LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

22 Juni 2009

Tuntutan 10 Tahun Untuk Buchtar Tabuni : Ancaman Pidana Untuk Berdemokrasi

Oleh : Andawat

Pada persidangan tanggal 17 Juni 2009 terasa ada yang berbeda karena agenda persidangan hari itu adalah pembacaan tuntutan terhadap Buchtar Tabuni. Terlebih lagi agenda pembacaan tuntutan tersebut sebelumnya telah mengalami penundaan selama 3 kali. Seminggu sebelumnya, Buchtar dan tim kuasanya, juga majelis hakim sempat kesal dengan sikap JPU yang menunda persidangan setelah mereka menunggu berjam – jam.

Buchtar nampak terlihat lebih segar, ‘mungkin karena saya baru merapikan wajah saya,’ ujarnya sambil menunjukkan brewoknya yang lebih tipis. Dia sempat bercerita soal perilaku sipir LP Abepura yang mulai bersahabat karena sebelumnya Buchtar sempat dipukul, akan tetapi ia tetap mengeluh karena selnya hanya dibuka pada saat mau ambil makan siang, setelah itu langsung ditutup kembali, kecuali hari minggu pintu selnya dibuka dari pagi sampai sore. Katanya, Sebi Sambom yang sebelumnya tetap ditahan di polda, kini sudah dipindahkan ke LP Abepura, bersama dengan Musa Tabuni, Serafin Diaz danYance Mote, bedanya mereka berada pada barak tahanan jaksa.

Seperti biasa, sidang Buchtar Tabuni dilakukan pada hari yang sama dengan sidang Sebi Sambom, kali itu didahului sidang Sebi Sambom dengan materi pemeriksaan saksi. Begitu sidang dibuka, majelis hakim menanyakan para saksi yang akan dihadirkan oleh JPU. JPU menyebutkan nama Habel Mansi, Franky Kalahatu dari POLSEKTA Abepura kemudian Forcorus Yaboisembut, Thaha Mohamad Alhamid dan Buchtar Tabuni. Untuk itu majelis hakim mempersilahkan JPU memanggil para saksi untuk diambil sumpah/janjinya.

Pada saat JPU memanggil Buchtar Tabuni (terdakwa sebagai saksi mahkota), Buchtar yang memang sudah berada di dalam ruang sidang, langsung berdiri diantara kursi pengunjung sidang dan menghardik JPU,“ sembarangan, goblok, kapan kamu panggil saya? Tahu prosedur atau tidak?!” JPU yang dimarahi hanya terdiam, memang Buchtar Tabuni tidak menerima panggilan olehnya itu dia berhak untuk menolak.Akhirnya pada saat pengambilan sumpah hanya Habel Mansi yang berdiri.

Forcorus Yaboisembut dikabarkan masih dalam keadaan sakit sehingga menolak hadir dipersidangan, Thaha Moh Alhamid juga tidak datang. Pemanggilan Thaha Moh Alhamid juga terbilang aneh, karena Thaha Alhamid tidak pernah diperiksa sebagai saksi untuk kasus Sebi Sambom oleh penyidik Polda tapi diminta JPU sebagai saksi yang memberatkan, sedangkan pada perkara Buchtar Tabuni, Thaha Moh Alhamid sempat diperiksa sebagai saksi tapi tidak dihadirkan oleh JPU, malah tim kuasa hukum Buchtar Tabuni yang memintanya memberikan keterangan untuk meringankan.

Habel Mansi pada awal pemeriksaan nampak tidak siap, seolah –olah dia ingin ‘keluar’ dari posisinya sebagai polisi, saksi yang memberatkan Sebi Sambom. Suara hp nya berdering beberapa kali, bahkan ketika akan diambil janjinya dihadapan majels hakim sehingga membuat pengunjung sidang tertawa. Dia mulai dengan mengatakan bahwa tidak menerima surat panggilan tetapi datang ke pengadilan atas perintah atasan yakni Kapolsekta Abepura. Dia pun tidak tahu secara jelas tentang peristiwa tersebut, patut dimaklumi tugasnya saat itu sebagai polantas dan tidak ditugaskan khusus memantau demo. Dia hanya mengatur lalu lintas untuk mengarahkan jalur yang macet karena demo. Dia tidak begitu jelas mengenali terdakwa, sebab posisinya berdiri sekitar 70 – 100 meter dari tempat demo. Dia mengetahui Sebi Sambom setelah ‘diperkenalkan’ oleh penyidik melalui rekaman video pada saat penyidikan, begitu akunya. Sidang Sebi Sambom berakhir cepat.

Setelah menunggu sekitar 30 menit sidang dilanjutkan untuk perkara Buchtar Tabuni. JPU Maskel Rambolangi, SH bersama rekannya membacakan tuntutan sebanyak 29 halaman sekitar 1 jam 10 menit, itupun ada beberapa halaman yang diminta untuk tidak dibaca seperti surat Dakwaan, untuk mempersingkat waktu. JPU menyimpulkan beberapa keterangan saksi sangat berbeda dengan fakta persidangan yang didengarkan bersama pada saat pemeriksaan para saksi. Nampak satu – satunya argumentasi yang diambil adalah keterangan ahli (saksi ahli) untuk membuktikan adanya tindak pidana. Sebab saksi lainnya meski dihadirkan oleh JPU sebagai saksi yang memberatkan terdakwa namun keterangannya tidak signifikan, beberapa diantaranya malah merugikan, seperti Oscar Orisu (anggota polisi yang mengaku diarahkan oleh penyidik – kemudian mencabut BAPnya) serta beberapa polisi lainnya yang tidak memperhatikan dengan jelas peran dari terdakwa.

