LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

10 Juli 2009

“Vonis 3 Tahun Penjara, Keputusan Musyawarah yang Menggelisahkan…” (Buchtar Tabuni)

Oleh : Andawat

Pembacaan putusan Buchtar Tabuni bagaikan suatu scenario yang penuh dramatic. Hari itu tanggal 3 juli 2009 saat menunggu putusan Bukhtar semua orang memang gelisah. Di hari yang sama terjadi kebakaran di pasar Youtefa, Abepura. Entah karena peristiwa tersebut atau karena sebab lain sehingga sidang Buchtar tertunda lama. Ketika Tim PH menanyakan kapan sidang dimulai, majelis hakim tidak memberikan jawaban yang pasti hanya meminta agar semuanya sabar menunggu. Setelah sholat jumat, makan siang dan istirahat, sidang baru dimulai sekitar pukul 15.20 waktu Papua. Sebelumnya, dalam seminggu itu sidang dilakukan secara marathon menyusul dibacakannya Nota pembelaan oleh Tim PH dan Bukhtar sendiri, kemudian pihak JPU menyampaikan duplik(tanggapan) lantas dibalas dengan replik (jawaban atas tanggapan) oleh tim PH, seminggu itu menjadi hari yang benar – benar tegang dan melelahkan.

Buchtar Tabuni terdakwa kasus demo 16 Oktober 2008 di depan kampus Uncen Perumnas III dan Expo Waena yang dituntut 10 tahun penjara oleh JPU, mendengarkan dengan cermat kalimat yang keluar dari mulut hakim ”..dari analisa yuridis maupun pembuktian lainnya, terdakwa Buchtar Tabuni secara sah dan menyakinkan telah melakukan pelanggaran pasal 160 KUHP dengan melakukan perbuatan yang memiliki unsure menghasut karena dilakukan di muka umum dan banyak diketahui khalayak…’. Maka “dengan ini dinyatakan perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana makar sebagaimana dakwaan JPU, membebaskan terdakwa dari dakwaan primer dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana di muka umum sehingga menjatuhkan pidana 3 tahun dikurangi masa tahanan..”demikian Hakim ketua membacakan amar putusannya.

Buchtar didakwa dengan tuduhan primer pasal 106 KUHP mengenai perbuatan makar , subsidair pasal 160 KUHP mengenai penghasutan dan lebih subsidair pasal 212 mengenai perlawanan terhadap aparat. Majelis hakim memutuskan bahwa terhadap dakwaan primer pasal 106 mengenai perbuatan makar tidak terbukti .Buchtar terbukti bersalah melakukan penghasutan dan melanggar pasal 160 KUHP yang isi lengkapnya :

Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan delik, melakukan keekrasan terahdap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang – undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang – undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Disebutkan juga hal – hal yang memberatkan terdakwa karena perbuatan terdakwa dapat merusak persatuan dan kesatuan NKRI yang saat ini sudah terbangun di Papua, perbuatan terdakwa dapat menghambat pembangunan social dan ekonomi serta akibat perbuatan terdakwa dianggap dapat meresahkan masyarakat. Sedangkan hal yang meringankan yaitu keterbatasan pemahaman untuk penyampaian pendapat, terdakwa tidak menyadari sanksi dari perbuatan itu. Hingga saat ini turunan dari putusan tersebut belum diterima oleh tim PH dan terdakwa Buchtar Tabuni.

Baik JPU maupun Tim PH langsung menyatakan ‘pikir-pikir’ atas putusan tersebut. Tim PH menyarankan agar Buchtar bisa menyimak dan mempertimbangkan putusan tersebut dalam tenggang waktu seminggu untuk ‘pikir-pikir’. Setelah berbincang dengan Tim PH, Buchtar langsung digiring ketat meninggalkan ruang sidang, pihak kepolisian memagar ketat jalan tempat Buchtar lewat hingga menuju mobil tahanan untuk langsung dibawa ke LP. Nampak personel dari Brimob ,dalmas dan satu mobil water canon disiagakan di depan pertokoan. Beberapa wartawan yang memaksa untuk menunggu komentar Buchtar tidak mendapatkan kesempatan, bahkan ketika saling berdesakan hampir terjadi keributan.

