LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

16 Juni 2009

Rekayasa Konflik di Papua Demi Investasi

Oleh: Arkilaus Arnesius Baho

Konflik bersenjata yang terjadi di Papua berapa waktu silam hingga saat ini tidak bisa berdiri sendiri dengan hegemoni kaum pemodal yang sedang nenancapkan kekuatan ekonomi di wilayah tersebut. Nah, sudah menjadi konsumsi publik bahwa dengan dalih mengamankan investasi inilah, tak terduga konflik sering terjadi dimana upaya investasi hendak menjajakan kakinya. Begitu juga sejak niat berinvestasi sudah berjalan, hal paling utama bagi kemenangan dan keberhasilan penanaman modal adalah melunakkan kekuatas rakyat sipil yang berada di sekitar areal dan lokasi sasaran investor. Pelunakan yang justru menghancurkan kedaulatan rakyat sudah menjadi budaya bagi sang pemodal. Selain merekonstruksi konflik dengan adudomba, cara menjadikan warga sipil sebagai tumbal sebuah stigmatisasi adalah perang modern yang terus tumbuh subur diawal dan perjalanan sebuah usaha ekonomi yang melibatkan kaum multinasional korporat.

Belajar dari balik motif-motif konflik kekerasan dan militer di Papua, Aceh dan daerah lain di Indonesia nampaknya, Jayapura, Biak, Puncak Jaya dan Mamberamo dikacaukan dengan gerakan serentak pada pemilu legislatif April 2009 silam. Diantara wilayah konflik dimaksud, adalah Mamberamo menjadi daerah ekspansi baru investasi yang pembukaannya dimulai dengan hal buruk bagi rakyat setempat. Ada banyak rencana di daerah ini; CI ( Conservation International ) asal Amerika, yang sudah terpasang kuat kakinya di Teluk Cendrawasih dan Raja Ampat lewat project conservasi ( CTI ), akan mengamankan Mamberamo dari hulu sampai hilir untuk kepentingan proyek REDD, bahkan mereka sudah membeli areal HPH disitu.

Dalam pers realise kedutaan Amerika di Jakarta (baca: http://www.usembass yjakarta. org/bhs/siaran- pers/UU-Konserva si-Hutan070307. html ) bahwa untuk memenuhi permintaan dari Pemerintah Indonesia, Pemerintah A.S. dengan gembira mengumumkan bahwa Indonesia memenuhi syarat untuk turut serta dalam program pengalihan utang untuk konservasi alam (debt-for-nature) guna mendanai upaya konservasi hutan tropis. Di bawah Undang-Undang Konservasi Hutan Tropis ( Tropical Forest Conservation Act /TFCA ) , sejumlah utang Indonesia yang memenuhi syarat dapat dikurangi dan dialihkan pada upaya konservasi hutan tropis.

Departemen Keuangan A.S. akan memberikan alokasi sementara senilai 19,6 juta dolar AS untuk pengelolaan utang yang memenuhi syarat tersebut. Pembahasan awal untuk mencapai sebuah kesepakatan diharapkan akan dimulai pada minggu-minggu mendatang. Jika telah selesai, Indonesia akan menjadi salah satu peserta terbesar di bawah program TFCA ini. Juga disebutkan dalam siaran pers bahwa hingga kini, 11 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin telah ikut ambil bagian dalam perjanjian debt-for-nature di bawah TFCA. Perjanjian ini akan menghasilkan lebih dari 135 juta dolar AS untuk melestarikan hutan tropis penting di negara-negara tersebut selama 10 sampai 25 tahun. Di masa yang akan datang, program ini akan diperluas mencakup pelestarian terumbu karang yang sering disebut sebagai “hutan pantai.”

Para pengusaha dan broker-broker neoliberal di Jakarta kemudian menyambungkan kesepkatan bersama untuk menampakkan investasinya ke Papua. Menyusul CI, Nations Petroleum, perusahaan migas yang mengambil alih konsesi Blok Migas Medco di Momberay dan Serui, bakalan menduduki Mamberamo, yang juga dirancang sebagai kawasan industri strategis untuk mengembangkan energi listrik dan daerah industri. Para investor Jakarta antara Nation Petroleum dan group Nation Energy milik Hashim Djojohadikusumo ( yang juga pemilik Tirtamas Group ), adik Prabowo Subianto.

Sayangnya, mengalirnya penanaman modal investasi ke Tanah Papua tanpa dukungan instrumen hukum yang bijak dan menguntungkan rakyat. Dimana kita tahu, sejak berlakunya Undang-undang Otonomi Khusus bagi Papua, sampai sekarang untuk menangani masalah investor di Papua pemerintah cenderung mengutamakan kebijakan nasional yaitu undang-undang investasi produk kaum neoliberal. Terbukti selama ini kekayaan alam hanya di keruk dan menguntungkan negara lain dan meningggalkan bencana ekologi dan kemanusiaan hingga keterpurukan demokrasi.

