LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

20 Juni 2010

Keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 : Bola Panas Yang Diskriminatif? ( Bagian Pertama)

Oleh:Andawat

Sejak awal bulan Maret 2010 hingga saat ini SK Majelis Rakyat Papua (MRP) Nomor 14 tahun 2009 mengenai Penetapan orang Asli Papua Sebagai Syarat Khusus Dalam Penentuan Bakal Calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Wali kota di tanah Papua terus menjadi perdebatan di hampir di semua tingkatan masyarakat : DPRP, MRP, Gubernur, hingga rakyat Papua termasuk kelompok pendatang. Sebenarnya yang dimaksud adalah Keputusan (bukan SK = Surat Keputusan) sehingga penyebutan seharusnya Keputusan MRP nomor 14 Tahun 2009 karena di dalam istilah hukum SK (Surat Keputusan) dan Keputusan memiliki arti mengikat yang berbeda. Jika bunyinya adalah SK, tentu menyangkut ‘perintah’internal yang sangat terbatas akan tetapi Keputusan mengikat secara meluas.

Waktu keputusan tersebut dikeluarkan pada bulan November 2009 belum banyak yang memberikan reaksi, bisa jadi karena pemilukada (perubahan dari istilah Pilkada) baru dilakukan tahun 2010 di sekitar 21 kabupaten kota se tanah Papua yakni kabupaten Asmat, Boven Digoel, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Keerom, Kepulauan Yapen, Lanny Jaya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, Merauke, Nduga, Pegunungan Bintang, Puncak, Sarmi, Supiori, Tolikara, Waropen, Yahukimo, Yalimo, dan kota Jayapura serta ada 7 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.
Gagasan awal pembahasannya dilakukan pada tanggal 4 Maret 2010 saat MRP mengundang Komisi A DPRP, KPU dan perwakilan partai politik untuk membahas Keputusan tersebut. Hasilnya disepakati untuk mengundang pihak dari provinsi Papua Barat. Pertemuan tersebut dilakukan pada tanggal 8 Maret 2010. Pada kesempatan itu MRP mengundang DPRP juga, KPU, anggota DPR Provinsi Manokwari bersama Wakil gubernur (wagub) provinsi Papua. Setelah pertemuan Wagub diminta untuk menyampaikan hasil pertemuan tersebut yang intinya mendukung Keputusan dimaksud. Menurut informasi terbatas Wagub agak keberatan dengan tugas tersebut. Setelah pernyataan Wagub, kemudian muncul pernyataan gubernur provinsi Papua yang dapat ditafsirkan menolak Keputusan tersebut.

Sebelumnya memang, Kemdagri telah mengeluarkan surat ke pemerintah provinsi, seperti kepada Gubernur Papua Barat Nomor 130.91/60/SJ tanggal 18 Februari 2010 perihal penjelasan orang asli Papua sebagai syarat bakal calon kepala daerah di Papua dan Papua Barat. Inti surat tersebut menjelaskan bahwa keputusan MRP 14/2009 bertentangan dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, serta PP 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Berbeda dengan sikap Eksekutif, DPRP kemudian bergerak cepat mengambil “bola panas’ Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 dan menjadikan bahasan paling hangat. Tanggal, 31 Maret 2010 atas inisiatif Komisi A, DPRP mulai ‘membuka’ perdebatan itu lebih luas dengan mengundang pihak MRP, Gubernur, Rektor Uncen, tim asistensi OTSUS, LSM, Akademisi, dan KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota. DPRP mempresentasikan Pokok - Pokok Pikiran DPRP mengenai keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 dan merencanakan akan membuat PERDASUS, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU OTSUS bahwa untuk mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang MRP melalui PERDASUS (Pasal 20 ayat (2)).