Apa komentar Bukhtar mengenai putusan yang diberikan oleh majelis hakim kepadanya?. ” itu keputusan musyawarah yang menggelisahkan,” begitu katanya saat dijumpai pribadi oleh tim AlDP pada tanggal 7 Juli 2009 di LP Abepura. Saat itu ada Philip Karma dan Sebi Sambom yang justru lebih banyak bicara ketimbang Buchtar sendiri.

Ketika ketua majelis hakim membacakan dakwaan primer pasal 106 KUHP tidak terpenuhi,…” hati saya terharu…”begitu pengakuan Buchtar. Sedangkan tim PH secara spontan langsung mengepalkan tinju mereka di udara,..’sebab bayangan kami, Buchtar bebas…” terang Iwan K Niode SH. Akan tetapi ketika diuraikan bahwa dakwaan subsidair pasal 160 KUHP terbukti..’langsung terbesit anggapan, majelis hakim tak berani memutuskan bebas meski fakta persidangan ke arah tuduhan itu sama sekali tak terungkap…” lanjut Iwan K Niode. Buchtar nyaris berteriak protes mendengar putusan tersebut namun dia berusaha tenang. Seperti itulah Buchtar, emosinya tak terduga, ketika orang ramai berekspresi , dia terlihat lebih dapat menjaga emosinya namun dia bisa saja meledak tak terduga seperti yang sudah ditunjukkannya pada persidangan sebelumnya.

Aneh memang keputusan majelis hakim tersebut, mengingat bahwa dakwaan subsidair pasal 160 KUHP mengenai penghasutan harus jelas deliknya. Akan tetapi jika deliknya adalah makar (pasal 106 KUHP) dan perlawanan terhadap aparat (pasal 212 KUHP) tidak terbukti maka seharusnya pasal 160 KUHP gugur. Dengan kata lain, dalam perkara Buchtar Tabuni, pasal 160 KUHP tidak dapat berdiri sendiri untuk memenuhi suatu unsure perbuatan pidana jika tidak diikuti oleh dakwaan pada pasal lain yang terbukti secara sah dan menyakinkan sebagai suatu perbuatan pidana.

Selain itu dari keseluruhan fakta persidangan tidak dapat dibuktikan bahwa terdakwa telah melakukan penghasutan terhadap suatu delik apalagi melawan perintah undang – undang. Karena demo yang dilakukan sudah prosedural dengan menyampaikan pemberitahuan kepada pihak kepolisian. Adapun alasan pihak kepolisian tidak mengeluarkan STTP (Surat Tanda terima Pemberitahuan) seharusnya menjadi tanggungjawab pihak kepolisian untuk menjelaskan namun hingga persidangan usai tidak ada penjelasan dari pihak kepolisian untuk membuat perkara menjadi lebih terang dan jelas.

Lebih jauh lagi, fungsi Majelis hakim adalah mendengar kedua belah pihak, yakni terdakwa (dan kuasa hukumnya) serta JPU. Tugas JPU lah yang membuktikan dakwaan di persidangan akan tetapi ketika JPU tidak mampu membuktikan bahkan tidak focus membuktikan pasal mengenai penghasutan, herannya majelis hakim memutuskan terpenuhinya dakwaan tersebut. Dari mana dasar pertimbangannya?. Saksi – saksi yang diajukan juga hanya focus pada peristiwa makar. Orasi yang disampaikan oleh Bukctar adalah thema yang sudah biasa dilakukan juga oleh kelompok pro demokrasi lainnya yakni tuntutan penegakan HAM dan gagalnya pembangunan di Papua.

Mengenai dakwaan pasal makar, bisa jadi pertimbangan putusan hakim didasari bahwa selama persidangan sebagian besar Saksi (memberatkan) yang dihadirkan oleh JPU tidak cukup memberikan keterangan yang signifikan bahkan keterangan mereka habis dikonfrontir oleh Tim PH demikian juga keterangan ahli (menjurus ke tuduhan makar). Selain itu saksi meringankan melalui sekjend PDP,Thaha Moh Alhamid diduga turut juga membantu membuka pemahaman hakim mengenai tuduhan makar karena saksi Thaha Moh Alhamid dalam keterangannya selain memberikan gambaran politis dan sosiologis orang Papua tetapi juga banyak memberikan perbandingan mengenai berbagai peristiwa demonstrasi yang terjadi di seluruh tanah Indonesia, secara khusus aksi serupa mendukung IPWP. ”Orang papua di mana saja, di Jawa, Makasar, Manado dan tempat lain merespon peluncuran IPWP dengan berbagai aktifitas , menulis, berdiskusi, berdoa dan berdemo, hanya di Papua ini yang ditangkap, aneh..”begitu kesaksiannya.

