LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

04 November 2009

OTSUS : Jembatan Kriminalitas dan Marginalisasi Kampung di Kota

Oleh : Andawat
Jika kita telusuri halaman berita harian lokal setiap harinya dipenuhi dengan berbagai aksi kejahatan dan masalah social lainnya yang meningkat tajam di masyarakat baik jumlah kasus maupun kualitas kejahatannya. Terjadi diantara orang – orang yang tidak saling mengenal sebelumnya tetapi juga tak peduli dengan relasi kekerabatan yang sudah ada sebelumnya. Kadang diantara relasi yang kuat, bentuk kejahatan yang dilakukan malah terbilang sadis. Kejahatan bisa terjadi kapan saja, tanpa diduga bahkan ketika kita merasa benar – benar aman diantara lingkungan keluarga,beberapa kasus pembunuhan,pemerkosaan dan penganiayaan lainnya justru dilakukan oleh orang-orang terdekat.

Praktek kejahatan menunjukkan jenis kriminalitas ala kota besar, semisal Jakarta dengan perkara kejahatan pencurian dengan kekerasan, pencurian HP, uang dalam di mobil, penikaman aksi pengeroyokan dan penganiayaan akibat terpengahui minuman keras, pembunuhan dengan kekerasan, penipuan, prostitusi jalanan, pemerkosaan, kasus tabrak lari, perjudian, perdagangan narkoba dan lain sebagainya. Ada juga yang dilakukan oleh residivis,seperti kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Roy Kbarek atau Aleang Hidayat bandar shabu-shabu yang berkali-kali mealrikan diri dari LP. Hampir semua system dan instrument yang berjalan di bidang pemerintahan, politik, pendidikan, ekonomi, social sampai yang terkecil di dalam komunitas kelurahan dan rukun tetangga sulit menghindar agar bisa bebas dari arus kriminalitas tersebut.

Pada harian Bintang Papua tanggal 11 september 2009,termuat judul “Trend masalah sosial di Jayapura terus naik. Kepala Dinas Sosial Kota Jayapura mengatakan masalah social di kota Jayapura cukup bergerak cepat dan mobile sejalan dengan perkembangan laju penduduk dan pembangunan.Menurut Walikota MR Kambu, masalah social merupakan masalah konvensional dan saling terkait satu sama lain yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu bagi anak,remaja dan generasai muda untuk terjerumus ke masalah kontemporer seperti narkoba,miras,perilaku seks bebas yang menyebabkan tingginya kasus HIV_Aids.

Faktor paling signifikan saat ini adalah pendewaan terhadap materi dan uang. Materi dan uang telah mengubah pola kehidupan sekaligus kejahatan - kejahatan yang dipraktekan. Materi dan uang membuat jarak antara Jakarta Jayapura secara phisik dan psikis tak begitu jauh. Materi dan uang telah berhasil memindahkan kejahatan kota besar ke Jayapura, kita seperti membeli kejahatan dari Jakarta, kejahatanpun bertumbuh dan menjadi lebih besar akibat dari sikap dan kebijakan pemerintah.

Kriminalitas kota yang terjadi seringkali ada kaitannya dengan kantong – kantong daerah marginal di sekitar kota, misalnya akibat kepadatan penduduk yang tidak terkontrol di sekitar daerah pinggiran kota Jayapura. Memang nampaknya agak berlebihan kalau kita menyebut daerah – daerah tersebut marginal akan tetapi inilah yang terjadi dan makin menjadi marginal justru setelah adanya OTSUS. Marginal dalam pengertian bahwa daerah ini dianaktirikan dari berbagai perhatian pemerintah dan bentuk-bentuk perubahan sosialnya sering membuat kita terkejut-kejut. Di jaman OTSUS, uang yang terserap di kota sebagian besar untuk aparat pemerintah lantas lewat begitu saja dan langsung ke kampung – kampung dengan berbagai label program. Sedangkan untuk daerah pinggiran kota, dana yang diberikan sangat terbatas padahal jumlah penduduknya baik karena kelahiran maupun migrasi terus bertambah demikian juga tingkat dan jenis kebutuhannya.

“Kampung – kampung atau desa-desa ” di kota diabaikan dari perhatian OTSUS, dirugikan karena status administrasinya di kota meski secara ekonomi sangat memprihatinkan. Tak ada dana RESPEK dan hampir tidak pernah ada program prioritas, selain yang berkaitan dengan dana BLT atau beras raskin. Jika ada pembangunan di sekitar kota, lebih banyak dilakukan untuk pemenuhan infrastruktur dan belanja aparatur (gaji,honor, pelatihan - pelatihan tugas ke luar daerah dll). Sementara untuk biaya pendidikan, kesehatan termasuk kebutuhan hidup sehari – hari yang dikeluarkan masyarakat di sekitar daerah tersebut tetap mahal dan kurang mendapat dukungan. Hal yang paling terasa adalah untuk memenuhi kebutuhan anak sekolah,’harus ada uang cash setiap hari..”kata seorang teman..”untuk kebutuhan hidup,minyak tanah yang katanya disubsidi justru untuk sampai ke tangan rakyat harganya bisa menjadi 3 kali lipat. Demikian juga untuk urusan lainnya,seperti membayar tagihan listrik dan air setiap bulan, atau biaya berobat ,berurusan dengan kepolisian dan lain sebagainya.

