LAPORAN TAHUNAN ALDP: 2010
English Bahasa Indonesia

23 Juni 2010

Keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 : Bola Panas Yang Diskriminatif? ( Bagian Kedua)

Oleh: Andawat

Nasib keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 terus dipantau oleh berbagai pihak terutama melalui pemberitaan pers. Pers berganti mengutip pandangan Jakarta dan sikap Tim PANSUS DPRP. Masyarakatpun kadang dibuat bingung dengan judul berita yang selalu silih berganti antara “keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 ditolak Jakarta” dengan “PANSUS belum bertemu mendagri..”..Ada juga yang berpikir bahwa Keputusan tersebut telah ditolak melalui surat resmi. Sehingga ada yang mengatakan bahwa sebaiknya Tim PANSUS DPRP mengatakan dengan sejujurnya bahwa Mendagri menolak agar tidak membohongi rakyat.

Reaksi dari Masyarakat
Reaksi pertama kali dari masyarakat mengenai keputusan MRP muncul dari Masyarakat Adat Nusantara (MAN) Kab Keerom, ketika tanggal 6 Maret 2010 menyampaikan dukungan mereka terhadap keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 kepada ketua KPU kabupaten Keerom dan KPU provinsi. Sikap mereka langsung mendapat reaksi dari tokoh intelektual kabupaten Kerom yang menyatakan bahwa keputusan tersebut belum memiliki dasar hukum serta menyangsikan bentuk dukungan MAN Kab Keerom (Bintang Papua/8/3/2010).

Demonstrasi yang diprakarsai oleh FORDEM (Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu) untuk mendukung pelaksanaan keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2010 dilakukan selama 2 hari tanggal 18 dan 19 Mei 2010. Pada demo hari kedua di halaman kantor gubernur, Gubernur provinsi Papua, Bas Suebu menemui para pendemo. Bas Suebu mengatakan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama namun keputusan MRP merupakan perjuangan untuk mendapatkan hak –hak politik orang asli Papua oleh karena itu sangat didukung. Gubernur menyakinkan agar sama-sama menunggu keputusan pemerintah pusat dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Selain itu, dia juga meminta koordinator demo bersama gubernur membentuk tim perumus guna mendorong aspirasi masyarakat Papua ke pemerintah.
Kelompok orang Papua sendiri yang menolak keputusan tersebut cukup beragam dan dilakukan secara terbuka seperti FORDP (Forum Papua Damai). Kelompok ini melakukan konferensi pers untuk menolak keputusan tersebut dengan alasan MRP lembaga kultur dan mengurus masalah adat dan bukan mengurus masalah politik. Mereka juga mengatakan bahwa MRP melakukan hal yang bukan urusannya sedangkan beberapa kewenangan milik MRP tidak dilakukan. Mereka berpendapat perbedaan diantara orang papua sendiri telah mengakibatkan orang Papua telah tersingkir. Sesama orang Papua juga saling mengklaim wilayah dan tidak memperbolehkan saudara dari daerah lain hidup di dalamnya, demikian ungkap ketua FORPD , Simon P Ayomi.

KNPB pun menolak dengan alasan bahwa keputusan MRP hanya dijadikan ‘bemper’dan kepentingan segelintir elit politik untuk memecah belah persatuan rakyat Papua Barat. KNPB juga memprotes isi demo dari Tim PANSUS yang mengatakan bahwa jika pemerintah Indonesia tidak mau menerima keputusan MRP biarkan rakyat Papua menuntut kemerdekaannya dan akan mengurus diri mereka sendiri.”..jangan jadikan isu Papua merdeka sebagai komoditi politik..’ujar Mako Tabuni dari KNPB.

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menilai keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 telah mereduksi semangat demokrasi dan membuat bibit konflik baru di tanah Papua. Keputusan tersebut bisa dinilai sebagai pemicu dan mengganggu keamanan karena sangat mengejutkan public dan waktunya tidak tepat sekali. Yan Matuan, ketua BEM juga menilai kinerja MRP selama 5 tahun ini sangat buruk sekali bahkan tidak pernah menunjukkan kinerja yang sangat signifikan bagi orang asli Papua,.’…tidak mampu menjalan tugas dan wewenang untuk memproteksi, memberdayakan dan bertindak affirmative action terhadap orang hak –hak orang asli Papua…’ tandasnya.(Cepos/8/6/2010).

