“Agama dan perdamaian, adalah 2 kata yang sebenarnya bermakna teduh, sejuk dan salamah. Agama sebagai satu tatanan dasar, yang dengan itu manusia dituntun untuk membangun kehidupan yang bermartabat, penuh kasih dan damai kepada sesama. Tetapi adalah sebuah fakta juga, bahwa sering kali agama justru menjadi sumber ‘inspirasi’ terhadap timbulnya sebuah konflik”.
Ini adalah kalimat pembuka Thaha Muhammad Alhamid yang bertindak sebagai moderator pada ‘Dialog Agama dan Perdamaian’ yang digagas oleh Majelis Muslim Papua (MMP) pada Rabu, 27 Agustus 2008 lalu. MMP merasa perlu untuk menggagas kegiatan tersebut sebagai respon atas beberapa kejadian-kejadian destruktif sebelumnya: munculnya laporan ICG dan juga adanya tuntuan dari FKKI Provinsi Papua terhadap beberapa hal terkait dengan syariah Islam. Dialog ini juga dimaksudkan sebagai bentuk dan tanggungjawab MMP dalam hal menciptakan Papua sebagai Tanah yang Damai untuk Semua Ummat Tuhan. Yang lebih penting, MMP ingin mengajak setiap ummat Tuhan untuk kembali merenungi keluhuran dan kesucian nilai dari setiap agama.
Sebelum acara dimulai, ada ucapan selamat datang dari Ketua MMP, H. Arobi Ahmad Aituarauw, dilanjutkan dengan pidato pengantar Dialog dari Dewan Ukhuwah MMP, Komarudin Watubun, dan Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Provinsi Papua, Pendeta Herman Saud.
Setelah itu semua lampu dimatikan, suasana tiba-tiba menjadi gelap. Sebuah layar lebar menampilkan slide singkat: Kisah Sang Lilin. Ini kisah tentang 4 buah lilin, masing-masing bernama Lilin Iman, Lilin Cinta dan Lilin Damai. Ketiga lilin ini kemudian padam, lantas seorang anak yang ketakutan terhadap pekatnya gelap diingatkan oleh sebuah lilin untuk tidak perlu cemas, karena bersama dirinya, Lilin Iman, Lilin Cinta dan Lilin Damai bisa dinyalakan kembali, karena lilin keempat ini adalah Lilin Harapan.
Diskusi kemudian diawali dengan paparan singkat dari Pastor Neles Tebay yang mewakili komunitas Katolik dari Keuskupan Jayapura. Beliau menegaskan bahwa perdamaian akan tercipta jika keadilan dapat diwujudkan. Dan dari kedamaian ini, maka akan muncul suka cita. Keadilan yang dimaksudkan olehnya adalah keadilan dalam hubungan yang baik dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam semesta. Pastor Neles Tebay menyitir ayat Alkitab, Surat Rasul Paulus, 14:17 yang berbunyi: “Kerajaan Allah itu bukan soal makan dan minum, tetapi soal-soal menyangkut keadilan, perdamaian dan suka cita”.
Pembicara kedua adalah Pendeta Socrates Sofyan Yoman yang mewakili Protestan, beliau adalah Ketua Sinode Gereja Baptis di Papua. Selain keadilan, beliau memberikan prasyarat lain, bahwa ketenangan setiap orang tidak boleh diganggu oleh siapa pun juga. Satu penekanan dari beliau adalah, penghormatan terhadap ‘integritas kemanusiaan’. Atas alasan dan dasar apa pun, manusia tidak boleh dihilangkan hak-haknya. Jika eksistensi kemanusiaan diganggu, maka gereja harus bicara soal ini. Beliau juga menekankan bahwa selama ini, paradigma yang dianut oleh pemerintah adalah, ‘demi integritas NKRI, siapapun boleh dibunuh’. Paradigma sesat ini harus diluruskan menjadi, ‘demi integritas kemanusiaan, setiap orang tidak boleh diabaikan hak-haknya’.
Pembicara ketiga adalah Musa Rumbaru dari kelompok Islam, beliau dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Al Fatah Jayapura. Beliau menegaskan, bahwa sebenarnya agama bukan mengajarkan kebenaran, tapi membawa kebenaran untuk disampaikan kepada setiap orang agar memahami hakekat kebenaran itu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Beliau juga menyitir ayat Al Quran yang berbunyi: “Telah diliputi kehinaan seseorang di mana dan kapan pun, kecuali orang-orang itu mau memperbaiki hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama”.