Daerah – daerah seperti itu mulai tumbuh banyak di sela-sela kota Jayapura, ada yang terdiri dari komunitas etnis sejenis dan beragam, berkembang sesuai dengan daya serap dan daya respon yang ada. Kegiatan pemerintah yang mudah direspon biasanya berkaitan dengan diklat tenaga kerja,tetapi murid –muridnya hanya praktek untuk beberapa bulan di instansi pemerintah kemudian harus mencari kerja sendiri lagi. Bantuan peralatan usaha yang diberikan juga sangat terbatas. Belum lagi harus bersaing dengan pencari kerja yang datang dari luar Papua, setiap minggu ribuan orang datang dengan menumpang kapal putih milik Pelni - tentu sebagian besar memenuhi daerah – daerah pinggiran tersebut ditambah lagi dari kota dan kampung di sekitar provinsi Papua yang berniat mengadu nasib di kota Jayapura.

Para nelayan, buruh pelabuhan,penjaga toko,kuli bangunan,petani di lereng-lereng bukit, penjual sayur,sales dari rumah ke rumah adalah sebagian besar dari profesi mereka. Komunitasnya selalu memiliki ciri yang sama, saat para lelakinya bekerja, anak-anak ke sekolah atau perempuan lainnya berjualan maka ada yang nongkrong berkelompok atau sendiri-sendiri mengisi nomor-nomor togel, bermain judi, sibuk di tempat MCK umum atau anak-anak perempuannya saat sore menjelang malam mulai bergantian keluar rumah. Mereka harus berhamburan keluar rumah mengadu nasib. Sebagian perempuan lainnya adalah pekerja keras seperti penjual yang ulet di pasar-pasar tradisonal. Mereka memenuhi pertokoan hingga jalan raya dari pagi hingga malam hari. Sulit dibayangkan jika orang – orang dari daerah tersebut berhenti bekerja atau mogok, pasti akan begitu banyak aktifitas harian yang terbengkalai dan sebagian kebutuhan hidup juga jadi langka.

Mereka memiliki sumber penghasilan yang sangat pas –pas an untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari dengan intensitas godaan yang cukup besar, oleh karena itu dapat dimengerti jika kemudian menyebabkan angka kriminalitas menjadi tinggi. Mereka tergoda,tidak memiliki uang akhirnya melakukan tindakan kriminal. Orang – orang seperti mereka tak terbiasa melihat pilihan hidup yang banyak atau jalan yang masih panjang, semuanya serba mendesak dan hanya untuk hari ini.

Kalau di kampung anak-anak bisa ke sekolah setiap hari dengan berjalan kaki sehingga tidak mengeluarkan biaya, di kota paling tidak untuk anak SMP dan SMA mengeluarkan biaya Rp.6.000/hari. Anak anak di kota sudah terbiasa dengan handphone sehingga ada kebutuhan untuk membeli pulsa belum lagi anak laki-laki yang sudah mengenal rokok. Akibatnya biaya taksi atau uang sekolah yang diberikan orang tua, terpakai untuk membeli pulsa atau rokok, dan bolos sekolah. Demikian juga biaya untuk makan dan penampilan sehari-hari, mereka sangat bergantung pada barang yang dijual di pasar rakyat atau supermarket. Kebutuhan terus meningkat termasuk berbagai trend berpakaian,asesoris dan peralatan kosmetik. Apalagi sebagian toko mewajibkan karyawan perempuannya menggunakan make up.

Di kota, mereka kelompok yang sulit untuk ‘dipercaya’ sehingga sangat sulit mendapatkan bantuan pinjaman dari Bank. Mereka biasanya mengembangkan usaha dengan mendapatkan pinjaman dari bank-bank kecil seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau jenis-jenis usaha simpan pinjam, lebih gawat lagi biasanya mereka menjadi sasaran lintah darat (rentenir) yang meminjamkan uang dengan bunga hingga 20 persen. Mereka memberikan kontribusi sangat riil bagi segala dana yang dapat dikategorikan untuk ‘memperkaya’ daerah, seeprti membayar tagihan listrik,air dan retribusi setiap hari.

Berbeda dengan para pedagang besar yang sering menggelapkan pajak, sebagian dari mereka yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima adalah pembayar retribusi yang paling rajin, karena sudah pasti setiap berjualan membayarkan kewajibannya kepada negara. Jika mereka meminjam di bank perkreditan rakyat, mereka membayar perhari, paling tertib dan jaminan mereka bisa langsung diubah menjadi uang ,beda dengan para kreditor kakap yang punya jaminan rumah atau tanah, bertahun - tahun hanya menjadi sita jaminan di Bank saja bahkan kadang melarikan diri.

Berbagai produk kriminalitas yang dilahirkan dari daerah seperti itu tak membuat mereka pantas untuk disalahkan sebab kehidupan yang mereka jalani tidaklah sederhana dan mudah. Daerah-daerah tersebut membutuhkan perhatian dari pemerintah dan kita semua dengan merumuskan program sesuai kebutuhan mereka, seperti bantuan buat para pedagang, nelayan dan juga buruh pelabuhan. Pengembangan ketrampilan sanggar seni, berbagai jenis ukiran serta modal usaha untuk mengurangi angka kriminalitas. Pemerintah dan lembaga non pemerintah perlu merumuskan kebijakan khusus yang mempriortitaskan penanganan masalah pada wilayah – wilayah marginal di kota. Juga upaya menumbuhkan kesadaran bersama untuk merespon persoalan hidup tanpa melalui jalan pintas.

Keterangan foto : Jantung kota Jayapura,andawat