Penolakan juga dilakukan oleh Barisan Merah Putih (BMP) melalui ketuanya Ramses Ohee. Menurutnya menerima keputusan MRP Nomor 14 tahun 2009 sama dengan memberikan bangsa Papua merdeka. Padahal semua suku di Indonesia adalah sama. Nico Mauri sebagai ketua BMP Kota juga menolak keberadaan keputusan tersebut selanjutnya mengatakan bahwa tim PANSUS DPRP jangan cuci tangan setelah kegagalan di Jakarta dengan seolah mengatakan akan ada kerusuhan apabila keputusan MRP ditolak oleh Jakarta (Bintang Papua 7/6/2010).

Ramses Wally tidak menolak isi dari keputusan tersebut akan tetapi menolak pemberlakuannya. Menurutnya isi keputusan MRP masih sepotong-sepotong jadi ditunda saja dulu paling tidak sampai tahun 2015, sampai disiapkan dengan lebih baik. Ramses Wally sangat mendukung perjuangan hak politik orang Papua dan menurutnya bukan saja pada kepala daerah tetapi juga harus menyeluruh seperti posisi orang asli Papua dalam keanggotaan DPRD, DPRP, serta DPR RI dan DPD. Jika sekarang pemerintah menolak maka seharusnya pemerintah memberikan solusi.

Tak dapat dipungkiri, Keputusan MRP juga mengundang respon di kalangan pendatang. Meskipun ada pemberlakukan UU OTSUS akan tetapi keputusan tersebut menimbulkan perasaan yang kurang nyaman dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat. Padahal ‘..orang Papua sendiri yang tidak mau berpasangan dengan orang Papua..’ujar karo Hukum Provinsi Papua. “..ada perasaan tidak pede karena stereotype yang sudah lama diberikan kepada orang Papua…”demikian pandangan Yoram Wambrauw S.H.M.Hum dari FH Uncen. Ketidakmauan ini bisa disebabkan oleh banyak factor, bisa karena keterbatasan pada akses atau sumber daya atau modal tertentu.

Sekarang orang Papua setidaknya bakal calon sudah memiliki modal ekonomi yang sangat kuat hanya saja yang jadi perhitungan adalah populasi pendatang yang meningkat pesat. Sehingga berpasangan dengan pendatang bertujuan untuk mengumpulkan suara dari pendatang. Kenyataan lainnya adalah ”.. ada juga pendatang yang memiliki keberpihakan terhadap persoalan yang dihadapi oleh rakyat Papua dan mereka tidak terlibat sama sekali terhadap kebijakan pemerintah yang diterapkan untuk Papua yang merusak Papua, jika begitu lebih baik kami tidak ikut memilih..’ujar seorang pendatang.

Di sisi lain ada juga kenyataan bahwa setelah jadi bupati/wakil bupati atau walikota/ wakil walikota, tidak ada jaminan bahwa suara pemilih (pemilih papua atau pendatang) akan benar-benar didengar, siapapun yang naik jadi pemimpin mau papua dua-duanya ataukah ada yang pendatang. Sikap ketika pencalonan cenderung berbeda setelah jadi pemimpin sebab yang dipertimbangkan adalah kepentingan dirinya atau kelompoknya, kekuasaan selalu begitu, setelah diperoleh maka rakyat akan diabaikan, apapun suku yang mereka miliki. ..’..Pimpinan daerah yang merupakan orang asli Papua tidak sertamerta dapat membangun orang Papua justru merugikan rakyat Papua…’demikian pendapat Mako Tabuni dari KNPB. Dalam sejumlah diskusi interaktif di media televisi lokal di Tanah Papua, ada yang menyatakan bahwa keputusan tersebut sudah sangat ditunggu – tunggu tapi ada juga yang mengatakan hanya untuk kepentingan politik tertentu.

Kini setelah perdebatan panjang dan perjalanan panjang DPRP ke Jakarta yang ‘belum ada hasilnya’ dan bukan “gagal’ demikian ditegaskan oleh Ruben Magai selaku ketua harian PANSUS DPRP. Maka DPRP kembali mengambil alih fungsi legislasi dengan membuat rancangan PERDASUS. Tujuan utamanya adalah memberikan perlindungan bagi hak –hak politik orang Papua yang selama lebih banyak diabaikan dan dilemahkan dalam system bernegara republic Indonesia. Selama 3 hari berturut Tim PANSUS bersama Tim Ahli telah menyelesaikan RAPERDASUS, kemudian pada tanggal 15 Juni 2010 telah dipresentasekan dihadapan Wakil Gubernur Provinsi Papua di DPRP. ”Saya secara pribadi mendorong PERDASUS ini, kita tidak perlu kecil hati karena masih banyak jalan yang bisa kita tempuh..’ujarnya. Berkaitan dengan pelaksanaan pemilukada yang semakin dekat dan pertanyaan kapan PERDASUS ini disahkan, ketua tim PANSUS mengatakan bahwa PERDASUS bukan hanya untuk hari ini tetapi untuk kepentingan anak cucu kita maka sifatnya fleksibel..’yang jelas kita akan menempuh sesuai mekanisme yang ada di DPRP..”.