Saat itu muncul berbagai pendapat. Ada yang memandang keputusan MRP tersebut sangat tepat jika dihubungkan dengan kebijakan affirmative bagi orang asli Papua melalui Undang Undang OTSUS. Ada juga yang mempertanyakan mengenai dasar hukum diberlakukannya keputusan tersebut, seperti yang disampaikan oleh Budi Setyanto S.H seraya menambahkan bahwa banyak juga hak – hak ekosob rakyat Papua yang seharusnya lebih mendapatkan perhatian dari MRP. Ferry Kareth, S.H lebih mempertimbangkan aspek pedoman pelaksanaan pemilukada bagi KPU “..Sikap kami terkait dengan keputusan MRP No.14 itu kita hormati, tetapi ketika tidak ada payung hukum untuk mengatur kami tidak bisa melaksanakan. Lalu apa upaya KPU ?, kami selama ini sudah ketemu MRP, 4 atau 5 kali dan menyarankan untuk mengundang semua partai-partai politik. Karena yang kita bicara ini kuncinya dimulai dari partai politik. Mencalonkan orang asli Papua itu mulai dari sana, KPU hanya melanjutkan. Kami juga sudah mencoba mengkonsultasikan dengan gubernur …” demikian ujar anggota KPU Provinsi Papua Ferry Kareth S.H.

Pernyataan kontras datang dari pihak eksekutif yang diwakili kepala Kesbang provinsi Papua yang mengatakan,’…Sebagai bawahan gubernur kami tidak dapat menyampaikan pendapat yang berbeda dari gubernur..”. Karo hukum provinsi papua kemudian memperjelas, menurutnya, gubernur khawatir pemberlakukan keputusan MRP tersebut akan menjadi jalan bagi negara untuk merampas hak asasi manusia selain itu akan berpengaruh bagi primordialisme di kalangan orang Papua sendiri karena nanti setiap daerah hanya mau dipimpin oleh orangnya sendiri. Sebelumnya dalam harian Cepos (12/3/2010) Karo hukum mengatakan ”…apabila pendatang dilarang untuk tidak boleh dipilih maka pendatang juga harusnya tidak memilih dan jika itu diterapkan apakah bisa mencapai prosentase yang ditetapkan dalam pemilukada?. Menurutnya keputusan tersebut sangat melanggar hak asasi manusia dan diskriminatif. “..buat apa MRP sibuk urus 2 orang Papua sebab sebaiknya MRP urus hak –hak orang Papua lainnya..” ujarnya.

Wakil ketua MRP, Frans Wospakrik yang terkenal santun dan tidak pernah marah membantah tuduhan bahwa MRP hanya mengurus 2 (dua) orang papua yakni untuk bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota…” MRP sudah banyak melakukan sesuatu untuk orang Papua termasuk juga hak ekosob hanya saja pemerintah yang tidak mau mendengar apa yang disampaikan oleh MRP. Orang Papua minta merdeka kemudian dikasih OTSUS lantas kalau aspirasi orang Papua yang berkaitan dengan OTSUS tidak didengar untuk apa orang Papua hidup bernegara bersama NKRI?..”ujarnya.

Ditengah pertemuan diberitahukan bahwa ada undangan dari pihak Depdagri kepada DPRP, MRP, Gubernur dan KPU Provinsi berkaitan dengan Keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 yang direncanakan dilakukan di Jakarta pada tanggal 7 april 2010 maka diskusi yang semula mengarah kepada rencana pembentukan PERDASUS seolah dipending dan semua berharap akan ada penyelesaian apabila dilakukan pertemuan di Jakarta.

Diakhir pertemuan tersebut, staf ahli Komisi A Latifah Anum Siregar, menyempatkan diri untuk menyampaikan pandangannya,..”Setiap persoalan di Papua selalu dibawa ke Jakarta. Apabila ke Jakarta tim harus sangat siap ,tidak saja konsep tapi juga sikap politik yang jelas apa yang akan ditempuh jika Jakarta menolak, jangan bawa ’cek kosong’ sebab nanti Jakarta bikin seperti yang mereka mau, dalam konteks OTSUS kita punya pengalaman, Papua mau lain Jakarta bikin lain seperti lambang daerah, 11 kursi dan jangan sampai mengenai keputusan MRP juga sama saja…”..ujarnya.

