LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

20 Juli 2009

Peristiwa Penembakan di Wilayah Penambangan PT Freeport Tembagapura – Timika, Semoga Bukan Skenario “Satu Piring Dua Sendok”

Oleh : Andawat

Kawasan penambangan PT Freeport Tembagapura - Timika kembali membuat berita. Insiden dimulai dengan pembakaran bus karyawan PT Freeport tanggal 8-Juli-2009, kemudian penembakan dan pengrusakan mobil Polsek Tembagapura tanggal 10-Juli-2009, hingga penembakan di mil 52 yang menewaskan Drew Nicolas Grant (29 thn) tanggal 11-Juli-2009 dan penembakan terhadap Markus Ranteallo (40thn) di mil 51 tanggal 12-Juli-2009. Penembakan terhadap mobil patroli polisi di mil 52 yang mengakibatkan Bripda Marson F Pattipeilohy (25 thn) meloncat dari atas mobil berusaha menyelamatkan diri namun terjatuh hingga tewas di tepi jurang tanggal 14-Juli-2009, dilanjutkan serangan terhadap mobil polisi tanggal 15-Juli-2009 yang melukai 5 anggota brimob organic di mil 54 sepulang mengantar makanan di mil 64. Kemudian jumat tanggal 17-Juli-2009 masih terjadi penembakan terhadap konvoi logistic PT Freeport di mil 49 namun tidak ada korban jiwa. Seolah-olah tak ada lagi tempat yang aman di sekitar kawasan penambangan.

Pada harian Bintang Papua tanggal 15-Juli-2009, Plh kabid Humas Papua menegaskan bahwa untuk meningkatkan pengamanan maka ada penambahan anggota brimob 2 pleton dan Densus 88 Kelapa Dua Jakarta sebanyak 40 personel dan Brimob dari Mabes Polri. Selain itu ada 335 personel Satgas Amole IV , 112 anggota TNI berada di dalam areal keja PT Freeport dan 100 anggota TNI di luar areal kerja PT Freeport..”nggak ada tambahan pasukan…” ujarnya. Namun setelah rapat hari Jumat tanggal 17-Juli-2009 di Timika antara petinggi POLRI dan TNI maka disepakati personel akan ditambahkan sehingga berjumlah 700 personel. Terdiri dari 350 lebih personel Satgaspam Obvitnas termasuk personel tambahan dari Jakarta 110 orang yang tiba tanggal 16-Juli-2009 dan personel pasukan organic TNI sebanyak 2 kompi. Menurut kapolda Papua Irjen Pol FX.Bagus Ekodanto, penambahan pasukan keamanan dari TNI bukan BKO karena atas kerjasama dan permintaan Polri untuk kualitas penanganan yang lebih spesifik pada lokasi –lokasi yang perlu diamankan. Maka kalau ditotal hampir sekitar 1000 personel dikerahkan untuk menangkap pelaku penembakan di areal PT Freeport tersebut.

Soal motif penembakan, kalangan masyarakat sipil terutama pihak LSM menyebutkan dugaan perebutan jasa keamanan PT Freeport sebagai alasan utama. Pembayaran jasa keamanan sangat melimpah dan mudah diakses terutama oleh para petinggi TNI/POLRI, contoh pada temuan Global Witness yang dipublikasikan oleh New York Times tanggal 27-desember-2005 menyebutkan dalam periode 1998 – mei 2004 PT Freeport keluarkan dana sedikitnya 30 juta dollar atau setidaknya 276 milyar rupiah kepada TNI/POLRI. Sejauh ini tidak ada bantahan atau klarifikasi mengenai besarnya dana yang telah dikeluarkan oleh PT Freeport sebagai jasa keamanan. Sumber TNI hanya menjelaskan bahwa sejak tahun 2004 berdasarkan Keppres No.63 tahun 2003 TNI tidak lagi melakukan pengamanan di kawasan penambangan tersebut.

Seperti apapun perdebatan soal uang dan meski dengan kebenaran 100 persen tentu tak akan pernah bisa transparan. Pihak Freeport pun tak mau menanggapi karena pengeluaran seperti itu tentu ada yang dilakukan diluar prosedur dan hanya merupakan kebiasaan. Sama seperti pengakuan seorang sekpri Bupati di satu wilayah perbatasan, katanya..”biasanya sebelum seorang bos TNI datang ketemu pak Bupati, pak Bupati sudah suruh kami siapkan amplop isi uang, sekitar 5 sampai 20 juta tergantung siapa yang datang…”. Uang itu diambil dari dana taktis bupati, kita tidak tahu apakah PT Freeport punya dana taktis dan seberapa besar jumlahnya. Untuk jasa keamanan yang sudah jelas saja, pasti jumlahnya terdengar sangat mengejutkan di telinga masyarakat, apalagi yang sifatnya dana taktis. Tak bisa dielak, opini soal dana keamanan akan berkembang terus.