Dalam rancangannya DPRP tidak membuat PERDASUS yang baru (PERDASUS mengenai Kriteria Khusus Orang Asli Papua atau PERDASUS mengenai Hak-hak politik Orang Asli Papua) akan tetapi melakukan perubahan terhadap PERDASUS nomor 4 tahun 2008 mengenai Pelaksanaan Tugas dan Wewenang MRP. Sebab ternyata PERDASUS tersebut belum memuat tugas dan wewenang MRP yang diatur dalam pasal 20 ayat (1) f. Semula PERDASUS nomor 4 tahun 2008 tersebut terdiri dari 27 pasal dalam tiga BAB maka Konsep RAPERDASUS adalah dengan menambahkan 3 perubahan utama, (1). dalam BAB I Pasal 1 menyangkut pengakuan wilayah OTSUS yakni selain Provinsi Papua juga provinsi Papua barat. (2). Pada BAB II mengenai Tugas dan Wewenang MRP yang semula hanya terdiri dari Bagian Keenam, ditambah satu bagian menjadi bagian Ketujuh yang secara khusus mengatur Tata cara Pemberian Pertimbangan Kepada Kriteria Orang Alsi Papua kepada bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Serta (3). Penambahan mengenai Peraturan Peralihan.
Apa Dasar Hukum Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009?.

Hal ini dapat dilihat dari Tugas dan Wewenang MRP di dalam UU OTSUS Pasal 20 ayat (1) huruf f : Memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua. Penjelasan dari pasal 20 ayat (1) huruf f disebutkan : termasuk di dalamnya adalah petimbangan MRP kepada DPRD kabupaten/kota dalam hal penentuan bakal calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Apakah penjelasan tersebut kuat ?.

Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf f memiliki kekuatan yang sama dari Pasal itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat di dalam suatu peraturan dengan memperhatikan konsideran ‘mengingat’, contohnya terhadap Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua ditulis : (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151). Adapun yang dimaksud dengan Tambahan Lembaran Negara adalah untuk mengakomodir materi muatan dari Penjelasan. Konstruksi hukum seperti ini bahkan sudah digunakan sejak jaman Belanda dulu.

Meski judulnya Keputusan akan tetapi Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 tidak dapat diberlakukan langsung sebab MRP tidak memiliki hak legislasi jadi harus menggunakan mekanisme PERDASUS sesuai Pasal 20 ayat(2) UU OTSUS. Perkara nanti ditentang oleh Jakarta, sudah tersedia mekanismenya melalui Judicial Review jadi buat saja dan pertentangan yang ada akan dihadapi kemudian melalui mekanisme yang ada daripada berharap pada Jakarta dan hasilnya selalu mengecewakan. Apalagi ada pengalaman proses Judicial Review yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi mengenai pengangkatan 11 kursi anggota DPRP melalui PERDASUS berdasarkan putusan Nomor 116/PUU-7/2009. Tentu, putusan ini menjadi yurisprudensi bagi dibolehkannya ketentuan khusus melalui PERDASUS buat pelaksanaan OTSUS di tanah Papua.

Terlepas dari pro dan kontra secara politik maupun sampai ke ruang yuridis, yang jelas karena berlarut - larutnya keputusan (pemerintah) mengenai Keputusan MRP nomor 14 tahun 2009, menyebabkan rakyat makin terpecah belah pada klaim kebenaran masing – masing kelompok, ‘sesederhana’ apapun pandangan cultural maupun politiknya. Sehingga diberlakukan atau tidak diberlakukannya keputusan MRP nomor 14 tahun 2009 tersebut akan membawa rakyat pada suatu ruang primordialisme politik tertentu, bisa jadi akan ada penghakiman, saling menyalahkan dan upaya meminggirkan satu sama lain. Kondisi inilah yang harus dicegah dan menjadi tanggungjawab kita bersama, sebelum terjadi ‘saling melukai’ satu sama lain.

Keterangan foto : Rapat presentase RAPERDASUS antara DPRP dan Wagub Provinsi Papua,Ruang Badan Anggaran DPRP tanggal 15 Juni 2010