Ada fenomena menarik, ketika satu isu sensitif kedaerahan diluncurkan di Papua, khususnya untuk menterjemahkan UU OTSUS selalu terjadi pertengkaran diantara orang Papua terutama diantara elit politik lokal. “Yang berkelahi orang Papua dengan orang Papua..” begitu kata rektor Uncen di pertemuan tersebut. Ketika dilakukan pertemuan maka seolah – olah akan tercapai kesepakatan akan tetapi sayangnya ‘daya tarik’ Jakarta masih begitu besar. Selalu saja disepakati jalan untuk berkonsultasi dengan Jakarta, ke Jakarta lagi. Dengan sering kali mengembalikan semua persoalan kepada cara penyelesaian Jakarta maka sebenarnya elit pemerintah lokal membuka ruang intervensi kepada Jakarta.

Pertemuan ditutup oleh ketua DPRP Jhon Ibo hampir tanpa keputusan, yang ada hanya DPRP mendukung keputusan MRP dan akan ada pertemuan tanggal 7 april 2010 di Jakarta. Pertemuan tanggal 7 april 2010, ditunda menjadi tanggal 9 april 2010 di balai Kartini - Jakarta, DPRP, MRP dan KPU Provinsi bertemu dengan utusan Mendagri dan utusan Menkopolhukam. Dalam pertemuan disepakati untuk dilakukan jedah politik di Papua selama 60 hari (2 bulan) dan pihak Mendagri akan menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) guna menindaklanjuti keputusan MRP nomor 14 tahun 2009. Tak ada kesepakatan tertulis.Semuanya kembali ke Papua.

Di Papua perdebatan mengenai Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 terus bergulir, indikasi penolakan juga mulai mencuat. Sambil menunggu keputusan Jakarta dilakukan pertemuan kembali di DPRP tanggal 26 dan 27 April 2010. Pertemuan menyepakati membentuk 2 tim, satu Tim gabungan terdiri dari DPRP, MRP, Eksekutif dan masyarakat sedangkan yang satu tim PANSUS, langsung atas inisiatif DPRP. PANSUS Pemilukada DPRP dimotori oleh Komisi A sesuai dengan bidang tugasnya yakni bidang Politik, pemerintahan dan Hukum. Mengapa dibentuk 2 tim ? karena ada kekhawatiran dari pihak DPRP jika tim gabungan yang diprakarsai pemerintah (eksekutif) tidak akan jalan.

Sebelum melakukan perjalanan ke Jakarta tanggal 4 Mei 2010 Komisi A DPRP melakukan kunjungan ke DPRD Provinsi Papua Barat di Manokwari guna menyampaikan sikap politik DPRP terhadap Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009. Mayoritas anggota DPRD Papua Barat menyambut baik keputusan dimaksud meski ada yang juga menolak dengan pertimbangan bahwa pemimpin orang Papua selama ini juga tidak berpihak kepada rakyat dan dengan diproteksi seperti itu justru tidak membuat orang Papua bisa bersaing dengan siapa saja padahal situasi sekarang ini sudah menghendaki agar orang Papua dapat bersaing dengan siapa saja.

Tanggal, 6 Mei 2010 bertempat di Ruang Badan Anggaran DPRP diselenggarakan Rapat PANSUS guna mempersiapkan gagasan dan strategi dalam memperjuangkan Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009. Kemudian tim PANSUS DPRP berangkat ke Jakarta pada tanggal 11 mei 2010. PANSUS merencanakan akan mendatangi sejumlah lembaga di Jakarta untuk membuka wacana memperkuat Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 tersebut. Pada malam hari tanggal 11 Mei 2010, PANSUS bertemu dengan KPU Provinsi Papua, KPU kota Jayapura dan KPU Keerom di Hotel Redtop Jakarta. Dari diskusi yang berlangsung diketahui bahwa Mendagri dan Menkopolhukam bermaksud meminta Fatwa Mahkamah Agung untuk menolak Keputusan MRP. Sebelumnya, mendagri mengeluarkan pernyataan di media nasional bahwa keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 sangat diskriminatif dan tidak tepat dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Saat itu pihak DPRP langsung melayangkan surat kepada Mendagri dan ketua MA untuk minta waktu bertemu dan meminta agar tidak dikeluarkan Fatwa sebelum memperlajari permasalahan dengan baik dan berdialog dengan pihak DPRP.