JPU diakhiri tuntutannya mengatakan bahwa berdasarkan 5 (lima) alat bukti yakni Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, seluruh unsur – unsur dakwaan primair yakni melanggar pasal 106 KUHP telah terpenuhi secara sah dan menyakinkan sehingga JPU tidak perlu lagi membuktikan unsur dakwaan pasal subsidair pasal 160 KUHP dan unsur dakwaan lebih subsidair pasal 212 KUHP, bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsure pasal 106 KUHP. Oleh sebab itu terdakwa harus dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Ditambahkan pula bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, menimbulkan kebencian dari masyarakat, terdakwa juga dinilai tidak jujur dan tidak sopan dipersidangan. Alasan yang meringankan, hanya karena terdakwa belum pernah dihukum. Oleh karena itu JPU meminta majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah karena telah melanggar pasal 106 KUHP dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa penjara selama 10 (sepuluh) tahun dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.

Sekilas nampak wajah Buchtar Tabuni berubah, entah apa maknanya sulit ditebak karena selebihnya Buchtar tanpa ekspresi dan hanya terlihat ketika dia bereaksi secara spontan. Setelah persidangan Buchtar bertemu dengan tim PH mendiskusikan materi pembelaan yang akan diagendakan tanggal 24 Juni 2009. Sepertinya majelis hakim ‘memaksa’ sidang segera berakhir berhubung masa penahanan Buchtar yang sudah hampir berakhir. Kepada wartawan Buchtar memberikan komentar “saya heran, ada tuntutan 10 tahun, yang saya tahu dalam KUHP itu makar tuntutannya 15 tahun, 20 tahun atau seumur hidup..”senyumya mengembang, lantas Buchtar digiring menaiki mobil tahanan untuk kembali ke LP Abepura.

Meski begitu, Iwan K Niode SH, mewakili tim PH Buchtar mengatakan kesal dengan tuntutan 10 tahun terhadap kliennya.Tim PH Buchtar akan mempersiapkan pembelaan dan berharap majelis hakim bersikap independen, tidak terkooptasi dan terprovokasi dengan kepentingan kekuasaan sehingga dapat melihat kasus Buchtar dengan jernih sebelum menjatuhkan pidana.

Sejak awal persidangan hingga dibacakannya tuntutan JPU sudah menunjukkan bahwa perilaku penegakan hukum di Republik Indonesia makin mundur. Buchtar adalah satu dari banyaknya warga negara Indonesia yang menyampaikan sikap protesnya atas penyelenggaraan pemerintahan dan hukum yang tidak berjalan baik dan mengabaikan masyarakat kecil terutama orang asli Papua. Buchtar menjadi salah satu simbol bagaimana demokrasi seharusnya dijalankan tetapi justru dia dituntut 10 tahun penjara dengan tuduhan pasal makar. Tentu fakta ini hanya terjadi di Papua : orang Papua yang menyampaikan aspirasinya dengan pengarahan massa, tanpa ada pengibaran bendera ataupun deklarasi kenegaraan tetap dapat ditangkap dengan tuduhan pasal makar. Mungkin juga nantinya orang – orang yang bicara dikoran, diberbagai forum seminar dan diskusi atau yang sedang kumpul berdoa menyuarakan ketidakadilan di tanah mereka, akan juga dijebak dengan pasal makar.

Mantan Ketua komisi F DPRP, Ir Weynand Watory setelah mendengar tuntutan JPU terhadap Buchtar Tabuni langsung menelpon salah satu kuasa hukum Buchtar yakni Anum Siregar SH, beliau mengatakan..”jadi kalau saya mimpi naikkan bendera dan saya cerita, mungkin saya akan dituntut 2 tahun penjara. Kalau begitu pemerintah harus siapkan kawat duri besar untuk pagar tanah Papua yang isinya orang papua semua, karena aspirasi itu akan terus diperbincangkan oleh orang Papua…”ujarnya melalui saluran telepon.

Buchtar patut merasa aneh karena menyampaikan orasi yang dinilai tanpa ‘ijin’ karena pihak Polda Papua tidak menerbitkan STTP (Surat Tanda terima Pemberitahuan) sesuai pasal 13 - UU NO 9 tahun 1998 (Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum) lantas dibilang makar (ancaman dalam KUHP) dikenakan pasal makar tapi tuntutannya malah 10 tahun, bukan 15 tahun, 20 tahun atau penjara seumur hidup. Tuntutan ini sama ‘uniknya’ seperti persidangan 5 anggota PDP yakni Theys (alm),Thaha, Awom, Jhon Mambor (alm) dan Don Flassy pada tahun 2001. Mereka berlima dituduh makar dengan pasal berlapis, tapi JPU menuntut 2,6 tahun penjara lantas majelis hakimpun memutuskan mereka bersalah (meski akhirnya mereka dibebaskan karena ada keterlibatan pemerintah dan majelis hakim tidak mau mengadili pemerintah).

Kita sulit percaya bahwa majelis hakim pada akhirnya akan membebaskan Buchtar Tabuni karena selama ini persidangan makar tak pernah lepas dari tekanan politik dan kekuasaan. Kekuasaan (kehakiman) yang katanya bebas dari kepentingan kekuasaan tak pernah kita jumpai dialam nyata praktek hukum. Jika ditarik mundur, persidangan Buchtar, Sebi dan akan menyusul Musa Tabuni dkk sudah jelas menunjukkan kekuasaan memegang komando atas hukum yang ada. Hukum menjadi sangat diskriminatif untuk orang Papua, maka berhati – hatilah orang Papua menyampaikan aspirasinya sebab pasal –pasal ‘karet’ makar selalu mengincar mereka.

Keterangan foto : Buchtar Tabuni dan tim JPU pada saat Pemeriksaan Saksi tanggal 29 April 2009, andawat.