LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

05 April 2010

Sebelas Kursi Menunggu PERDASUS atau Intervensi dari Pusat (lagi?)

Oleh: Andawat

Pada awal Februari 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan dari BMP mengenai 11 kursi anggota DPRP yang diangkat sesuai pasal 6 ayat(2) UU OTSUS : DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang – undangan”. Dalam amar putusannya MK berpendapat, berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah inkostitusional kecuali frasa berdasarkan peraturan perundangan – undangan dalam pasal a quo diartikan berdasarkan Peraturan Daerah Khusus.

Putusan MK yang menetapkan alas hukum bagi 11 kursi yang diangkat melalui PERDASUS sangat dibutuhkan mengingat isi amandemen UUD 45,Bab VIIB pasal 22 E ayat(2) : Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden dan DPRD dan UU Nomor 27 tahun 2009 pasal 290 mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR RI, DPD RI dan DPRD : DPRP Provinsi terdiri atas anggota partai politik pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Artinya semua acuan hukum mengenai keanggotaan DPRD sebenarnya dipilih melalui pemilihan umum. Keputusan ini sekaligus mengandung maksud bahwa apabila pengaturan 11 kursi ditetapkan selain melalui PERDASUS adalah inkonstitusional.

Dalam aspek yang lain, keputusan MK mendapatkan banyak sekali tanggapan. Wakil ketua Komisi A DPRP Weynand Watory mengumpamakan keputusan MK tersebut dengan kisah di suatu Gereja di Manokwari. Seorang pemuda diminta oleh seorang pendeta untuk memukul lonceng sebanyak 5 kali sesuai dengan waktu pada saat itu pukul 5 pagi hari akan tetapi karena pemuda tersebut ternyata sedang mabuk maka dia memukul sebanyak 6 kali. ”..salah, ko pukul kelebihan..” tegur sang pendeta kaget. ”..lima itu enam kurang satu, jadi kelebihan satu..” jelas pendeta. Tanpa pikir panjang, pemuda tersebut memukul satu kali lagi, mungkin maksudnya untuk mengurangi kelebihan yang satu tadi tapi yang terjadi malah tambah salah.

Jumlah anggota DPRP telah mengikuti kehendak pasal 6 ayat (4) UU OTSUS yakni sebanyak 56 orang, (45 ditambah 11) hanya saja semua dipilih melalui jalur partai politik dan tidak diangkat. Jumlah 56 ini sudah berlangsung selama 2 periode Pemilu. Waktu periode pemilu 2004 tidak banyak yang mempermasalahkan penambahan 11 kursi melalui partai pemilu, saat itu KPU mengambil kebijakan bersama partai politik sebelum MRP terbentuk. Baru ketika pemilu 2009 akan digelar banyak kalangan mulai menggugat kembali. Sebenarnya pemerintah provinsi, DPRP, MRP dan KPU telah melakukan pertemuan beberapa kali selain itu sudah melakukan konsultasi ke Jakarta hanya saja tidak sampai pada tindak lanjut dalam bentuk produk hukum hingga akhirnya pemilu tetap dilaksanakan untuk memilih bukan saja 45 kursi tetapi juga 11 kursi yang seharusnya diangkat sesuai amanat pasal 6 ayat(2) UU OTSUS diberikan semuanya ke partai politik.

MK menetapkan bahwa keanggotaan DPRP sebanyak 56 orang adalah sah menurut hukum ditambah 11 anggota yang diangkat berdasarkan PERDASUS. Nampaknya MK mencoba untuk mengambil jalan tengah meski dasar hukum keputusannya untuk menambah 11 tidak jelas, dari mana hitungannya?. Jika ¼ (diasumsikan 11) dari 45 sudah ada 56, Jika ¼ dari 56 tentu bukan 11. Pertimbangan MK lebih banyak untuk mengurangi cost konflik yang bakal muncul diantara orang Papua dengan pilihan “jika dibatalkan 11 yang sudah ada atau ditambah saja 11” karena itu MK menyebut keputusannya einmalig atau berlaku sekali untuk periode 2009-2014. Meki begitu tetap muncul kecurigaan bahwa MK secara sadar atau tidak ikut tergiring pada kepentingan politik tertentu.

Menanggapi putusan itu, pihak pemerintah pusat yang diwakili Kabag Hukum Depdagri Mualimin Abdi mengaku menghormati putusan MK. Dia meminta Pemprov Papua dan DPRP setempat segera menyusun Perdasus terkait pengangkatan anggota DPRP tambahan itu. "Perdasus itu wewenang Provinsi dan DPRD Provinsi. Pemerintah pusat hanya dilaporkan. Kalau dulu kami berargumen bahwa UU itu benar, ya karena itu memang sudah tugas kami. Tapi, karena putusan ini, maka kami menghormati dan meminta Pemprov Papua menindaklanjutinya," tutur Mualim.