Memang, keputusan tersebut merupakan preseden baru yang dilakukan oleh majelis hakim. Mengingat bahwa hampir semua dakwaan makar (pasal 106 KUHP dan pasal 110 KUHP) yang dijerat kepada seseorang (papua) sejak dari proses pemeriksaan pendahuluan di kepolisian, penyidikan, persidangan hingga putusan selalu “terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan’. Baru dakwaan makar terhadap Buchtar Tabuni yang digugurkan oleh majelis hakim.

Terhadap putusan tersebut, di tingkat Tim PH terjadi perdebatan juga. Semua sependapat bahwa putusan terhadap Buchtar Tabuni merupakan satu langkah maju bagi proses penegakan hukum. Ada yang beranggapan bahwa untuk hal tersebut sebaiknya tidak perlu dilakukan banding, sedangkan yang lain meski setuju sebagai sebuah langkah maju namun bersikeras untuk banding karena putusan tersebut dinilai mengandung intervensi, seharusnya Buchtar bebas. Semua sepakat bahwa kewajiban Tim PH menjelaskan langkah hukum dan konsekwensinya sedangkan keputusan untuk banding atau tidak sepenuhnya diserahkan kepada terdakwa Buchtar Tabuni.

Pada tanggal 7 Juli 2009, JPU telah lebih dulu menyatakan banding terhadap putusan tersebut karena kekecewaan mereka atas terlepasnya Buchtar dalam jeratan pasal makar. Sedangkan Buchtar Tabuni, setelah dikunjungi oleh Tim PH Anum Siregar SH dan Iwan K Niode SH didampingi Hamim Mustafa, staff dokumentasi dari AlDP mengatakan “saya mau banding, jika nanti putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi 10 tahun atau lebih itu bukan soal tapi tidak benar tuduhan pasal penghasutan itu..” tandas Buchtar Tabuni. Maka setelah bertemu Buchtar di LP Abepura tanggal 10 Juli 2009, Tim PH langsung menuju Pengadilan Negeri untuk menyatakan banding. Di kesempatan itu, Buchtar menunjukkan surat perpanjangan 30 hari masa penahanan yang dikeluarkan oleh pengadilan Tinggi Papua, hingga tanggal 6 Agustus 2009 mendatang.

Hal yang menarik dan semestinya diperhatikan adalah bahwa putusan terhadap Bukhtar Tabuni akan menjadi patokan bagi persidangan yang sedang dihadapi oleh Sebi Sambom dan Musa Tabuni, Diaz dan Yance, sebab mereka bagian dari kelompok anak muda, teman – teman Buchtar Tabuni yang terlibat demo juga. Ini juga akan menjadi tiitk perhatian bagi tim PH dalam mendampingi mereka, selain tetap berusaha untuk menangkis tuduhan makar (pasal 106 KUHP) tetapi juga lebih focus pengungkapan fakta untuk menunjukkan bahwa tidak terjadi peristiwa penghasutan terhadap satu delik (pasal 160 KUHP).

Buchtar Tabuni memasuki hari – hari yang penting dan penuh tantangan karena itu dia sengaja memilih lebih banyak diam..”Saya gelisah..”katanya, sambil mengepalkan tangannya dan meninju pelan – pelan meja yang ada di depannya di ruang pembinaan LP Abepura, kemudian tersenyum khas,..”kalau tidak ada lagi makar, maka menyampaikan aspirasi melalui demo adalah wajib. Kita akan terus melakukan konsolidasi dan menghindari trik – trik penghasutan yang akan menjadi perangkap buat kita. Setelah bebas, saya akan tetap berdemo…”katanya penuh semangat.

Keterangan foto : Buchtar Tabuni di hari yang menggelisahkan tanggal 3 Juli 2009 - pengadilan negeri Jayapura, Andawat.