LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

16 November 2009

Perjalanan Mencari Aliansi dalam Penegakan HAM Di Papua.

Oleh : andawat

Saat pertama kali memenuhi undangan dari kakanwil Hukum, muncul 2 pemikiran. Pertama, merupakan sambutan yang baik karena sebelumnya tidak ada jembatan komunikasi yang terbuka antara LSM dengan pemerintah sipil yang bekerja dengan thema hak asasi manusia. Kedua, ada anggapan bahwa undangan itu sangat biasa dan basa basi saja sebab Nazaruddin Bunas SH,MHum sang Kakanwil tersebut baru menjabat jadi hanya untuk perkenalan, pertemuan pertama dan terakhir. Sebagai orang baru di Papua, ide dan gagasan beliau sangat cemerlang, kritis dan serius saat mendiskusikan persoalan hak dasar orang asli Papua terutama yang tercantum dalam UU No 21 tahun 2001. Saat itu bulan November 2008, beliau membagikan nomor HPnya dan mengatakan silahkan saja menghubungi jika ada hal yang perlu dikomunikasikan.

Pada bulan pebruari 2009, Nazaruddin Bunas mengundang kembali teman- teman LSM. Saat itu berkaitan dengan kasus yang dialami oleh Buktar Tabuni dkk. Di mulai dari peristiwa pengeledahan HP milik Buktar Tabuni setelah Buktar balik dari Polda Papua, dititip ketika ada kunjungan dari Menteri Hukum dan HAM. Simpati yang meluaspun timbul dari kalangan napi politik sehingga terjadi pemukulan dan pengeroyokan terhadap petugas LP yang berakibat Yusak Pakage dkk dipindahkan/dititipkan dari LP Abepura ke Polda Papua. Penitipan tersebut dilakukan maksimal selama 2 minggu, sebagai upaya untuk melakukan normalisasi LP Abepura dan mencari jalan keluar tempat penahanan dan pemidanaan mereka.

Kakanwil mengakui bahwa untuk membawa kembali Buktar Tabuni dkk ke LP Abepura akan menimbulkan resiko yang tidak diinginkan bersama dan terjadi diluar kontrolnya. Sebab pemukulan dan pengeroyokan yang terjadi antara kedua belah pihak bisa saja akan menyisakan dendam dan solidaritas pada masing-masing pihak. Kemudian muncul 2 skenario : memindahkan Buktar dkk keluar Papua atau membagi mereka pada LP –LP yang ada di wilayah kanwil Hukum dan HAM Papua. Kakanwil dan pihak LSM melakukan diskusi yang serius mengenai rencana pemindahan tersebut, prinsipnya teman-teman keberatan dengan berbagai pertimbangan belajar dari resiko pemindahan-pemindahan yang sudah terjadi. Tak lama kemudian, kakanwil menawarkan ide ‘jalan tengah’ yakni memindahkan/menitipkan para napi ke LP Narkoba di Doyo Baru.

Keseluruhan proses pertermuan berlangsung sangat terbuka,…” kalau saya mengundang itu artinya ada kehendak untuk membangun komunikasi tetapi ada beberapa hal yang mesti kita sepakati bersama, saling menjaga dan membangun komitmen..’tandasnya. Beliau mengatakan bahwa kasus Buktar dkk memang merupakan pekerjaan yang sulit. Setelah bertemu dengan teman –teman LSM, Kakanwil langsung ke Polda Papua untuk bertemu langsung dengan Yusak Pakage dkk menyampaikan rencana pemindahan tersebut juga membuat kesepakatan agar proses pemindahan berlangsung aman untuk kepentingan bersama. Kabid Pemasyarakatan Kanwil hukum dan HAM Papua menambahkan bahwa Kakanwil sudah beritikad baik untuk berinisiatif menyampaikan rencana pemindahan karena biasanya rencana pemindahan itu dilakukan tertutup ,tanpa diberitahukan terlebih dahulu.