“Hal itu merupakan keputusan bersama, mari kita laksanakan putusan tersebut. Jangan kita menambah atau mengurangi isi dan makna dari putusan tersebut,” ujar Gubernur dalam pidatonya yang dibacakan pelaksana tugas Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua, Drs. Elia Ibrahim Loupatty, MM dalam acara ibadah syukur Barisan Merah Putih (BMP) bersama rakyat Papua di halaman kantor Gubernur Papua, Selasa (9/2/2010). Menurut Bas Suebu, pengangkatan harus sesuai dengan mekanisme OTSUS, seperti yang ada di amar putusan yakni melalui PERDASUS.

Wakil Gubernur Provinsi Papua, Alex Hasegem mengatakan pemerintah daerah dan DPRP telah melakukan konsultasi dengan pemerintah pusat dalam rangka rasionalisasi 11 kursi keputusan MK tersebut. Soal perekrutannya akan melalui mekanisme yang jelas dan teratur sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat Papua sendiri. Akan dibentuk tim pembahasan untuk melahirkan PERDASUS yang terdiri dari pemerintah, DPRP, MRP dan BMP sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan sebagai penggugat (Bintang Papua/19/2/2010).

Ketua Dewan Adat Papua, Forcorus Yaboisembut menyatakan pesimistis atas masalah 11 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Papua. DAP menilai 11 kursi hanya diperuntukkan segelintir orang tanpa niat menyejahterakan rakyat. “Sekarang katanya 11 kursi itu untuk rakyat. Lihat saja nanti, pasti juga akan teracuni dan tidak lagi memperhatikan rakyat,” kata Yaboisembut dalam wawancara dengan (VHRMedia/3/2/2010). Menurutnya, 11 kursi yang diusulkan sejumlah tokoh Papua sejak 5 tahun silam tidak memiliki arti sama sekali ketika rakyat tetap dibelenggu masalah kemiskinan dan keterbelakangan.

BMP sendiri telah memberikan janji – janji melalui Sekjen BMP Yonas Alfons Nusi selama melakukan safari keputusan MK di Provinsi Papua dan Papua Barat dan dinilai sebagian orang bisa menjadi boomerang bagi BMP sendiri .”Apa yang dijanjikan oleh sekjen BMP adalah sangat bertentangan dengan amar putusan MK yang hanya menyebutkan 11 kursi di DPR Papua dan tidak menyebutkan 9 kursi di DPRD Papua Barat..”tegas Nico Mauri ketua BMP Kota Jayapura (Bintang Papua/18/2/2010). Sebelumnya Sekjed BMP di halaman kantor gubernur Provinsi Papua menyebutkan bahwa 11 kursi untuk DPRP, 9 kursi untuk DPRD Papua Barat dan masing –masing untuk Papua dan Papua Barat ada 5 kursi untuk DPD RI dan 4 kursi untuk DPR RI.

BMP merekomendasikan kepada Pemprov Papua dan Papua Barat membentuk tim asistensi yang melibatkan BMP selaku pemohon yang telah memenangkan dan menerima amar putusan pada 1 Februari 2010 di Jakarta, guna percepatan pembuatan Perdasus untuk implementasi penambahan kursi DPRP, masa bakti 2009-2014 mulai dalam waktu sesingkat-singkatnya terhitung sejak 1 Februari hingga 1 Mei 2010. BMP menilai masih terjadi kelambatan alias tidak seriusnya pihak pemerintah daerah, DPRP dan MRP dalam merespon keputusan MK, bahkan BMP sempat mengatakan bahwa Komisi A DPRP, Komisi yang membidangi masalah 11 kursi telah menolak keputusan MK. Sehingga BMP meminta intervensi dari pemerintah pusat untuk mengeluarkan Peraturan pemerintah tanpa harus menunggu PERDASUS dan PERDASUS baru akan dibuat setelah mereka dilantik.