Besoknya, tanggal 12 Mei 2010 PANSUS menuju DPR RI tujuan utamanya bertemu dengan Komisi II DPRP RI namun karena masih ada rapat maka pertemuan ditunda dan Tim PANSUS DPRP bertemu dengan sejumlah pimpinan Fraksi di DPRP RI yakni fraksi Anggota Partai Amanah Nasional (FPAN) dan ketua serta anggota Fraksi Partai Demokrat (FPD) guna memperoleh dukungan. Pada kesempatan berikutnya PANSUS dapat bertemu dengan Komisi II DPRP RI, staff khusus Presiden dan Deputi Polhukam. Namun sekitar 3 minggu di Jakarta, surat yang dilayangkan kepada Mendagri untuk minta waktu bertemu tidak juga ditanggapi. Tanggal 1 Juni 2010, tim PANSUS kemudian mencoba mendatangi kantor Mendagri tapi tidak diperkenankan untuk bertemu dengan alasan Mendagri sedang keluar kota hingga akhirnya turut berdemo bersama mahasiswa di halaman kantor Depdagri. Setelah peristiwa tersebut, PANSUS memutuskan untuk balik ke Jayapura.

Kekeliruan utama dari pihak Depdagri adalah ketika tidak mau menerima Tim PANSUS. Terlepas dari disetujui atau tidak keputusan MRP tersebut seharusnya Mendagri bersedia bertemu dengan Tim PANSUS sebab ini bagian dari kewajibannya yang diperintahkan oleh UU. Padahal jika saja pertemuan, bukan tidak mungkin akan dihasilkan pembicaraan yang lebih mengarah kepada penyelesaian masalah atau paling tidak dapat meminimalisir ketegangan sebelumnya.”..seharusnya dia bertemu kami dan kasih tahu secara langsung seperti apa sikapnya, apakah menerima, menerima sebagian atau menolak..”ujar Ir Weynand Watory selaku sekretaris Tim PANSUS.

Tanggal 8 juni 2010, dilakukan rapat di Kementrian Polhukam yang dihadiri unsur KPU, Gubernur Papua, Pangdam Cendrawasih, Kapolda Papua, para pemangku kepentingan, serta unsur pemerintah pusat lainnya. Sejalan dengan itu, KPU Pusat juga menegaskan mengenai tetap dilangsungkannya pemilukada “Surat KPU sudah turun hari ini yang memerintahkan untuk persiapan terus jalan, normal, sesuai tahapan,” tegas I Gusti Putu Artha, salah seorang anggota KPU. I Putu menegaskan keputusan MRP tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan dan hanya merupakan keputusan kultural sehingga tidak mengikat. Regulasi pilkada, katanya, tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Otonomi Khusus.
“KPU yang punya otoritas untuk menunda. Tidak ada ruang intervensi dari lembaga lain atau pemerintah terhadap pelaksanaan pilkada,” katanya dalam diskusi “Polemik SK MRP dalam Pilkada 2010 di Papua” di Media Center KPU.

Ironisnya pada pertemuan tanggal 8 Juni 2010 pihak Polhukam tidak mengundang DPRP dan MRP yang sejak awal diberikan mandate oleh rakyat Papua untuk memperjuangkan Keputusan MRP nomor 14 tahun 2010 bahkan berulang kali telah meminta kesediaan untuk bertemu dengan pihak Mendagri. Kehadiran kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih sudah jelas arahnya bahwa pemilukada tetap dijalankan dibawah ‘koordinasi’ dengan pihak keamanan. Sama seperti kasus – kasus lainnya yang melibatkan orang Papua seperti kasus antara perusahaan dengan pemilik hak ulayat. Ketika rakyat minta ganti rugi kepada pihak perusahaan maka bukannya perusahaan menyempatkan diri untuk bertemu dan berdialog tetapi malah mengedepankan kekuatan militer untuk berhadapan dengan rakyat, artinya dalam konteks pemilukada pemerintah bukannya mendiskusikan solusi terbaik dan aman akan tetapi seolah berusaha memelihara siklus kekerasan. Sebab kalau sudah turun perintah kepada TNI dan POLRI, pendekatannya pasti pendekatan keamanan bukan kemanusiaan.

Keterangan foto : Rapat Tim PANSUS DPRP di Ruang Badan Anggaran DPRP tanggal 11 Juni 2010,Andawat.