Memang benar,setelah dua pertemuan tersebut, dilakukan pertemuan lagi serta komunikasi via telepon sehingga relasi menjadi lebih cair dan makin terbuka. Beliau juga memantau perkembangan persidangan Buktar Tabuni bahkan sempat mengeluarkan statemen mengenai tuduhan makar yang dituduhkan pihak penyidik kepada Buktar Tabuni, intinya menurut beliau penggunaan pasal – pasal makar sudah tidak relevan lagi. Simpati terhadap beliau terus mengalir dari kalangan LSM.

Pada tanggal 29 Oktober 2009, beliau mengundang LSM kembali LSM untuk mendiskusikan gagasan beliau mengenai bentuk-bentuk dukungan bagi korban pelanggaran HAM. ”kita bukan meniadakan KKR dan pengadilan HAM, tetapi itu urusan ‘langit’..”katanya menggambarkan proses untuk KKR dan pembentukan pengadilan HAM masih sangat panjang, lama dan memerlukan otoritas lainnya…”Adakah langkah lain yang dapat kita lakukan untuk korban?..”.Itu pertanyaan awalnya ketika kami bertemu.Setelah mendiskusikan ide tersebut dengan LSM, beliau akan melakukan kunjungan kerja ke berbagai instansi di Papua kemudian akan menggelar semacam lokakarya seluruh stakeholder di papua, seperti MRP,DPRP dan pemerintah untuk merumuskan bentuk dukungan yang lebih konkrit bagi korban.

Menurutnya, idenya menjadi ‘masalah besar’ di kalangan pemerintah pusat, terutama pihak Deplu dan polhukam juga di dephuham sendiri. ..”Instansi di Jakarta menjadi agak ngeri mendengar ide tersebut…”ujarnya. Bahkan beliau mengaku sempat ditelepon oleh orang dari BIN, Polhukam, termasuk dari KODAM XVII Cenderawasih. Para petinggi di Jakarta khawatir jangan sampai persoalan tersebut melebar.Konon kabarnya,utusan khusus dari Polhukam juga datang langsung bertemu beliau setelah pertemuan dengan LSM.

Respon kemudian bermunculan dari peserta pertemuan. Pdt Dora dari KPKC Sinode mengatakan bahwa perlu memperhatikan korban dengan baik sebab kalau fokusnya pada korban Wasior dan Wamena tentu akan menimbulkan pertanyaan bagi korban-korban yang lain. Harry Maturbongs dari Kontras Papua lebih banyak mengulas keberadaan KKR dan pengadilan HAM.Dia menyayangkan berbagai pihak di papua yang tidak mengambil langkah maju bagi pembentukan KKR dan pengadilan HAM. Dia juga masih bingung soal ‘posisi’ LSM dalam gagasan yang dituangkan oleh kakanwil hukum dan HAM dan khawatir dengan respon yang akan muncul jika kemudian LSM menggulirkan ide tersebut bersama pemerintah.

Latifah Anum Siregar dari AlDP mengatakan bahwa pertama menyambut baik dan memberikan dukungan atas ide yang dimunculkan oleh kakanwil. Catatan pertama yang mesti dipahami bahwa ide tersebut tidak boleh mengabaikan apalagi mengakhiri gagasan pembentuk KKR dan pengadilan HAM. Ide ini merupakan strategi jangka pendek. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Iwan K Niode yang juga hadir,patut dicatat bahwa santunan atau dukungan yang diberikan tidak menghentikan proses hukum.

Strategi ini dapat juga dilakukan sebab di kalangan orang papua sendiri inisiatif ‘dukungan bagi korban’ yang terkadang muncul dengan tradisi ganti rugi memang ada. Akan tetapi ganti rugi yang dimaksud di sini bukanlah yang dimaksud pada PP no 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Ide dari kakanwil ini baik dipahami sebagai salah satu program yang akan dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu memang telah ada kelompok korban akan tetapi juga perlu dilihat ada begitu banyak korban yang justru tidak merupakan bagian dari kelompok manapun sehingga perlu juga diperhatikan.