Motif lain yang mungkin adalah masalah diparitas kesejahteraan ekonomi yang menjurang jauh diantara karyawan PT Freeport dengan masyarakat asli. Alasan kesejahteraan ekonomi memang dapat dengan mudah kita lihat dari berbagai aktifitas dan tampilan PT Freeport meski upaya melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR) milik PT Freeport telah lama ada. Kebijakan CSR selama ini dinilai hanya merespon reaksi dan tidak bersifat langkah strategis berdasarkan kebutuhan sehingga belum memberikan hasil yang signifikan dalam mendistribusikan besaran pendapatan (uang) apalagi meningkatkan tanggungjawab perusahaan atas utang ekologi yang telah dilakukan.

Ada juga yang menduga peristiwa tersebut digunakan sebagai alat justifikasi untuk menjawab kebutuhan teritori dan logistic di kalangan TNI, setelah konflik di wilayah Indonesia lainnya sedang berada pada fase mereda. Juga akibat lemahnya relasi politik di tingkat pimpinan sipil di daerah termasuk pertarungan di legislative, pemilihan kepala daerah dan sejumlah dugaan kasus korupsi. Strategi teritori dan logistic TNI bisa dengan menempatkan pasukan TNI baik dalam bentuk organic maupun non organic. Kekuatan pos–pos dan batalyon beralasan untuk ditambah mengimbangi jumlah polisi yang terus meningkat baik secara kuantitatif maupun berbagai keistimewaan yang diberikan oleh OTSUS kepada polisi. Di lain sisi, penciptaan situasi yang tidak aman dapat mendorong pihak penentu kebijakan di tingkat lokal seperti gubernur dan DPRP juga para bupati dan anggota DPRD yang resisten terhadap tuduhan separatis untuk mengalokasikan dana keamanan dalam jumlah yang lebih besar.

Soal pelaku penyerangan, sebenarnya masih kabur. Namun dari cara mengidentifikasikan musuh, kuat dugaan dilakukan oleh pasukan terlatih, sebab mengenal lokasi dengan baik termasuk mengetahui mobilisasi orang dan satuan pengamanan setempat. Harian Bintang Papua tanggal 14-Juli-2009 memuat statement dari para petinggi di Papua. Gubernur Papua Bas Suebu mengatakan “..belum tentu itu rakyat. Kita tidak tahu siapa yang menembak, kalau sudah ketahuan misalnya itu rakyat, baru ditelusuri rakyat itu siapa. Mungkin ada ketidakpuasan atau lainnya…”. Pihak kepolisian melalui Plh Kabid Humas Polda Papua AKBP Nurhabri mengatakan..”Kita nggak berani menduga-duga. Kita menunggu fakta seperti apa baru kita umumkan pelakunya. Kita belum mengetahui karena pelaku belum tertangkap..”. Hanya Kodam XVII Cenderawasih melalui Kapendam Letkol (Inf) Soesilo mengatakan bahwa dugaan pelaku adalah kelompok Kelly Kwalik. Argumentasi Soesilo berdasarkan senjata standar yang digunakan untuk menewaskan Drew Nicolas Grant, menurutnya jenis senjata standar ini hanya digunakan oleh kelompok Kelly Kwalik sedangkan pihak lain tak menggunakan senjata jenis ini. Keterangan Sesmenkopolhukam lain lagi, katanya ..”Mereka adalah kelompok kriminalitas bersenjata bukan OPM. Mereka adalah akumulasi ketidakpuasan dari kelompok yang dimanfaatkan. Yang mana dari antara mereka ada yang berafiliasi lebih kepada OPM. Mungkin-mungkin saja. Karena mereka selama ini yang melakukan gangguan keamanan," ujarnya dalam harian Cenderawasih pos tanggal 15-Juli-2009.

Mengenai tuduhan terhadap Kelly Kwalik, memang itulah konsekwensinya jika diketahui salah satu kelompok oposisi berada di sekitar wilayah terjadinya aksi, sudah menjadi kecenderungan dengan gampang akan dituduh. Benarkah itu kelompok Kelly Kwalik?. Ketua umum Persekutuan Gereja–Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoman,S.Th,MA mengatakan dalam harian Bintang Papua tanggal 15-Juli-2009..”Aparat keamanan yang bertugas di tanah Papua Barat ini harus menghentikan eksploitasi dan rekayasa berbasis miskin moral dan etika ini. Aparat keamanan juga harus berhenti mengkambinghitamkan OPM…”.Soal pelaku penembakan hingga kini masih misterius, ada anggapan bahwa pelaku yang sesungguhnya bukanlah TPN/OPM atau yang melakukan bukanlah TPN/OPM yang sesungguhnya.

Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa penembakan 2 warga Amerika Serikat di tahun 2002 di mil 62-63 PT Freeport Tembagapura Timika. Berbagai institusi telah melakukan rangkaian investigasi, termasuk penyelidikan dan penyidikan oleh pihak Polda Papua dengan bantuan FBI. Namun tak ada satu pihakpun yang sesungguhnya puas dengan bukti yuridis yang sudah ada : Antonius Wamang dkk adalah pelaku tunggal dari peristiwa tersebut. Wamang mengatakan ..”sebenarnya satu piring, dua sendok…”pada saat pemeriksaan di Polda Papua tanggal 12 Januari 2006. Dia mengatakan dijanjikan akan diberikan amunisi, asal berhasil mencegat dan menembak mobil di lokasi yang sudah ditentukan. Waktu menembak badan mobil dia terkejut karena mendengar suara perempuan menjerit, dia melompat ke tepi jurang dan dari arah berlainan tembakan menyusul bertubi-tubi hingga menewaskan warga Amerika Serikat tersebut. Antonius Wamang mengaku mengenal wajah para penembak itu meski mengunakan shebo(topeng) karena pada merekalah Wamang bekerja. Antonius Wamang TBO yang sudah bertahun-tahun bekerja di pos TNI, pernah diajak ke Jakarta dan melakukan transaksi amunisi dengan anggota TNI di Hotel Jody jalan Jaksa. Ketika pemeriksaan di Jakarta, pengakuannya dihilangkan, persidangannya diarahkan pada tindakan teroris, perdagangan senjata dan merusak obyek vital negara.Lantas dia dijatuhi hukuman seumur hidup.

Ketua Tim penyidik dari Polda Papua, kala itu adalah Wakapolda Papua Brigadir Jenderal Raziman Tarigan. Brigjen Raziman Tarigan berusaha membuka kasus itu lebih transparan bahkan sempat mengundang aktifis LSM untuk diskusi di ruang kerjanya. Menurutnya pada saat olah TKP banyak sekali kejanggalan. Raziman menjelaskan soal penemuan mayat Mr.X dari hasil visum mayat tersebut sudah berhari-hari karena sudah mengalami lebam mayat dan bukan korban baru seperti penjelasan anggota pos TNI di lokasi. Dia juga menyampaikan keraguannya soal keterangan anggota TNI di lokasi yang mengatakan menembak Mr.X dari arah jurang, sebab pada waktu olah TKP untuk menembak dari arah jurang tersebut anak buahnya harus diikat pakai tali supaya tidak jatuh. Tak lama setelah itu, Raziman Tarigan mengalami tekanan kekuasaan dan ditarik ke mabes polri. Meskipun hingga kini pembuktiannya sulit diungkapkan dengan alasan jabatan atau keamanan pihak-pihak tertentu namun kasus mil 62-63 masih dapat diperdebatkan.

Keraguan pada pihak yang berwenang untuk menyelesaikan kasus di kawasan penambangan PT Freeport memang terus bergulir. Meski begitu tetap ada dukungan kepada pihak kepolisian untuk bersikap netral dan berani. Ada juga tuntutan untuk membawa penyelesaian kasus tersebut pada tim investigasi yang independen dan memiliki kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan bahkan melibatkan pihak internasional. Artinya pihak – pihak lain yang memiliki kepentingan politik dan kekuasaan termasuk uang jangan sekali – kali dilibatkan, mungkin juga para wakil rakyat, setidaknya pada Pansus Freeport yang pernah dibentuk sejak tahun 2006 di tingkat DPR RI maupun DPRP hingga kini tak juga jelas pertanggungjawab kerja dan keuangannya.

Kita berharap pihak POLDA Papua ketika melakukan penyelidikan dan penyidikan terhindar dari aksi teror dan penyerangan serta harus bersikap netral dan berani. Sangat disayangkan jika pihak kepolisian tidak dapat bersikap independen dan jujur karena sama artinya dengan turut memelihara kecurigaan rakyat di saat memiliki peluang untuk mendapatkan simpati. Sama artinya dengan membiarkan kasus serupa akan terjadi lagi dimasa yang akan datang, rakyat dan mungkin juga polisi akan menjadi korban lagi.

Keterangan foto : Antonius Wamang ketika diminta mempraktekkan penggunaan senjata oleh tim Mabes POLRI saat menjalani pemeriksaan di Polda Papua, 12 Januari 2006,andawat.