Dari elaborasi moderator terhadap narasumber, ditemui juga bahwa agama sering kali pihak yang berkonflik menggunakan agama untuk menjustifikasi keterlibatannya dalam konflik. Dalam konteks Papua, Pastor Neles Tebay menegaskan, bahwa ketika orang tidak lagi menghargai kekhususan dan ke-khas-an Papua, yang terjadi justru penyeragaman, maka orang-orang yang tidak nyaman dengan hal itu akan memberontak, dan untuk mendapatkan dukungan, dia lantas menggunakan agama sebagai isu konfliknya.
Sering kali pula agama dipolitisir. Ketika sebuah daerah dengan mayoritas agama A, maka semua di situ harus ‘berdasarkan agama’ tersebut, pimpinannya harus dari agama itu, bangunan ibadah yang lain tidak boleh selain rumah ibadah agama itu. Ini agama sudah dipolitisir. Ketika ini terjadi, maka konflik akan juga terjadi. Pandangan ini kurang lebih sama dengan pandangan narasumber dari Islam.
Pandangan yang juga muncul adalah adanya keinginan untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan merongrong sendi-sendi kehidupan bangsa. Ini disampaikan oleh Pendeta Socrates Sofyan Yoman. Lebih jauh beliau menyentil anggapan pemerintah terhadap beberapa kegiatan yang dilakukan oleh orang Papua sebagai bentuk makar dan separatis. Insiden Wamena pada hari Masyarakat Pribumi Internasional misalnya yang mengakibatkan jatuhnya satu orang korban dari masyarakat Papua.
Pastor Neles Tebay, melihat insiden penancapan bendera Bintang Kejora tersebut sebagai apresiasi dari adanya masalah yang terpendam di dalam diri orang Papua. “Persoalan di balik Bintang Kejora ini harus diselesaikan jika kita menginginkan Papua menjadi tanah yang damai”, tegasnya.
Yang menarik ketika moderator meminta pandangan dari beberapa peserta dialog terkait thema pembahasan. George Arnold Awi, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, menyampaikan bahwa dalam pandangan adat, kehadiran agama ini justru menghancurkan jati diri orang Papua, karena banyak sekali budaya dan kebiasaan adat istiadat dihancurkan oleh agama. sehingga menjadi beralasan, jika saat ini muncul ada asrama Sorong, asrama Biak, Fakfak, Serui, Wamena. Di sini orang Papua menjadi terkotak-kotakan dalam kelompok-kelompok kecil. Padahal dulu, kita hanya mengenal asrama sekolah orang Papua, menurutnya, di situlah persekutuan orang Papua lahir dan berkembang. Pandangan yang kurang lebih sama, juga disampaikan Abina Wasanggai dari Solidaritas Perempuan Papua (SPP).
Pandangan berbeda juga disampaikan Yosep, perwakilan media. Beliau menyebut ego sebagai salah satu akar persoalan. Sedangkan Pastor John Djonga, tokoh agama yang bertugas di daerah perbatasan Papua dan PNG (distrik Waris, Kabupaten Keerom), menyampaikan bahwa kedamaian akan ada ketika tidak ada ancaman, intimidasi dan perasaan curiga dari aparat militer terhadap masyarakat Papua di daerah pedalaman. Jika tidak, “negara ini hanya akan menjadi negara ketakutan, negara yang penuh rasa curiga, dan negara yang tidak pernah mau mengakui orang Papua sebagai bagian dari Indonesia”.
Pandangan ini kemudian ditekankan kembali oleh Pastor Neles Tebay, bahwa model pendekatan keamanan dalam bentuk State Security harus dirubah menjadi Human Security. Pandangan ini berarti setiap orang merasa hidup damai, aman dan tenteram. Dengan pendekatan ini juga berarti terpenuhinya pendidikan, kesehatan, tingkat ekonomi yang baik dan lain sebagainya bagi setiap orang Papua.
“Nampaknya kita semua masih harus terus memperjuangkan terwujudnya Papua Tanah Damai. Setiap kita harus mengambil peran bersama-sama dan mendorong terciptanya situasi perdamaian yang sejati, dan lebih sering duduk bersama dan mengkomunikasikan pandangan dan pikiran setiap kita”.
Demikian moderator menutup ‘Dialog Agama dan Perdamaian’ malam itu.
Semoga perdamaian akan terus hidup dalam setiap hati kita, hingga kita bisa terus menebarkannya kepada setiap orang.
Keterangan Foto:
Suasana Dialog Agama dan Perdamaian di ‘Studio Alam’ MMP.
(andawat).