Frans Alberth Yoku selaku ketua IGSSAPRI mengatakan kalau pemerintah di Papua lambat merespon sebaiknya dilakukan intervensi oleh mendagri (Cepos/19/2/2010)” Karena DPRP, Gubernur dan MRP telah menggelapkan hak –hak orang asli Papua, lalai dan melupakan tugas yang penting ini..”. Ramses Wally selaku pengurus DPP BMP turut mendesak pemerintah provinsi segera mengeluarkan surat keputusan (SK) dan melantik anggota DPRP 11 kursi. Sikapnya ini menurut sekretaris Komisi A DPRP Yulius Miagoni,SH seakan mengabaikan DPRP. Menurutnya perjuangan BMP itu patut mendapat pujian akan tetapi 11 kursi itu bukan hak BMP semata karena itu hak dari OTSUS sehingga mekanisme yang digunakan harus dengan mekanisme eksekutif, legislative dan MRP.“..BMP tidak punya hak bicara 11 kursi yang punya itu rakyat Papua dan itu sudah diwakilkan ke DPRP..” (Bintang Papua/24/2/2010)

Ramses Wally sendiri sebenarnya mendapat kritik yang cukup tajam sejalan dengan sikapnya yang terus menerus mendesak eksekutif sebab diketahui bahwa Ramses Wally sebelumnya ikut pencalonan anggota legislative 2009-2014 namun tidak terpilih. Sehingga ada pandangan yang mengatakan bahwa seharusnya dia tidak masuk dalam criteria orang yang akan diangkat. Ketika hal tersebut dipertanyakan oleh salah seorang anggota Komisi A DPRP kepada Dirjen OTDA saat pertemuan tanggal 17 Maret 2010 di Depdagri, Dirjen OTDA sempat tak menduga akan menerima pertanyaan seperti itu, namun katanya, agar seleksi orang bisa dilihat lebih arif dan diatur dengan sebaik –baiknya.

Setelah putusan di keluarkan telah dilakukan pertemuan antara pihak DPRP, MRP, Depdagri dan polhukam di hotel Santika tanggal 11 Pebruari 2010 di Jakarta. Komisi A DPRP telah bertemu secara khusus dengan Depdagri pertengahan Maret 2010 nampak sekali pihak Depdagri sangat antusias agar keputusan MK tersebut segera dilaksanakan. Bahkan Dirjen OTDA mengatakan ditargetkan pada pertengahan April diharapkan PERDASUS sudah selesai dikerjakan oleh DPRP, MRP dan Gubernur. Demikian juga di kantor Polhukam, keberpihakan terhadap BMP senantiasa tersirat dari ucapakan mereka.

Sejalan dengan itu berbagai komponen masyarakat bergantian mendatangi Komisi A DPRP. Intinya mereka menyampaikan aspirasi agar keterwakilan kelompok mereka diperhatikan. BMP sendiri secara lugas telah menyebutkan 7 nama yang merupakan pengurus BMP untuk diangkat, sisanya baru melakukan seleksi terhadap komponen yang lain. Kelompok permerhati Perempuan Asli Papua sekitar 14 orang yang mendatangi DPRP awal awal Maret 2010 mengatakan bahwa perempuan asli papua harus mendapatkan jatah sebanyak 5 kursi mengingat jumlah anggota DPRP perempuan asli Papua saat ini hanya berjumlah 2 orang dari 4 orang.

Mengenai criteria orang yang akan diangkat, kita dapat menggunakan beberapa referensi. Pertama merujuk pada materi Gugatan BMP yakni menyebut berkali –kali hak 11 kursi seharus diberikan kepada Para wakil adat. Penggugat menambah argumentasi dengan penyebutkan penjelasan pasal 6 (ayat) 2 UU OTSUS. Padahal pada penjelasan pasal 6 ayat(2) UU OTSUS disebutkan “cukup jelas “ alias tidak ada penjelasan lagi apalagi menyebutkan 11 kursi diberikan kepada para wakil adat.

Penggugat mengatakan bahwa gugatan yang diajukan untuk memperjuangkan para wakil adat yang pro Indonesia dapat diangkat sebagai anggota DPRP sehingga tercapai keseimbangan antara mereka yang menghendaki integrasi dengan Indonesia dan mereka yang menghendaki pemisahan dengan Indonesia. Untuk memperkuat argumentasi tersebut, Penggugat menjelaskan motivasi masyarakat adat yang melakukan demo tanggal 22 Agustus 2008 adalah untuk menolak rekruitmen 11 kursi yang dilakukan melalui partai politik karena mereka telah menyalahgunakan DPRP bahkan DPRP dijadikan sarana untuk melakukan pemisahan Papua dari NKRI. Artinya tidak ada wakil adat yang masuk melalui seleksi partai politik dan karena itu DPRP digunakan untuk kepentingan separatis. Argumentasi ini sempat menimbulkan sikap protes kalangan anggota DPRP sebab mereka mengikuti mekanisme dan persyaratan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Keputusan MK sendiri tidak secara spesifik menyebutkan 11 kursi harus diberikan kepada para wakil adat. Bisa jadi atas dasar itu kemudian salah satu hasil pertemuan Santika 11 Februari 2010 memutuskan bahwa untuk mengisi 11 kursi difokuskan pada 3 kelompok yakni kelompok pemuda, intelektual dan pejuang. Sedangkan kelompok lainnya seperti perempuan, agama dan adat sementara belum diakomodir. Kelompok pemuda dan pejuang didahulukan sebagai balas jasa. Arah dari pertemuan tersebut sudah jelas untuk (memaksa) mengakomodir kelompok BMP.