Sejarah hitam keburukan penanganan HAM di Papua akibat dominasi para jenderal untuk membentuk kepentingan investasi daripada menjaga rakyat sipil sebagai warga negara sebuah traidisi ironis yang terus di biarkan sampai sekarang. Peristiwa konflik yang secara serentak naik di permukaan jelang pemilu legislatif ( 8-9 april ) kejadian berturut-turut menimpa warga Papua. Seperti kronoligis yang termuat dalam ( Baca: http://www.facebook .com/ext/ share.php?
sid=108437489438&h=vRNMf&u=jOZLE&ref=mf ) sangat jelas bahwa konflik berurutan telah disiapkan secara matang oleh pasukan canggih dan terkomando. Terhitung dari tanggal delapan sampai tanggal sembilan setelah Puncak Jaya membara, paling tidak terjadi peristiwa; penemuan BOM di perbatasan, penyerangan polsek Abepura dan Bom di Biak serta sekarang bandara perintis Mamberamo dikuasasi oleh OPM pimpinan Deki Imbiri-Eks anggota TNI.

Imbas dari gerakan rekayasa konflik dimaksud untuk memukul mundur gerakan sipil Papua demi sebuah pengamanan agenda investasi yang sudah dicanangkan oleh negara dibawah todongan IMF, WTO, ADB dan USAID. Proyek-proyek raksasa yang ber-investasi di sebagian wilayah Papua melegitimasi penciptaan malapetaka konflik dan pembunuhan ruang gerak gerakan demokrasi di Tanah Papua. Sebab, investasi tidak bisa berjalan jika gerakan terus menolak. Maka, pemilu 2009 adalah momentum dalam mewujudkan rangkaian konsensi ekonomi negara Indonesia atas Papua.

Sangat disayangkan juga, kekuatan modal yang menerobos bumi Papua tak mungkin dihalau oleh gerakan Papua yang stagnan. Jadilah, gerakan Papua jadi tumbal yang dipakai untuk memuluskan keinginan terpendam para kapitalis baru yang hendak masuk Papua. Militer dan pemerintah, harus memikirkan secara baik dan matang untuk mengikat semangat gelora sejumlah oportunitisme gerakan rakyat yang ada untuk menjadikannya alat demi mengacaukan keadaan semata. Sudah pasti, gerakan kondisional yang tergerak hari ini di tengah dominasi pemodal, sangat tidak relevan untuk mengimbangi kekuatan penentang, maka pilihan sadar atau tidak, boikot pemilu adalah cara yang tepat untuk menguntungkan komponen pemodal, militer dan pemerintah guna menyapu bersih kedaulatan rakyat atas tanah dan hak ulayat.

Jakarta terus di desak untuk menerpakan investasi di Papua dan Indonesia. Sebab utang negara semakin meningkat. Tahun 2009 saja, Indonesia kembali mendapat pinjaman tunai ( utang negara ) dari ADB ( bank asia ) sebesar USD 90 milyar. Bayangkan, utang negara yang terus meningkat ditambah lagi dengan utang baru di tahun ini, pupus sudah harapan kesejahteraan, pembangunan rakyat semakin sirna. Segala usaha negara, baik investasi hanyalah demi memenuhi pembayaran utang luar negeri. Pemerintah berusaha meningkatkan investasi untuk menggatikan utang luar negeri. Maka hasil pengelolaan sumber daya alam digunakan untuk melunasi utang luar negeri, bahkan pembukaan lahan-lahan baru investasi guna memenuhi tagihan utang negara dan bukan untuk rakyat Indonesia.

Akumulasi kepentingan diataslah, mengharuskan sebuah metode lunak. Penciptaan konflik demi memuluskan operasi keamanan bagi masuknya investor, merekayasa gerakan adu domba, justifikasi stigma-stigma separatis dan menumbuhkan semangat stagnasi merdeka di Papua, semuanya hanyalah untuk demi satu kemenangan adalah imperialisme leluasa menginjakkan kakinya di Papua. Eksploitasi, pelanggaran HAM, kerusakan ekologi adalah sejuta masalah yang dihadapi orang Papua dikemudian hari. Mari membangun kekuatan kedaulatan rakyat Papua tanpa harus tercebur dalam konflik kepentingan neoliberal hari ini. MERDEKA!

keterangan gambar : Pemalangan jalan menuju ibu kota kabupaten Jayapura, Sentani, Andawat