Secara tehnis ide harus dirumuskan dengan jelas mengenai defenisi dan bentuk dukungan, tempat ,waktu dan kategori penerima dukungan tersebut. Bentuk dukungan sedapat mungkin menghindari bentuk pemberian uang atau dana segar, bentuknya bisa dipilih dengan berbagai kemudahan pada akses layanan kesehatan,pendidikan,ekonomi dan lain sebagainya. AlDP sendiri sudah lama menyadari(dan menjalankan program) bahwa dukungan buat korban yang selamat dari penyiksaan (Survivor of torture) bukanlah persoalan hukum semata tetapi kebutuhan medis, social (kehidupan yang berarti), ekonomi dan psikososial. Maka secara sederhana, agenda yang ditawarkan oleh kakanwil hukum dan HAM sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa LSM. Diskusi dengan LSM dapat dipandang merupakan proses assessment. Sehingga dengan demikian semua pihak dapat memahami posisi dan agenda masing-masing. Komitmen bersamanya, adalah penyedia layanan dukungan bagi korban serta juga harus mengerjakan upaya menghentikan siklus kekerasan yang ada di papua.

Markus Kayoi mengatakan bahwa pemberian dukungan bagi korban merupakan langkah awal dengan demikian diharapkan proses menuju KKR akan lebih memungkinkan dan setiap elemen yang terlibat akan lebih siap. Apalagi orang papua sendiri dikenal sangat gampang mengampuni. Menurut Penias Lokhbere dari BUK, memang ada kekecewaan yang luar biasa dari korban terhadap pemerintah RI karena pelaku kekerasan terus dibebaskan seperti yang terjadi pada persidangan Pengadilan HAM kasus Abepura. Yang perlu juga diperhatikan adalah reaksi yang berbeda-beda dari korban sehingga di tingkat ini juga perlu ada diskusi kembali untuk membangun pemahaman bersama diantara korban. Semestinya sudah ada Perdasi atau Perdasus yang melindungi hak-hak korban.

Pihak perwakilan KOMNAS HAM berpendapat bahwa pemberikan dukungan bagi korban sangat diperlukan, Perwakilan KOMNAS HAM juga sudah mulai melakukan sejumlah program akan tetapi selalu terbentur dengan system dan kewenangan yang diberikan sangat terbatas. KOMNAS HAM menambah gagasan mengenai pentingnya memperhatikan berbagai dampak negative yang ditimbulkan dari bantuan tersebut terhadap korban termasuk dampak psikologis.

Pertemuan dengan kakanwil hukum dan HAM memberikan kesan yang sangat berbeda sebab selama ini hampir tidak pernah ada pertemuan diantara LSM dengan pemerintah sipil di Papua apalagi sampai terjadi komunikasi yang saling terbuka meski untuk hal-hal tehnis, membangun aliansi tehnis. Banyak alasan yang diberikan oleh para pejabat sipil untuk menghindari pertemuan dengan pihak LSM termasuk tidak bersedia hadir memenuhi undangan kegiatan LSM. Bahkan ada yang berusaha keras bersikap resisten dan menutup ruang komunikasi meski untuk kepentingan public misalnya ketika LSM meminta salinan putusan atau aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahnnya,seperti penolakan yang dilakukan oleh Biro Hukum saat beberapa lsm meminta salinan dari PERDASI dan PERDASUS yang telah ditetapkan. Sisi lainnya,masih juga ada kekhawatiran dan kecurigaan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Pekerja HAM/ pihak lsm.

Padahal kegagalan kita dalam merespon beberapa persoalan belakang ini mengajarkan kita untuk lebih bersikap terbuka dan pada tahap tertentu harus bersedia membangun aliansi, minimal aliansi taktis jika belum dapat mencapai aliansi strategis. Kita membutuhkan aliansi ketika energy yang kita miliki rasanya hampir habis. Aliansi membantu kita menemukan jalan-jalan baru yang signifikan guna mewujudkan misi bersama. Aliansi sebagai ‘perjalanan bersama’ tentu dibangun berdasarkan prinsip yang saling menghormati dan percaya. Bersepakat mengenai agenda yang bisa dikerjakan bersama dan saling mendukung untuk agenda yang dikerjakan secara kelompok atau individu.Sayangnya,aliansi makin sulit didapat,di saat mutlak diperlukan.

Foto : Program Pelayanan Terpadu Bagi Korban – ALDP, di kampung Bring - Genyem, _regarNovember 2008,andawat