Kedua, kalau kita lihat pasal 6 ayat (2) dan penjelasan pasalnya sebenarnya tidak secara jelas dan tegas menyebutkan para wakil adat, ataupun tokoh pejuang, intelektual, pemuda, perempuan, agama atau criteria tertentu yang mengacu kepada identitas tertentu. Bahkan secara normatif tidak juga menyebutkan bahwa 11 kursi tersebut harus orang asli Papua, tidak ada rujukannya. Sehingga criteria apapun dapat masuk ke dalam kategori 11 kursi yang diangkat tersebut. Namun karena penambahan jumlah ¼ kursi tersebut dari jumlah 45 berdasarkan pasal 23 ayat(1) UU Nomor 10 tahun 2008 diatur dalam pasal 6 ayat (2) undang- undang mengenai kekhususan Provinsi Papua yakni UU OTSUS maka dapat diasumsikan bahwa 11 kursi tersebut adalah untuk orang asli Papua.

Ketiga, jalan lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi politik orang asli Papua ada di dalam UU OTSUS pasal 28 ayat (3) : Rekruitmen Politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat Asli Papua dan ayat(4) : Partai Politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekruitmen Politik Partainya masing – masing. Pertimbangan MRP hukumnya wajib, meski begitu pada pemilu kemarin tak ada juga partai politik yang meminta pertimbangan kepada MRP dan anehnya tak ada juga yang mempersoalkan termasuk MRP sendiri. Maksud pasal ini tentu memberikan kekuatan bagi MRP untuk menunjukkan kewenangan khususnya guna memperjuangkan peran orang asli Papua dalam kelembagaan politik.

Kalau dikaji sebenarnya keputusan MK tersebut tidak menghasilkan hal yang baru. MK hanya memutuskan bentuk produk hukum mengenai 11 kursi adalah melalui PERDASUS. Keputusan ini untuk menterjemahkan kalimat berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam pasal 6 ayat(2) UU OTSUS. Ini penting sekali sebab alas hukum merupakan salah satu kelemahan utama dalam UU OTSUS, beberapa pasal khusus dalam rangka affirmative action untuk Provinsi Papua tidak menyebutkan dengan jelas diterapkan dalam bentuk Perdasi dan Perdasus.

MK tidak mengabulkan semua tuntutan dari Penggugat (BMP), seperti : (1). Permohonan agar MK membuat penetapan untuk membatalkan 11 kursi di DPRP yang sudah ada . (2). MK menetapkan pengangkatan pertama kali untuk 11 kursi dilakukan melalui Peraturan Pemerintah atau (3). MK menetapkan jatah 9 kursi yang diangkat untuk DPRD Papua Barat dari dasar perhitungan 35 anggota DPRD yang sekarang x ¼.

Sayangnya keputusan MK yang sifatnya final sesuai dengan pasal 24C ayat (1) UUD 45 : MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang - Undang Dasar ..dst..”tidak secara tegas menyebutkan tenggang waktu dan konsekwensi yang bakal timbul apabila keputusan tersebut tidak dipatuhi.

Bahwa munculnya gugatan kepada MK menggambarkan tidak berjalannya komunikasi politik di tingkat lembaga daerah yakni eksekutif, legislative dan MRP untuk menyelesaikan persoalan 11 kursi. Keputusan MK tidak akan ada artinya jika eksekutif, legislative dan MRP tetap tidak bersepakat untuk mulai menyusun PERDASUS. Bisa jadi situasi ini memberikan peluang kepada pemerintah pusat untuk melakukan intervensi , meski MK tidak memutuskan itu. Apalagi sekarang ini eksekutif, legislative dan MRP telah disibukkan dengan agenda baru yakni keputusan MRP Nomor 14/MRP/2009. Selain itu secara internal Legislatif memiliki agenda lainnya berkaitan dengan pemilihan gubernur dan lainnya dan MRP berkaitan dengan penyusunan PERDASUS mengenai Tata Cara pemilihan Anggota MRP, demikian juga pihak eksekutif.

Keterangan foto : Pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua II-GOR Jayapura,2 Juli 2007,andawat.