorang staff ALDP yang tidak pernah absen saat Persipura tanding bersama anak perempuannya yang berusia 5 tahun di stasiun Mandala. Ayu, nama anaknya maniak bola (Persipura) seperti dirinya.
Begitupun kekalahan Persipura saat bertanding adalah juga kekalahan publik Papua, semua orang akan berduka, yang nonton bareng pulang ke rumah dengan kepala tertunduk dan tanpa kata seperti yang dialami saat melawan Sriwijaya FC tahun 2008. Semua orang tak henti – henti menyesalkan kekalahan tersebut dan mendiskusikan sebab – sebab kekalahan. Kekalahan Persipura juga memicu temperamental, orang akan cenderung marah karena kekalahan di lapangan juga momok besar dari mata rantai penindasan yang terjadi di Papua.

Olahraga bola (kaki) memang olah raga yang paling digemari di seluruh dunia, bahkan kadang pertandingan bukan sekedar olah raga tapi juga menjadi lahan olah politik, olah sosial dan olah kultur, kemudian kesebelasan yang tampil menjadi personafikasi perlawanan terhadap ketidakadilan, kekejaman dan hukum yang tidak memihak. Pertandingan bola menjadi laga prestise yang mahal harganya. Sehingga motivasi orang menonton bola bukan sekedar menghibur diri dari aktifitas pekerjaan sehari – hari yang membuatnya beku tapi yang terpenting adalah ikut mengekspresikan diri bersama tim favoritnya, melawan tim lain yang selalu tampil seolah menjustifikasi kekuasaan mereka di luar lapangan hijau apalagi dari leluhur mereka telah menyebabkan sejarah penindasan yang penuh luka. Olah raga bola kemudian dijadikan senjata lain untuk melakukan perlawanan.

Seperti itulah Persipura diposisikan oleh pecinta bola di Papua sebagai simbol perlawanan. Permainan Persipura yang fenomenal, fantastis dan sangat lincah dengan menampilkan pola yang berbeda dari kesebelasan lainnya makin memperkuat perbedaan – perbedaan lain yang tercipta di luar lapangan sehingga personafikasinya dapat dianggap merepresentasikan ‘perlawanan’ antar Papua dan Indonesia. Dalam masa integrasi dengan Indonesia, Papua hampir tak pernah menang disemua ‘percaturan’ perebutan sumber daya : politik, hukum, social dan budaya. Papua selalu dibuat kalah oleh Indonesia (pemerintah). Jika pemerintah bisa mengambil apa saja di Papua, tentu akan diambil ‘tanpa ampun’ hanya di lapangan bola lah, orang Papua bisa menghentikan keserakahan Jakarta. Sehingga kemenangan Persipura bukan saja kemenangan di dunia olahraga bola, tetapi juga kemenangan simbolik atas berbagai persoalan Papua versus Jakarta dari sejarah kolonisasi yang kelam dan sejarah panjang integrasi yang dirasa tetap saja tak adil.

Kemenangan Persipura juga memberikan kesejukan di saat situasi keamanan dan politik yang memanas terutama setelah Pemilu legislative yang membuat banyak orang kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil (kembali) dengan hasil pemilu tersebut. Sehingga terjadi perpecahan atas dasar kepentingan caleg, parpol dan kelompok tertentu tapi untuk urusan bola tak ada yang bersilang pendapat tentang jago mereka bersama yakni Persipura si Mutiara Hitam.

Keterangan foto : Penyambutan Persipura di depan kantor MMP, 27 Mei 2009, andawat.